Senin, 11 September 2017

TENTANG "JATUH" BERULANG DAN PENGARUHNYA PADA PERKEMBANGAN ANAK - yws

Pagi ini saya membuat status singkat tentang "jatuh". Ragam respon menunjukkan pengalaman yang berbeda antara satu orang dengan lainnya. Dan semua itu sah-sah saja, karena setiap orang memang memiliki karakteristik, persepsi (yang terbentuk dari pengalaman) dan pengalaman itu sendiri. Di dalam pengalaman itu terkandung juga pola asuh yang selama ini telah diterima dari orangtua masing-masing dan bagaimana kita memaknainya.

Ketika kita jatuh (satu kali), ada beberapa kemungkinan penyebabnya;
1. Karena kaki kita masih BELUM KUAT. Dalam perkembangan, ini kita kaitkan dengan kematangan. Seorang anak yang belum matang, maka ia belum siap untuk menerima tantangan di atas kemampuannya.

2. Karena kita belum tahu TEKNIK jalan yang benar. Ini berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan. Semakin kuat tubuh kita dan semakin sering belajar, maka sejauh tingkat kesulitannya sesuai dengan kemampuan kita, maka kita akan bisa menguasainya.

3. Karena jalan yang memang terlalu SULIT, di atas kemampuan kita. Maka kita perlu mencari jalan dan tantangan lain yang lebih sesuai dengan kemampuan kita.

4. Karena kita MERASA LEMAH, sehingga kita kehilangan energi mental, merasa tak mampu, merasa medan terlalu sulit dan tak bersemangat untuk belajar lagi.

Bahasan "jatuh" ini berbeda antara anak dengan orang dewasa. Karena pada anak, kelemahan obyektif no. 1, 2 dan 3 adalah yang paling sering terjadi, sehingga bantuan konkrit dan dukungan psikologis akan dibutuhkan secara seimbang. Sementara pada orang dewasa, no. 4 yang jauh lebih banyak.

"Merasa lemah" akan membentuk konsep diri seseorang, yang membuat ia membatasi dirinya untuk tidak melakukan apapun. Konsep ini terbentuk dari pengalaman kegagalan yang berulang. Awalnya kegagalan itu bersifat obyektif, namun kemudian bergeser menjadi subyektif, ketika ybs, meyakini bahwa ia memang benar-benar tidak mampu dan pasti gagal pada area tersebut. Konsep itu semakin kuat ketika ada orang yang memiliki otoritas (orangtua, guru, teman, ahli, dll) yang melakukan judging bahwa ia memang lemah pada area tersebut. Maka label tersebut seolah dikonfirmasi oleh orang-orang di sekitarnya, dan ia meyakininya dengan baik.

Carol Dweck dalam buku "Mindset" dan dalam banyak seminarnya, berulang menekankan bahayanya judging (fix mindset), dan ia lebih mem-promote 'growth mindset' yaitu apresiasi pada proses. Oleh karena itu alih-alih, berkata, "Kamu ini lemah", ia lebih mendorong orang untuk mengatakan "Bagus sekali kamu sudah berusaha".

Dalam bahasan Solution Focused Therapy dan Neurosains pun demikian. Semakin terlihat, judging buruk akan dipersepsi sebagai ancaman, sehingga otak reptil yang aktif dan bereaksi mempertahankan diri dan bukannya otak kognitif yang bekerja untuk berpikir positif mencari ragam alternaif penyelesaian.

Balik lagi ke jatuh berulang. Bila hal ini terjadi pada anak kecil dengan segala keterbatasannya, maka semangat belajar yang awalnya dimiliki akan hilang, ketika;
- anak benar-benar merasa helpless, tidak berdaya dan tidak terbantu untuk mengatasi kesulitannya.
- lebih buruk lagi, bila orang dewasa di sekitarnya memberikan sikap dan komen kontraproduktif, mencaci ("Kamu ini susah banget diajarin"), menertawakan ("Masa gitu aja gak bisa"), judging ("Emang bodoh sih"), langsung membantu ("Udah sini sama bunda aja"), membandingkan ("Si anu bisa, masa kamu nggak bisa"), mengabaikan kemampuan ("Kamu harus bisa"), membiarkan dan tidak peduli apakah anak bisa atau tidak.

"Jatuh" pada orang dewasa, seperti disampaikan di atas, lebih banyak mengikuti karakteristik No. 4. Mengapa demikian? Orang dewasa bisa mencapai usia puluhan tahun berarti mereka sudah melalui banyak keberhasilan dalam hidupnya dan juga sudah memiliki pola bagaimana membuat dirinya berhasil. Sehingga bila ia tidak bisa kebanyakan adalah karena "MERASA" tidak bisa.
- Ketika orang dewasa menghadapi kesulitan, mereka bisa mengacu pada keberhasilan-keberhasilan yang pernah dilalui dalam hidupnya. Dari sekian banyak kegagalan, pasti ada keberhasilan yang pernah kita alami. Ini lah yang disebut dengan EXCEPTION, atau perkecualian. Kita belajar dari perkecualian tersebut, apa yang membuat hal itu terjadi, dan bagaimana kita mengulanginya.
- Orang dewasa juga sudah memiliki tujuan jangka panjang yang bisa dicapai secara bertahap. Berbeda dengan anak yang tujuannya hanya berjangka pendek.
- Orang dewasa sudah memiliki trick atau strategi menghadapi kesulitan, kegagalan dan menyusun rencana keberhasilan. Sehingga sebetulnya rumus-rumus penyelesaian itu sudah dimiliki. Ketika emosi dan lupa, tinggal diingatkan saja. Hehe ... gampang bener rumusnya. Melakukannya perlu "jungkir balik".

Oleh karena itu pendekatan bantuan pada orang dewasa adalah lebih sesuai menggunakan yang membuat mereka aktif mencari dan menggali sendiri. Orang dewasa kurang sesuai bila diajari seperti anak yang belum paham sama sekali. Apalagi disuapi dan diberi tahu terus-menerus.

Pada orang dewasa, judging dilakukan lebih banyak oleh diri sendiri. Sekalipun dilakukan oleh orang lain di sekitarnya, tokh kita sebagai orang dewasa memiliki otoritas paling besar untuk memutuskan sampai seberapa jauh pengaruh masa lalu, pengalaman dan omongan orang lain itu mempengaruhi diri kita dan keputusan-keputusan kita memperbaiki diri.

Sebagai orang dewasa, diri kita lah yang paling bertanggung jawab atas kesembuhan dan perkembangan diri kita sendiri. Jadi MULAI SEKARANG kita berpikir, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki diri sendiri.

Yeti Widiati 74-100917

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...