Kamis, 31 Desember 2020

BISA MASAK KARENA COVID - yws

 Seri Tantangan & Peluang di Era Covid-19

(Konteks Psikologi dan Pengasuhan)
Kasus 4

"Tobat, mbak, tobat bener deh. Suami kerja di rumah, anak sekolah di rumah. Pembantu berhenti kerja. Ampun dah, kita bener-bener repot. Itu anak-anak mulut nggak berhenti makan. Minta cemilan inilah cemilan itu lah. Mainnya lebih banyak daripada belajarnya. Berantakan di mana-mana. Suami kesal melulu bawaannya lihat berantakan. Kita jadi cerewet juga akhirnya. Ngebul deh otak ini. Kayak nggak ada habisnya pekerjaan. Saya susah istirahat, beberes ini itu, kerja sendiri, masak sendiri. Saya nggak bisa melakukan apa yang saya inginkan karena harus melayani semua keinginan anak dan suami.
"Kenapa harus melakukan semua hal sendiri dan melayani semua keinginan orang lain?"
"Lho, bukannya itu kan memang kewajiban istri dan ibu?"
"Apakah dengan melakukan semua hal sendiri, melayani semua keinginan orang lain, dan mengorbankan waktu untuk diri sendiri, lalu membuat suami dan anak menjadi lebih berempati, peduli, mau bekerja sama, berkembang kemampuannya dan kita sendiri tidak stres dan tidak emosian?"
"Eh ... gimana ya ... tapi kan masa kita nggak melayani mereka? Ngga enak lah, masa kita enak-enak mendengarkan webinar yang kita inginkan dan mengabaikan permintaan mereka. Masak, ibu kayak gitu. Ibu egois namanya."
"Mbak, istri dan ibu yang baik. Bagus sekali, menganggap penting dan mendahulukan keinginan suami dan anak-anak. Istri dan ibu kesayangan suami dan anak. Tapi kita juga perlu mengajarkan dan mendidik anak-anak kita. Dan ketika kita bicara tentang mengajar dan mendidik berarti bukan hanya akademik saja kan, ya? Akademik itu hanya sebagian kecil saja dari aspek perkembangan yang perlu dikembangkan pada anak."
"Oh iya, mbak sering bilang yang tiga kelompok besar aspek perkembangan itu. Fisik, Kognitif dan Sosial-Emosi"
"Nah iya. Makasih banget sudah mengingatnya. Sebetulnya sekarang, di masa pembatasan aktivitas karena Covid, sehingga semua aktivitas berpusat di rumah, maka ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk mengembangkan semua aspek tersebut sesuai keinginan orang tua. Sekolah di rumah memang tambah pekerjaan, tapi kan bahannya sudah ada semua dari guru. Ada sisa waktu lain yang kita bisa mengembangkan terutama aspek sosial emosi dan skill/ketrampilan keseharian. Percaya nggak bahwa seorang anak yang trampil melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya, menyapu, masak, beres-beres, itu dapat meningkatkan kepercayaan dirinya?"
"Kok bisa begitu? Itu kan pekerjaan gampang, yang tidak perlu berpikir dan bisa dikerjakan oleh pembantu?"
"Bisa saja kita mengatakan begitu. Tapi yang gampang dan tidak perlu berpikir itu tetap perlu dikuasai. Untuk bisa menerima tanggung jawab yang besar di kemudian hari, kita perlu menguasai hal-hal kecil dulu. Mereka yang menguasai ketrampilan hidup akan menjadi lebih mandiri, percaya diri, memahami dan menghargai proses dan usaha, mampu berempati dan bekerja sama. Bukankah ini semua adalah kualitas mental yang justru diidamkan oleh banyak orang tua? Kita ingin anak-anak kita bukan hanya pintar dan berprestasi, tapi juga baik hati dan mau membantu orang lain, terutama kepada orang tuanya?"
"Gimana ngajaknya ya? Karena selama ini mereka merasa itu pekerjaan orang lain, pekerjaan pembantu atau pekerjaan ibunya. Mereka juga nggak terbiasa melakukan itu semua. Nanti malah jadi berantakan mbak, saya juga yang harus beresin. Malah tambah ngerepotin"
"Pilih mana, repot sekarang karena mengajari anak atau repot nanti kalau anak-anak sudah besar, dan ternyata mereka nggak bisa apa-apa dan stres ketika menikah?"
"Aduh, pertanyaannya kok sama-sama nggak enak sih."
"Berantakan karena anak masih belajar itu wajar dan cuma sebentar kok, kalau sudah bisa, maka semuanya akan lebih baik dan akan menguntungkan buat anak dan juga buat kita."
"Saya perlu mulai dari mana ya, mbak?"
"Kita observasi dan ngecek dulu, apa yang anak kita sudah bisa dan apa yang belum bisa. Lalu kita buat target juga, apa yang perlu dikuasai anak kita pada usia tersebut. Anak-anak mbak sudah usia SD dan bahkan ada yang sudah SMP, jadi ini bisa dilakukan. Lalu kita buat tahapan-tahapan pencapaiannya. Misalnya, anak-anak senang makan puding? Gimana kalau dibuat bareng sama-sama. Ajak anak mulai dari perencanaan, mau buat puding apa, bahan apa yang perlu disediakan, cari resepnya dan bagi-bagi tugas. Siapa yang menyiapkan bahan, siapa yang menyiapkan peralatan. Siapa yang meracik bahan dst. Karena puding membuatnya sederhana, mungkin kita bisa memberi kesempatan mereka melakukannya, dengan pendampingan kita. Cobain deh, asyik kok."
"Tapi nanti berantakan, tumpah-tumpah. Anak saya laki-laki pula, orang tua dulu bilang, anak laki-laki nggak boleh masuk dapur."
"Nggak masalah anak laki-laki masuk dapur. Mayoritas chef hebat itu laki-laki. Wajar juga kalau tumpah-tumpah karena masih belajar. Sebelum orang jadi jago, kan ada masa-masanya dia ribet dan amburadul dulu. Izinkan anak melakukan kesalahan karena mereka masih belajar. Mereka bisa belajar dari kesalahan. Boleh saja mengajari anak supaya bekerja dengan rapi. Mencontohkan cara kerja yang benar itu lebih baik daripada melarang dan mengkritik. Terlalu banyak melarang dan mengkritik membuat kegiatan menjadi gak asik, dan selanjutnya anak jadi males melakuannya."
"Iya ya ... berarti stok sabar perlu berkarung-karung."
"Fokus pada keuntungan/manfaat yang akan diperoleh atau kerugian yang bisa dihindarkan, itu bisa membuat kita lebih tabah dan sabar. Insya Allah. Semangat ya ... "
Yeti Widiati 290620

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...