Sabtu, 31 Oktober 2015

“KEHILANGAN” YANG MEMBAWA 'ARTI'
(Mengubah Paradigma dalam menghadapi masalah) - yws

Saya mengetahui anak saya hanya mampu mendengar sekitar 60-70 persen pada saat ia berusia 1,5 tahun, sekitar tahun 1996. Saat itu saya menjadi bingung, apa yang saya harus lakukan?

Menurut buku teks psikologi perkembangan anak, gangguan pendengaran akan mengakibatkan gangguan bicara. Gangguan bicara akan mempengaruhi kendali emosi dan mengakibatkan kesulitan bersosialisasi dan juga proses belajar. Gangguan sosialisasi akan mempengaruhi pengembangan konsep diri. Sementara gangguan proses belajar akan mempengaruhi perkembangan kognitif dan penguasaan akademik. Apalagi di Indonesia yang saat itu nyaris tak ada sekolah yang peduli dengan keunikan individu. Pendekatan mengajar dibuat untuk kelas yang homogen. Anak-anak yang unik, orangtuanya harus bekerja lebih keras untuk memberikan pendidikan yang akomodatif bagi anaknya.

Semakin tahu resiko justru membuat saya semakin cemas. Saya perlu waktu berbulan-bulan untuk meredakan kecemasan saya sendiri. Namun ada satu hal yang selalu saya yakini, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan suatu alasan dan meaning tertentu. Meaning yang tidak segera diperoleh tapi akan datang pada orang yang mencarinya. Pemikiran ini yang membuat saya tercenung, apa meaning yang saya bisa peroleh dari kondisi ini?

Ketika menyadari bahwa anak saya tidak bisa berbicara dengan baik karena gangguan pendengarannya, saya mempertanyakan hal yang sebelumnya saya tidak pernah pertanyakan. Dan saya menjawabnya sendiri.

“Apa bicara itu?” – Bicara adalah salah satu bentuk komunikasi

“Kenapa manusia harus berkomunikasi? – Supaya ia bisa dipahami

“Apakah hakikat komunikasi?” – Komunikasi itu penyampaian pesan dari sender dan menerima feedback/umpan balik dari receiver

“Kalau begitu untuk berkomunikasi apakah harus dengan berbicara?” – Tidak, tapi memang lebih mudah bila dengan bicara

“Cara apa lagi untuk berkomunikasi selain dengan berbicara agar kita bisa dipahami?” – Berkomunikasi bisa dengan bahasa tubuh (gerakan, gestur, ekspresi), tulisan maupun gambar. Intinya ada banyak ragam komunikasi selain berbicara.

Kesimpulan ini yang membuat saya kemudian mengubah paradigma/cara pandang tentang komunikasi. Anak saya masih tetap terganggu pendengarannya. Saya pun memang masih tetap membawa anak saya ke tempat terapi wicara, agar ia bisa berbicara dengan artikulasi dan juga susunan kata dan kalimat yang baik. Saya juga membelikannya hearing aid, agar ia dapat mendengar suara lebih keras.

Namun yang lebih penting dari itu semua adalah, bahwa saya tidak lagi stres dengan kenyataan bahwa anak saya hanya bisa mendengar 70 persen saja. Saya tidak kesal karena anak saya membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengolah stimulus dan memberikan respon. Saya bisa memaklumi ketika suaranya hanya lirih saja.

Saya berfokus pada tujuan, bagaimana ia bisa memahami saya dan bagaimana saya bisa memahami dia. Karenanya, saya mengubah cara bicara, memperbesar volume, memperlambat bicara, membuat jeda, melakukan cross check, bicara dengan mata bertatapan, berbicara dengan ekspresi dan gerak tubuh, memberinya kesempatan menggambar, mengobservasi lingkungan, dan mengajarkan membaca dan menulis.

Mencari meaning (menurut Logoterapi), melakukan reframing (menurut NLP), mencari hikmah (menurut agama Islam), apapun istilahnya untuk menggambarkan perubahan paradigma berpikir, ternyata menurunkan tingkat stres. Terbukti bahwa stres diakibatkan oleh pemaknaan terhadap situasi atau lingkungan. Situasi bisa sama, tetapi pemaknaan yang berbeda mengakibatkan libatan emosi yang berbeda pula. Stress, cemas, ataupun bahagia adalah pilihan kita.

Cara seperti ini juga yang biasanya saya lakukan kepada klien yang stres dan mengeluh terhadap hal-hal given atau hal-hal yang tidak bisa kita ubah. Hal-hal yang sudah “dari sananya” begitu.

- Ketika kita lahir dengan kondisi fisik tidak sempurna
- Ketika anak kita ternyata tidak sepintar, secantik, atau memiliki minat seperti yang kita harapkan
- Ketika pasangan kita memiliki kebiasaan, sifat, atau lingkungan yang tidak kita sukai
- Ketika kita berada dalam lingkungan yang tidak seideal seperti yang kita bayangkan
- Ketika kita mengalami kehilangan orang-orang yang dicintai
- Ketika kita mengalami musibah yang tak bisa dihindari
Dan lain-lain.

Maka mencari meaning, melakukan reframing atau mencari hikmahnya adalah cara yang lebih realistis dan masuk akal untuk mempertahankan kesehatan mental dan kebahagiaan diri kita.

Memang ada saja yang mengatakan, “Tapi kan kita kasusnya beda, ibu tidak mengalami kondisi seperti saya,” Ya memang kasusnya berbeda, namun tetap ada rumus yang sama, sekalipun diperoleh dengan jalan yang berbeda.

Lihatlah sekeliling kita, ada banyak orang berbahagia hanya dengan mengubah cara pandangnya. Kenyataan memang tidak akan berubah, tapi sikap mental kita yang berubah 180 derajat. Kalau orang lain bisa, Insya Allah anda juga bisa ....

Yeti Widiati S. 160915

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...