Rabu, 28 Desember 2016



RUMAH KACA DENGAN DINDING 'ONE WAY MIRROR' - yws
(Konteks Smart digital)


Saya pernah tinggal di perumahan dengan pagar rumah hanya setinggi 1 meter. Saya juga pernah berkunjung ke rumah-rumah darurat di daerah bencana, yang terbuat dari kayu dan tripleks dengan pembatas yang tak penuh sampai ke langit-langit. Sehingga pembicaraan dan suara apapun di "rumah" kita, akan terdengar baik di "rumah" tetangga sebelah. Saya juga pernah berkunjung ke rumah teman-teman saya yang berpagar 2 meter lebih dengan kawat berduri di atasnya. Rumah yang tak ketahuan bentuknya dan hanya terlihat atapnya dari luar. Rumah yang selalu terkunci dengan gembok besar. Kadang suara anjing menyalak terdengar ketika mendekati rumah tersebut.
- Rumah pertama, kita perlu mengetuk pintu untuk masuk.
- Rumah kedua, kita hanya perlu berteriak untuk masuk. Bahkan seringkali kita bisa langsung masuk karena pintu yang jarang terkunci.
- Rumah ketiga, kita harus menekan bel dari luar pagar. Pemilik rumah belum tentu akan keluar. Hanya pembantu yang mengintip dengan curiga dari balik pintu yang menyambut, atau melalui interkom berkamera.

Semakin terbuka sebuah rumah, maka semakin besar peluang orang luar untuk mengetahui banyak hal mengenai apa yang terjadi dalam rumah tersebut. Masalah bisa terjadi di mana pun. Rumah yang padat berdesakan dengan sekat yang tak memadai, berpeluang membuat masalah karena informasi rahasia bisa menyebar begitu mudah. Orang kehilangan privacy-nya. Hal yang selayaknya ditutup bisa terbuka dan diketahui banyak orang.

Sebaliknya rumah yang sangat tertutup, berpagar tinggi, berteralis kuat juga dapat menimbulkan jarak bagi orang lain. Orang enggan datang kecuali betul-betul terpaksa. Apalagi kalau si pemilik tak pernah keluar rumah dan berbaur dengan tetangganya.

Bagaimana pun rumah kita, tapi di era digital ini, kita seolah berada dalam rumah kaca. Sekalipun tebal namun tembus pandang, sehingga semua orang bisa melihat isi rumah kita.

Media sosial itu seperti rumah kaca. Ketika kita posting apa pun tulisan, gambar, video, memberikan komentar atau bahkan sekarang sekedar klik "like" sekalipun, orang bisa melihatnya.

Rumah yang ditutupi pagar setinggi apa pun akan nampak bila foto-foto kita di dalam kamar kita posting di medsos. Pikiran dan perasaan apapun yang kita miliki juga bisa tampil dan "tercium" ketika menulis atau share informasi apa pun. Masalahnya adalah bahwa kita tidak bisa mengendalikan pikiran, perasaan dan interpretasi orang lain. Ada terlalu banyak variabel yang mempengaruhi interpretasi orang lain.

- Ketika kita posting kebahagiaan, maka selalu mungkin ada orang yang menilainya sebagai kesombongan.
- Ketika kita posting kesedihan, maka juga selalu mungkin ada orang yang menilainya sebagai kelemahan.
- Ketika kita posting keberpihakan, mereka yang berbeda pandangan dengan kita berpeluang menjadi tidak nyaman.

Apapun itu selalu ada resiko yang perlu ditimbang-timbang.

Lebih menyedihkan adalah ketika rumah kaca kita ternyata terbuat dari 'one way mirror'. One way mirror adalah sejenis kaca yang hanya bisa dilihat dari satu sisi. Orang yang berada dalam rumah tidak bisa melihat keluar tetapi orang di luar bisa melihat ke dalam. Kaca jenis ini biasa dipakai di ruang interogasi, ruang terapi atau ruang lain yang membutuhkan pengamatan tanpa disadari oleh orang yang diamati.

Bayangkan orang yang berada dalam rumah yang terbuat dari 'one way mirror'. Ia berbicara, menulis dan bertindak dengan bebas. Tidak menyadari bahwa sejuta pasang mata mengamatinya dan menilai dirinya. Ia tak mengindahkan "komentar-komentar" yang masuk. Dia tidak melihat dan tidak menyadari kekecewaan dan kemarahan pada sebagian orang yang terluka dengan perkataannya. Yang ia pikir adalah bahwa ia boleh mengatakan dan melakukan apapun sesukanya.

Saya melihat ada beberapa karakteristik para "pemilik rumah kaca" ini.
1. Mereka yang tidak menyadari bahwa mereka terlihat oleh orang lain. Biasanya mereka ini adalah para pengguna pemula, baik para orang tua maupun anak yang terlalu muda. Atau mereka yang betul-betul tidak paham cara kerja media sosial dan memperlakukannya seperti chatting di media privat.
2. Mereka yang menyadari cara kerja media sosial. Memiliki pertimbangan, melakukan antisipasi dan kesantunan saat posting, berkomentar, berdiskusi dan juga saat berbagi (share) informasi.
3. Mereka yang menyadari cara kerja media sosial dan dengan sengaja serta sadar memanfaatkan media ini untuk mencapai tujuannya.

Nah, pencapaian tujuannya ini bisa dilakukan dengan santun atau tidak, tergantung pada value dan karakteristik ybs.
- Ada yang begitu bersemangat sehingga terkesan memaksa.
- Ada yang kreatif dan tidak menggiring serta menggurui.
- Ada yang menghalalkan cara dengan menggunakan data tak memadai untuk mencapai tujuannya
- Dan ada pula sekian banyak cara-cara lain yang digunakan yang bisa diterima oleh sekelompok orang namun tidak disukai bahkan dibenci oleh lainnya.

Bila dalam berinteraksi di dunia nyata kita memiliki etika dan etika ini yang membuat kita bisa berinteraksi dengan nyaman. Maka demikian pula dalam interaksi di dunia maya. Keleluasaan begitu rupa yang kita miliki juga membutuhkan etika dan batasan.

Nampaknya kesadaran awal yang perlu kita miliki adalah bahwa sekali kita menggunakan media sosial, maka kita berada dalam rumah kaca tembus pandang yang begitu jernih. Kita tidak bisa memperlakukan media sosial sebagai rumah bertembok tebal dan berpagar tinggi lagi.

*Yang paling sengsara adalah bila kita memperlakukan media sosial seperti rumah dengan dinding terbuat dari 'one way mirror'. Kita tertawa, sedih, marah dan tak menyadari betapa ada jutaan orang yang menertawakan, kasihan dan bahkan kesal melihat polah kita.


Yeti Widiati 281216

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...