Sabtu, 24 Juni 2017

Mengajarkan Pendidikan Seks pada Anak dan Remaja

Saya menemukan bahwa banyak orang tua atau pun guru merasa canggung untuk berbicara mengenai hubungan laki-laki dan perempuan kepada anak-anak mereka. Padahal hubungan laki-laki dan perempuan adalah hal yang wajar dan alamiah. Manusia tidak akan bisa tumbuh dan berkembang bila Allah tidak menjadikan perasaan cenderung kepada lawan jenis. 

Seperti juga perkembangan pada aspek-aspek lain yang berkembang dari sederhana menjadi kompleks, maka ketertarikan kepada lawan jenis pun juga berkembang seperti itu. Menariknya adalah perkembangan ini diawali dengan perkembangan fisiologis, yaitu dalam hal perkembangan hormon sesuai dengan jenis kelamin. Estrogen dan progesteron pada perempuan dan hormon testosteron pada laki-laki. 

Dalam konteks fisiologis dan hormononal ini, maka manusia tidak berbeda dengan makhluk hidup yang lain, terutama dengan binatang. Akan tetapi Allah melengkapi manusia dengan kelengkapan lain yang membuatnya menjadi berbeda dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari hewan, yaitu kognitif dan moral. Aspek kognitif dan moral ini yang membuat manusia memiliki aturan-aturan dalam menyalurkan ketertarikan terhadap lawan jenis termasuk dorongan seksualnya. 

Oleh karena itu, meskipun anak-anak, secara fisiologis belum memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis yang didasari perkembangan hormonal dan dorongan seksual, namun pemahaman aturan atau batasan sudah dapat diajarkan sesuai dengan tahapan perkembangan anak. 

Hal-hal apa saja yang perlu diperkenalkan pada anak agar pada masa pubertas ia masih tetap dapat menjaga perilakunya meskipun perubahan hormonal kerap membuatnya galau dan tertekan?

1. Konsep dan identitas diri yang jelas sebagai laki-laki atau perempuan. Saya pribadi mengenalkan tentang konsep ini ketika anak saya berusia 2 tahun. Yaitu dengan menjelaskan perbedaan organ reproduksi laki-laki dan perempuan, siapa saja yang boleh melihatnya, dan dalam konteks seperti apa. Siapa yang boleh membantunya berpakaian, buang air besar atau kecil. Kalau sakit harus bilang pada siapa, dan lain-lain. Saya melakukannya tanpa memberikan tekanan berlebihan dan sesuai dengan daya penerimaan anak. Sehingga anak merasa bahwa hal itu adalah wajar, dan bukan sesuatu yang tabu. Saya berharap mereka bisa berbicara terbuka dan lugas, tapi tahu waktu dan tempatnya. 

Kenapa berbicara hal tentang seks itu penting dilakukan secara terbuka, karena 80% masalah perceraian adalah karena masalah komunikasi mengenai seks. 

2. Pemeliharaan organ-organ reproduksi. Kebersihan dan kesehatan organ reproduksi adalah penting. Selain terkait dengan syarat sahnya ibadah, juga terkait dengan kesehatan individu ybs, dan keturunannya. Tidak sedikit kecacatan pada bayi terjadi karena orang tuanya tidak menjaga kebersihan dan kesehatan organ reproduksi dengan baik. Islam sebetulnya sudah dengan sangat baik dan detail dalam menjelaskan hal ini. Akan tetapi diperlukan juga penguatan dari sisi medis-nya. 

3. Hubungan antar lawan jenis. Bagaimana batasan laki-laki dan perempuan untuk berinteraksi. Bolehkah surat-suratan, bolehkah jalan bareng, kalau boleh bagaimana batasannya. Intensitas masalah dalam area ini memang akan meningkat ketika anak memasuki usia pubertas dan remaja. Saya pribadi lebih suka untuk tetap berpatokan pada batasan yang ada, tidak berubah menjadi lebih ketat hanya karena anak menjadi remaja. Kalau dulunya saya berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan boleh ngobrol, ya ketika memasuki masa remaja pun masih tetap boleh ngobrol. Kalau anak ternyata cenderung hanya mau mengobrol pada teman tertentu dan situasi tertentu, ya jelaskan juga batasannya. Dan apakah hal itu layak dilakukan atau tidak, terlepas dari apakah ada pengaruh hormonal atau tidak. 

Konsep mengenai pernikahan sudah harus dijelaskan ketika anak sudah baligh, atau masa pubertas dalam istilah Psikologi. Karena anak harus tahu bahwa hubungan seks akan membawa pada konsekuensi yang sangat besar dan serius serta memerlukan tanggung jawab yang luar biasa besarnya. 

Pada usia pubertas ini juga anak perlu diajarkan bagaimana caranya untuk mengalihkan fokus dan energinya yang sangat besar. Karena di satu sisi ada dorongan seksual namun di sisi lain ia belum dilengkapi dengan kemampuan untuk bertanggung jawab. Di negeri-negeri Barat, short cut yang dilakukan adalah dengan mengajarkan hubungan seks aman. Tapi itu tentu bukan pilihan cara yang akan kita ambil karena lebih banyak menyebabkan kemudharatan. Di titik ini kita perlu mengembangkan cara yang lebih kreatif tapi tetap syar'i.

4. Berpakaian dan berperilaku Saya pribadi meyakini bahwa aturan berpakaian dalam Islam adalah untuk melindungi kehormatan. Oleh karena itu selain mencontohkan, saya juga mengajarkan mengenai konsep dasar berpakaian. Saya lebih suka bahwa kesadaran untuk menjaga diri itu tumbuh dari anak, bukan karena paksaan dari lingkungan. Karena paksaan kerapkali menimbulkan tentangan dan tindakan yang sebaliknya. Oleh karena itu saya lebih suka mengajarkan anak untuk membayangkan apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain jika ia memakai pakaian tertentu. 

Untuk point 3 dan 4, saya kira usaha kita akan jauh lebih besar, karena kita dihadapkan pada lingkungan dan orang-orang yang memiliki value yang berbeda, sehingga turun dalam tata aturan yang berbeda juga. Menurut saya, daripada kita mengeluh karena orang lain berpakaian terbuka dan "mengundang" atau menunjukkan interaksi laki-perempuan dengan batasan minimalis, maka saya lebih suka membuat bagaimana anak bangga dan yakin dengan value yang dimilikinya. 

5. Mengajarkan kehormatan dan tanggung jawab Kasus-kasus pelecehan seksual, saya kira bertitik tolak dari diabaikannya kehormatan. Baik bagaimana seseorang menghormati dirinya sendiri maupun menghormati lawan jenisnya. Jika ada konsep yang menganggap bahwa orang lain, termasuk lawan jenis lebih rendah derajatnya dari dirinya sendiri, maka perilaku untuk merendahkan akan muncul dalam banyak bentuk. Berpakaian terbuka atau perilaku menggoda sebetulnya hanya trigger, karena yang jauh lebih mendasar adalah penghormatan terhadap diri dan orang lain. 

6. Pemahaman tentang peran sesuai dengan jenis kelamin. Anak laki-laki kalau sudah besar jadi ayah dan anak perempuan kalau sudah besar jadi ibu. Ada peran yang bisa dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Tapi ada peran yang spesifik hanya bisa dilakukan laki-laki atau perempuan karena perbedaan fitrahnya. Perempuan melahirkan dan menyusui adalah fitrahnya dan tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Tetapi peran sesuai jenis kelamin ini juga bisa dipengaruhi oleh value dan budaya. Pengalaman saya, diskusi tentang ini juga akan menjadi panjang lebar, karena masing-masing orang memiliki pendapat yang berbeda. Tapi ketika kita berurusan dengan pendidikan anak, baik itu di rumah maupun di sekolah, maka sepakati bersama terlebih dahulu di antara para pendidik (ayah-ibu atau guru), apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak didiknya.

Yeti Widiati 101212

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...