Senin, 24 April 2017

BELAJAR DARI BABY ALBERT - yws

Alkisah pada tahun 1920 seorang bayi bernama Albert (bukan nama sebenarnya) menjadi objek percobaan proses belajar (conditioning). John B. Watson, seperti juga para behaviorists lainnya ingin membuktikan bahwa lingkungan memiliki pengaruh besar dalam pembentukan perilaku manusia. Ia melanjutkan eksperimen conditioning yang terkenal dari Pavlov dengan anjingnya.

Baby Albert berusia hampir 9 bulan saat percobaan dilakukan. Ia diperlihatkan beberapa benda yaitu tikus putih, kelinci, monyet, topeng dan koran yang dibakar dan diamati reaksinya. Albert kecil tidak memperlihatkan rasa takut pada semua benda yang diperlihatkan tersebut.

Eksperimen berikutnya, dipilihlah tikus putih sebagai stimulus. Setiap tikus putih dimunculkan, Watson membuat suara nyaring dengan memukul pipa logam dengan palu. Suara keras tiba-tiba ini mengagetkan Albert, sehingga ia menangis. Percobaan ini diulang beberapa kali. Setiap dimunculkan tikus putih, disertakan pula suara nyaring pipa logam yang dipukul. Bayi Albert akhirnya membuat asosiasi dan belajar bahwa kemunculan tikus putih akan membuatnya tidak nyaman. Perasaan cemas ini yang akhirnya membuatnya menangis setiap melihat tikus putih, sekalipun tidak ada suara nyaring pipa logam yang mengiringinya. Dan parahnya rasa cemas dan takut ini digeneralisasikan pada segala hal yang berwarna putih dan berbulu. Albert malang akhirnya takut pada mantel bulu berwarna putih dan juga jenggot putih Santa Claus.

Selanjutnya, Watson berencana untuk menghilangkan rasa takut Albert terhadap objek putih berbulu. Sayangnya hal itu tidak berhasil dilakukan karena Albert mengikuti ibunya yang pindah ke daerah lain dan tidak terlacak kembali keberadaannya. Kita tidak pernah tahu bagaimana hidup Albert dengan membawa phobia-nya terhadap benda putih berbulu. Kita sulit membayangkan bagaimana kecemasan luar biasa yang muncul setiap ia menemukan benda-benda serupa. Apakah dia berhasil terbebas dari phobianya, ataukah hidupnya semakin menderita.

***
Albert malang menjadi phobia karena kesengajaan. Namun dalam banyak kasus-kasus traumatis bila ditelusuri kejadian awal pemicunya, pada umumnya terjadi saat masa kanak-kanak terutama usia 5 tahun pertama. Kondisi ketidakberdayaan anak untuk melakukan coping behavior (perilaku mengatasi masalah) menyebabkan peningkatan kadar emosi saat menghadapi obyek yang membuatnya tidak nyaman dan menimbulkan kecemasan tinggi.

Orangtua yang peka akan membimbing anaknya untuk belajar mengatasi rasa takut dan cemas anak terhadap berbagai obyek yang secara rasional tidak menimbulkan rasa takut. Adalah wajar bila anak takut melihat anjing yang menggonggong keras, mendengar suara petir menggelegar, berada di tempat tinggi, dll. Sayangnya kadang orangtua tidak menyadari hal tersebut dan menganggap hal tersebut sepele, sehingga luput mengajarkan kemampuan coping behavior.

Pada saat tingkat kecemasan dan rasa takut begitu tinggi, yang dibutuhkan anak adalah rasa aman. Bila Watson mengaitkan tikus putih dengan suara keras sehingga menimbulkan rasa cemas. Maka untuk menghilangkan rasa cemas, kaitkan objek pemicu rasa cemas dengan kenyamanan. Pelukan yang erat, tepukan lembut di punggung, elusan di kepala atau kata-kata yang menenangkan jauh lebih memberikan rasa nyaman daripada nasihat apalagi celaan.

*Note: Eksperimen Baby Albert merupakan eksperimen yang ironis, di satu sisi memberikan kontribusi besar dalam bidang psikologi namun di sisi lain secara etis dipertanyakan dari sisi moral dan kelayakan.

Yeti Widiati 130814

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...