Sabtu, 31 Oktober 2015


SEPERTI MEMBELI KUCING DALAM KARUNG
(Tentang mengenal calon pasangan) - yws

Saya tahu bahwa tema ini cukup sensitif. Sensitif dalam artian berpeluang menimbulkan perdebatan yang cukup tajam. Kalau memikirkan perdebatannya, sungguh saya merasa malas mengangkat tema ini, karena saya tak suka perdebatan yang tak berujung dan tak menyumbang manfaat. Tapi ketika saya melihat 'ke hilir' ke akibat yang terjadi, maka saya serta-merta akan menengok 'ke hulu' dan bertanya "Di mana letak miss-nya?"

Sudah beberapa kali, saya menerima kasus-kasus pernikahan yang umurnya belum juga seumur jagung tapi sudah penuh dengan konflik dan keinginan berpisah yang begitu kuat dari kedua belah pihak. Beragam pasangan namun masalahnya bermuara pada hal yang sama yaitu, "Saya tidak tahu kalau pasangan saya ternyata seperti itu dan saya tak menyukainya"
- Ternyata pasangan saya gampang tersinggung
- Ternyata pasangan saya keras kepala
- Ternyata pasangan saya pemalas
- Ternyata ibu mertua saya cerewet sekali
- Ternyata kakak ipar saya suka iri
Dst.

Saya tanya, "Berapa lama anda mengenal pasangan anda sebelum menikah?"
Jawabannya beragam, ada yang 1 bulan, 3 bulan, 1 tahun, bahkan ada yang sudah berpacaran selama 5 tahun. Saya tidak menemukan pola di sini. Lama perkenalan ternyata tidak menentukan seberapa besar kita mengenal calon pasangan kita.

Saya tanya, "Bagaimana anda mengenal pasangan anda sebelum menikah"
Jawabannya pun beragam, ada yang menjawab kenal karena berpacaran, ada yang diberitahu oleh orang lain tentang calon pasangannya. Saya pun tidak menemukan pola di sini. Ternyata, dari mana sumber informasi' apakah diri sendiri, kerabat, teman, guru, ustadz, dll. juga tidak menjamin kita mengenal calon pasangan dengan baik.

Sehingga dalam hal ini, saya tidak bisa menyimpulkan, apakah orang yang berpacaran sangat lama dan intens, itu kelak akan menjalani pernikahan yang bahagia atau tidak. Karena ada orang yang berpacaran lama dia langgeng dan bahagia tapi ada juga yang berpacaran lama tapi hanya menikah sebentar saja.

Sebaliknya, saya juga tidak bisa menyimpulkan, apakah pernikahan dengan dijodohkan, tanpa proses pengenalan yang memadai itu pasti pernikahannya tidak bahagia? Karena banyak orang yang dijodohkan tapi bahagia, dan sebaliknya banyak juga yang dijodohkan tapi tak bahagia seperti yang dihayati Siti Nurbaya di masa lalu.

Saya akhirnya sampai pada pemikiran, intinya bukan pada 'bahwa ternyata pasangan kita berbeda setelah pernikahan' tapi seberapa besar kemampuan kita untuk bisa menerima perbedaan yang kita temukan dari pasangan.

Karena yang namanya pasangan, baik itu suami maupun istri memang pasti akan membuat kita shock dengan kebiasaannya yang berbeda, latar belakang yang berbeda, keluarga yang berbeda, dll.

Mengapa mereka yang berpacaran lama bahkan yang hubungannya sudah terlalu jauh belum tentu mengenal pasangannya dengan baik?
Karena pacaran bukanlah pernikahan. Pacaran tidak memiliki komitmen dan tanggung jawab sebesar pernikahan. Pacaran, lebih seperti kepalsuan yang ditampilkan dengan sengaja. Dan bisa putus kapan pun tanpa harus bertanggung jawab.

Oleh karena itu mereka yang berpacaran lama tetap shock setelah pernikahan, karena kelelahan dalam kepalsuan akan terbuka juga saat pernikahan. Kecuali bagi mereka yang memang selalu tampil apa adanya, maka setelah pernikahan, guncangan keterkejutan tidak lah terlalu besar.

Tapi saya kira, tetap ada hal penting yang perlu diketahui dari calon pasangan. Karena pernikahan adalah komitmen kuat yang perlu dipelihara dan dijaga sekuat mungkin. Direncanakan akan dijalani dalam jangka waktu lama. Sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan-tujuan besar dan melahirkan generasi baru yang lebih baik.

Kita perlu tahu value yang dimiliki calon pasangan kita. Apa harapan-harapannya, cita-citanya dan rencana-rencananya ke depan.

Kita juga perlu mengenal keluarga besarnya. Karena pernikahan bukan hanya tentang bersatunya 2 (dua) orang melainkan bergabungnya 2 (dua) keluarga besar.

Kita memang perlu tahu juga apa yang menjadi kesukaan dan kebiasaan calon pasangan kita, untuk memudahkan proses adaptasi yang berlangsung.

Mengenal adalah seperti melakukan orientasi. Ketika kita akan pergi ke suatu tempat, maka kita akan membuka google map dan membayangkan rutenya. Ketika kita akan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan, kita akan cari tahu terlebih dahulu segala macam hal tentang perusahaan tersebut dan pekerjaan yang ditawarkan. Ketika seorang dosen akan mengajar maka ia memberikan gambaran secara umum materi kuliah yang akan diberikan dalam satu semester.

Maka menjadi luar biasa gambling, jika seorang yang akan menempuh perjalanan hidup bersama seorang laki-laki/wanita tidak melakukan orientasi terlebih dahulu untuk hal yang begitu penting dan dipertanggung-jawabkan di depan Tuhan.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan. Pilih yang sesuai dengan value. Namun jangan biarkan cara yang justru menjadi ganjalan dalam mencapai tujuan. Yang crucial kita kembangkan pada diri adalah kemampuan untuk menerima orang lain dan beradaptasi dengan situasi yang baru, yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Bagi para orangtua, maka mengajar dan membimbing anak (laki-laki ataupun perempuan) untuk bisa beradaptasi dengan situasi yang berbeda adalah penting. Karena berpengaruh terhadap bagaimana mereka kelak menjalani pernikahan.

Wallahu'alam

Yeti Widiati S. 150915

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...