Sabtu, 31 Oktober 2015

BELAJAR BERPIKIR DARI IBRAHIM ...
(Konteks Perkembangan Religius) - yws

Salah satu kisah dalam Al Qur'an yang menginspirasi saya adalah ketika Ibrahim AS. "mencari" Tuhan. Ia bertanya pada ayahnya, bertanya pada dirinya sendiri, mengamati alam dan lingkungan, berpikir kritis dan melakukan analisis hingga sampai pada kesimpulan dan keputusan yang ternyata membuat ia harus berseberangan dengan kaumnya saat itu.

Dalam psikologi, setiap orang akan melalui fase bertanya mengenai hal-hal yang abstrak, filosofis, transenden dan/atau spiritual. Ini semua termasuk dalam aspek perkembangan relgius seseorang. Kemampuan ini diiringi juga dengan perkembangan kognitif dan perkembangan moral.

Umumnya, pertanyaan-pertanyaan ini memuncak pada saat anak berusia 13 tahun hingga 17 tahun. Bisa kurang atau lebih bergantung pada seberapa besar lingkungan merangsang kemampuan berpikir anak. Setelah periode itu berlalu, seharusnya seseorang sudah memiliki kesimpulan dan mengambil keputusan, sistem value yang mana yang akan dianutnya, apakah sama dengan orangtuanya ataukah justru berseberangan dengan orangtuanya.

Saya menyadari kekuatiran orangtua saat anak mengajukan pertanyaan yang dianggap sensitif tentang agama dan termasuk juga implikasinya dalam keseharian yang tidak selalu paralel dengan konsep yang diajarkan. Orangtua yang kuatir anak mengambil kesimpulan yang salah seringkali mengambil jalan short cut dengan melarang anak bertanya atau justru memaksa anak untuk mengikuti apa yang diyakini orangtuanya. Di titik ini saya melihat bahwa cara yang dilakukan itu sama dan sebangun dengan apa yang dilakukan ayahnya Ibrahim AS. ketika ia kebingungan menjawab dan akhirnya menyuruh Ibrahim untuk mengikuti apa yang sudah dilakukannya selama ini secara turun-temurun.

Kita mungkin berkilah, "Tapi kan yang kita ajarkan pada anak kita adalah yang benar, bukan seperti yang diajarkan bapaknya Ibrahim"

Sah-sah saja bila kita berpendapat seperti itu. Namun ada hal yang jauh lebih penting menurut saya, adalah bahwa kita perlu membimbing dan mengajarkan anak untuk bisa mengambil keputusan dan memilih mana yang baik dan benar berdasarkan pertimbangan dan kemampuan analisisnya sendiri. Ini adalah bagian dari kemandirian yang perlu kita ajarkan yaitu kemandirian untuk berpikir, berpendapat dan mengambil keputusan.

Transfer value dari orangtua pada anak menurut saya juga dipengaruhi oleh, seberapa terbukanya orangtua, untuk membahas hal-hal yang bersifat transenden ini. Betul, adalah sangat baik bila orangtua bisa menjawab semua pertanyaan anak. Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah, keterbukaan yang ditunjukkan orangtua dengan mendengar, menyimak, mencarikan jawaban dan menahan diri untuk tidak mematikan rasa ingin tahu anak. Anak tidak akan kehilangan rasa hormatnya kepada orangtua, hanya karena orangtua tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh anak.

*Kita berhenti menyuapi anak makan, dan mengajarinya menggunakan sendok dan garpu agar suatu hari ia dapat makan sendiri.
Oleh karena itu, kita juga perlu sedikit demi sedikit mengurangi menyuapi anak dengan doktrin dan dogma lalu mulai mengajarinya berpikir dengan bertanya, menjawab pertanyaan, memberi persoalan dan memberi kesempatan untuk mengambil kesimpulan agar suatu hari ia dapat berpikir dan mengambil keputusan sendiri dengan berpihak pada yang baik dan benar.

Wallahu'alam

Yeti Widiati S. 021015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...