Kamis, 31 Desember 2020

PINDAH AGAMA 'KARENA' COVID - yws

 Seri Tantangan & Peluang di Era Covid-19

(Konteks Psikologi dan Pengasuhan)
Kasus 3

"Ibu, saya harus bagaimana? Anak saya mau pindah agama."
"Bagaimana ceritanya sampai anak ibu berpikir seperti itu?"
"Anak saya tahun ini lulus SMA. Sejak SMP memang dia bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke Amerika. Akhir tahun lalu dia apply ke berbagai perguruan tinggi bagus di Amerika. Beberapa bulan lalu dia memperoleh jawaban bahwa dia diterima di salah satu perguruan tinggi di Amerika pada bidang yang memang dia cita-citakan. Dia sangat senang sekali. Tapi lalu kemudian Covid datang dan ada himbauan untuk tidak bepergian ke luar negeri. Dia marah sekali dan memaksa untuk tetap berangkat ke Amerika. Beberapa waktu kemudian datang juga pemberitahuan dari Universitasnya di Amerika bahwa karena kondisi pandemik Covid mereka memutuskan postponed beasiswanya sampai saat yang tidak ditentukan. Anak saya kecewa luar biasa, dan dia menyumpah, 'Mana katanya Tuhan itu Maha Baik? Kalau Tuhan Maha Baik, Tuhan tidak akan membuat Covid. Gara-gara Tuhan aku nggak bisa ke Amerika. Aku nggak percaya pada Tuhan, aku mau pindah agama aja.' Begitu katanya, Bu. Saya sedih sekali. Saya harus bilang apa?"
"Apa sebetulnya yang membuat ibu sedih sekali?"
"Iya kenapa kok anak saya sampai berpikir seperti itu. Saya sudah sekolahkan anak saya di sekolah yang bercirikan agama, agar dia paham agama dan kuat imannya. Saya sedih sekali."
"Iya Bu, saya paham, sangat wajar ibu sedih. Semua orang tua akan sedih ketika melihat anaknya memilih jalan dan value yang berbeda dari orang tuanya. Jalan dan value yang diyakini benar oleh orang tuanya.
"Apa yang waktu itu ibu lakukan ketika anak ibu mengatakan hal itu?"
"Saya marahi dan saya nasehati, 'Nggak boleh kamu menyalahkan Tuhan. Dosa itu kamu berpikir begitu.'"
"Bagaimana respon anak ibu?"
"Dia tetap marah, dia nggak mau dengar, masuk kamar dan banting pintu."
"Iya ya .... Menurut ibu, kalau seseorang tidak memperoleh keinginannya, wajar nggak ya kalau dia marah?"
"Yaaaa .... wajar sih ya."
"Mending mana, anak diam saja tapi dia marah pada Tuhan dan bisa melakukan hal-hal yang tidak diharapkan, atau anak mengatakan apa yang dipikirkan dan dirasakannya, sehingga kita bisa menolongnya?"
"Yaaaa .... mending tahu sih, tapi kan kita jadi sedih Bu, mengetahui anak kita punya pikiran seperti itu. Berarti saya gagal mendidik anak saya." Suara isak tangisnya terdengar di telepon.
"Ya, memang. Kita bisa berpikir seperti itu sebagai orang tua, tapi kita juga bisa melihat dengan cara yang lain. Bahwa anak kita sedang menuju kedewasaan dan dia mengembangkan kemandirian berpikirnya. Samalah dengan waktu anak kita kecil belajar naik sepeda, ada jatuhnya. Maka ketika belajar berpikir, menyelesaikan masalah dan menyimpulkan dan mengambil keputusan juga ada jatuh bangunnya. Kita yang lebih dewasa, yang lebih memiliki pengalaman ini yang perlu membimbingnya."
"Jadi bagaimana supaya dia tidak pinda agama?"
"Menurut ibu, anak ibu sebetulnya paham tidak tentang agama?"
"Harusnya paham Bu, karena kan dia sekolah di sekolah agama sejak SD. Selama ini dia juga rajin ibadah"
"Oke, kalau begitu apa yang membuatnya dia berpikir pindah agama?"
"Karena marah ..."
"Orang yang marah, itu karena merasa dirinya terancam. Boleh jadi juga ada rasa takut dan cemas di dalamnya. Takut/cemas dengan masa depannya. Kuatir masa depannya menjadi buruk. Apakah orang yang sedang ketakutan seperti itu akan menjadi tidak takut ketika kita marahi dan kita nasihati?"
"Tapi kan pikirannya salah bu, masa tidak boleh ditegur dan dinasihati?"
"Boleh, tapi timingnya belum pas. Kalau kita marahi anak yang sedang emosi marah dan takut, maka boleh jadi anak menyimpulkan bahwa kita orang tuanya tidak peduli dengan perasaan mereka. Itu yang membuat anak ibu semakin marah, masuk kamar dan membanting pintu ketika dinasihati. Dia merasa tidak dipahami"
"Jadi kita harus bagaimana?"
"Dengarkan saja, berikan kesempatan dia mengeluarkan semua pikiran dan perasaannya. Tunjukkan bahwa kita berempati pada perasaannya, dengan mengatakan, 'Bunda paham kamu kecewa karena tidak bisa ke Amerika.' Pernyataan itu saja, akan membuat efek berbeda pada perasaannya. Lalu setelah kelihatan lebih tenang, tidak harus saat itu, mungkin beberapa jam sesudahnya, kita duduk bersama dan bertanya. Bertanya, bukan memberi tahu. Tujuannya adalah agar anak mengaktifkan otak berpikirnya. Berpikir sulit dilakukan saat seseorang masih sangat marah"
"Bertanya seperti apa?"
"Kurang lebih seperti yang saya lakukan kepada ibu. Tentunya dengan konten yang berbeda. Misalnya, 'Menurut kamu, apakah orang lain tidak merasakan hal yang sama dengan kamu?' 'Kalau kamu mau tetap ke Amerika juga sekarang, apa yang akan dilakukan, sementara di sana juga kondisinya sama, atau bahkan lebih parah daripada di sini?' atau pertanyaan yang lebih spesifik tentang Tuhan itu sendiri, 'Menurut kamu apa yang kita peroleh selama ini, kekayaan, kesehatan, bakat itu semuanya bukan kasih sayang Tuhan?' Dan pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan itu tujuan utamnya bukan untuk dijawab saat itu, tapi untuk membuat orang berpikir. Karena ketika berpikir, maka emosinya menjadi lebih terkendali. False beliefs atau pikiran yang salah dapat dikritisi dan dilihat dengan cara yang berbeda.
"Berarti kita orang tuanya harus tenang dan sabar ya bu?"
"Betul sekali, dan itu tantangannya. Tidak apa kita emosi sebentar, karena emosi memang tidak bisa ditahan. Tapi jujur dan terimalah emosi tersebut. Lalu berfokuslah pada membantu anak kita. Lihat emosinya sebagai sinyal bahwa dia membutuhkan bantuan dari kita orang tuanya. Ibu pun dapat melakukan proses di atas sendiri, dengan cara bertanya pada diri sendiri, apa yang ibu rasakan, pikirkan. Sehingga ibu bisa lebih menyadari apa yang ibu inginkan. Terima semua perasaan itu.
Yeti Widiati 280620
Catatan:
- Penanganan sebetulnya jauh lebih panjang dari itu dan memiliki tahapan sesuai prosedur yang berlaku. Harus dilakukan sesuai prosedur.
- Kasus umum, identitas disamarkan. Tidak merujuk pada siapa pun tapi bisa terjadi pada siapa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...