Sabtu, 09 September 2017

EMOSI, PESAN DAN PENGARUHNYA DALAM PERKEMBANGAN ANAK - yws

Sebetulnya istilah emosi positif dan emosi negatif itu kurang tepat, karena emosi pada dasarnya bersifat netral dan memiliki pesan/tujuan yang baik bagi manusia. Namun kadang saya menggunakan istilah emosi 'positif' atau 'negatif' (dengan menggunakan tanda kutip), lebih kepada menunjukkan pengaruhnya kepada diri kita.

Ketika kita berbicara mengenai efek emosi, maka efeknya inilah yang bervariasi. Karena emosi berkait dengan tubuh, pikiran dan perilaku, maka menjadi sangat penting bagi kita untuk memahami mengenai dinamika emosi, sehingga bisa kita manfaatkan optimal untuk perkembangan anak kita, dan juga untuk diri kita sendiri.

Emosi itu seperti warna, ada emosi dasar, dan ada emosi turunannya. Menurut Paul Ekman, ada 6 emosi dasar;
- Happy (BAHAGIA),
- Excited (BERSEMANGAT),
- Tender (SAYANG),
- Scared (TAKUT),
- Angry (MARAH),
- Sad (SEDIH),

yang kemudian dari sini diturunkan menjadi puluhan jenis emosi lainnya yang bisa merupakan kombinasi dari emosi dasar.

Sulitnya dalam bahasa Indonesia (yang berasal dari bahasa Melayu), ternyata perbendaharaan kata untuk jenis emosi tidaklah cukup memadai. Kita bukan masyarakat yang artikulatif untuk menjelaskan emosi dengan terbuka. Saya kerap menemukan klien remaja dan dewasa yang kesulitan untuk menjelaskan emosinya. Hal ini lebih jauh juga berpeluang menimbulkan masalah karena emosi yang ditekan.

Sebetulnya masyarakat kita bukan tidak bisa sama sekali "menggambarkan" perasaan atau emosi. Budaya kita mengekspresikan emosi lebih banyak menggunakan metafora. "Sakitnya seperti diiris sembilu", "Rasanya lega seperti menghirup udara segar", "Terkejut seperti disambar geledek", dlsb, adalah beberapa contoh penggunaan metafora yang umum.

Sayangnya tidak semua orang mudah mengekspresikan emosi dengan kata atau metafora, dan sebaliknya tidak semua orang memahami metafora dan tidak selalu siap menerima ekspresi emosi yang disampaikan dengan lugas. Kalimat, "Saya marah ..." itu seringkali mengejutkan dan dihindari bahkan dihalangi oleh sebagian orang.

Emosi adalah sesuatu yang bersifat privat, berkait fisik, dan dipengaruhi oleh pikiran (beliefs) dan kemunculan emosi ini tidak disadari dan tidak bisa ditahan. Ketika menghadapi sesuatu yang menyeramkan, orang langsung ketakutan dan ia tidak bisa menghalangi kulitnya yang tiba-tiba memucat. Ketika merasa malu, orang juga tidak bisa menghalangi mukanya memerah. Termasuk orang tidak bisa menghalangi ketika marah, otot-ototnya menjadi tegang.

Itu mengapa saya pernah mengatakan bahwa bila seorang anak emosi, maka ia tidak layak dihukum, karena emosi itu adalah respon privat spontannya terhadap suatu stimulus. Lebih penting bagi kita adalah menangkap 'pesan' emosi tersebut dan kemudian tindakan kita selanjutnya adalah berdasarkan pesan emosi yang ditangkap tsb.

Emosi marah dan takut (termasuk cemas) adalah emosi yang mempengaruhi otak reptil (brainstem). Reaksi khas dari brainstem adalah;
- Fight (melawan), yang bisa muncul dalam ragam ekspresi/bentuk perilaku agresi, menghancurkan, melanggar aturan, mengamuk, berkata kasar, dll.
- Flight (melarikan diri), muncul dalam bentuk kabur, tidak mau melakukan apapun, tidak mau bicara, tidak mau makan, dll.
- Freeze (diam), bisa muncul dalam bentuk, bingung, salah tingkah, lupa, dll.

Kerja brainstem yang begitu dominan akan membuat kerja limbik (otak emosi) terpengaruh dan otak korteks (otak berpikir) menjadi tidak optimal.

Maka tidak heran, anak-anak yang mengalami kejadian yang sangat luar biasa (trauma, bencana, kecelakaan) dan/atau kejadian luar biasa yang berlangsung terus-menerus sepanjang masa kanak-kanaknya (KDRT, bullying, pola asuh otoriter, labelling negatif, dll), menjadi mudah lupa dan sulit berpikir, kaku serta mengembangkan prasangka-prasangka negatif. Biasanya tampil dalam prestasi akademik yang tak sesuai dengan potensinya. Kondisi ini terjadi karena otaknya berfokus pada ancaman dan sibuk bekerja lebih keras untuk bereaksi pada ancaman tersebut dalam rangka untuk melindungi dirinya dari 'kehancuran".

Fungsi kognitif antara lain daya tangkap, wawasan, pemahaman, logika, kreativitas, analisa/sintesa, pemecahan masalah, kecuali memori, dikelola lebih banyak oleh otak korteks yang bekerja lebih baik saat brainstem tidak bekerja terlalu keras, dan limbik "mengeluarkan" emosi yang tepat.

Semoga sekarang bisa lebih terlihat kaitannya mengapa disarankan kita tidak melakukan labelling negatif pada anak. Tak ada seorang pun yang suka disebut "Si Bodoh", "Si Bandel", "Si Pemalas". Sebutan-sebutan buruk seperti itu akan mengaktifkan brainstem, mendorong orang untuk melakukan respon pertahanan diri (fight, flight, freeze respons).

Bila kita berharap anak atau siswa kita belajar dengan kemampuan terbaiknya, cara yang lebih logis dan paling mendukung untuk otak korteks bekerja optimal adalah dengan membuat anak senang, penasaran, berani dan bersemangat belajar.

Apakah emosi marah, takut, sedih itu perlu selalu dihindari? Tidak, bahkan perlu dihadapi. Semua emosi perlu berkembang seimbang dan proporsional dan kita tahu bagaimana mengekspresikannya dengan cara yang tepat/adaptif. Nah, ukuran-ukurannya ini yang bersifat subyektif dan berbeda pada setiap orang.

Marah membuat kita mau mempertahankan diri.
Takut dan cemas itu untuk pemahaman mengenai keterbatasan diri.
Sedih membuat kita memahami bahwa kita memiliki harapan, keinginan dan kebergantungan.
Senang membuat kita tahu apa yang ingin kita capai.
Semangat dan berani membuat kita menyadari apa yang kita mampu.
Cinta membuat kita menyadari dorongan untuk care pada orang lain.
Dll.

Yeti Widiati 73-090917

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...