Sabtu, 09 Juli 2016

PENJARA "REAL TIME" DALAM PARENTING - yws

Era digital memunculkan istilah "real time" yang bermakna kurang lebih rentang waktu yang dihasilkan suatu perangkat komputer untuk berespon. Semakin cepat respon suatu perangkat, maka dipandang lebih baik. Kejadian di suatu tempat bisa diakses dalam hitungan detik di tempat yang lain.

Nampaknya konsep "real time" ini berpengaruh secara signifikan pada perilaku manusia, termasuk parenting di dalamnya.

Suatu hari pernah seorang muda, sms curhat pada saya. Saya sempat membacanya, tapi tidak menjawab sms tersebut karena sesuatu dan lain hal. Selang beberapa menit, masuk sms kembali dari orang tsb. berisi protes, "Kenapa Mbak hanya membaca saja dan tidak menjawab curhat saya? Mbak gak suka sama saya, ya?"

Ooops, agak kesal saya jadinya karena bukan saja orang tsb. tidak peduli pada situasi saya, tapi juga mengakhiri pertanyaannya dengan tuduhan pada saya. Terlintas dalam pikiran saya, jangan-jangan orang ini hidup 24/7 bersama gadget di samping dirinya, dan segera berespon setiap ada pesan sms, wa, FB, twitter, instagram dll yang masuk. Dan ia mengira semua orang termasuk saya, seperti itu.

Pengaruh real time dalam parenting, sungguh patut kita cermati juga. Apakah ini sesuatu yang mendukung ataukah justru merusak proses pendidikan yang kita bangun untuk anak-anak kita.

Saat balita, ibu saya mendampingi saya setiap saat. 24 jam dalam seminggu. Kemudian ketika saya masuk sekolah TK, ibu tidak memperoleh kabar dari saya selama 2 jam dari jam 8-10. Selama 2 jam itu saya memperoleh kesempatan untuk tampil sebagai diri saya, tanpa intervensi dari orangtua.

Masuk SD, rentang waktu saya mandiri menjadi lebih panjang, antara 3 jam (kelas 1 SD) sampai 5 jam. SMP-SMA, 7 jam. Dan saat kuliah, bisa seharian atau bahkan berhari-hari (jika menginap) orangtua saya tidak mendapat kabar dari saya. Ya, tak ada gadget saat itu, dan kami pun belum memiliki telpon rumah. Sekalipun tidak berhubungan setiap saat, saya merasakan bahwa orangtua saya tetap trust pada saya.

Sekarang, zaman berubah. Jamak saya mendengar orangtua yang menelpon anaknya yang sudah mahasiswa 3-5 kali/sehari (lebih dari dosis obat). Tak peduli anaknya sedang kuliah, diskusi, ngobrol dengan teman atau bahkan sedang tidur di kostannya. Anak TK bahkan play group pun dibekali gadget oleh orangtuanya. CCTV di pasang di rumah agar orangtua bisa memonitor bayinya dari kantor. Dan meradangnya para orangtua ketika diberlakukan peraturan "No gadget" di sekolah.

Untuk point terakhir ini, bukan hanya orangtuanya yang meradang, bahkan siswanya pun demikian. Kesal karena tak punya kesempatan chatting dengan teman-temannya via gadget. Daaaaan ... sayang disayang, para guru pun tidak selalu menunjukkan contoh, bagaimana cara "hidup" tanpa gadget. Karena saat mengajar dan ada pesan masuk, di sela waktu mengajarnya ia pun membalas ragam pesan, langsung atau pun via wa.

Teknik berbohong via gadget pun berkembang,
"Gua lagi otw nih ..." padahal sama sekali belum berangkat.
"Honey, aku lagi di kantor ..." padahal sedang di Senayan.
"Mama aku lagi belajar bareng ..." padahal sedang pacaran
Etc. ...

Ketika hp bisa juga digunakan untuk mengirim foto, maka muncul istilah, "No picture is hoax", sehingga orang tidak lagi hanya berbicara tapi merasa perlu untuk membuktikan kebenaran omongannya. "Lagi makan di mall nih ..." mengiringi pose tersenyum di depan meja penuh makanan. Kalau perlu minta mbak dan mas pelayan untuk memfotokan. Btw, salah satu ketrampilan yang dibutuhkan para pelayan restoran sekarang adalah kemampuan memfoto dengan ragam hape.

Kemudian, berkembanglah teknologi GPS yang bisa dipasang di gadget, sehingga keberadaan seseorang bisa dilacak. Tulisan, bicara dan gambar dianggap tidak bisa jadi cukup bukti. Selain kita bisa "share location", kita juga bisa melacak keberadaan orang lain yang kita pasangi GPS.

Suami-istri yang ribut gara-gara GPS, tidak jarang terjadi.
"Aku di kantor, Sayang ..."
"Nggak, kamu bohong, kamu sedang di luar kota. Kamu sedang pacaran kan sama sekretaris kamu ...?" (Rupanya sang istri memasang GPS di hp suaminya)

Atau juga bahkan orangtua memasang GPS pada anaknya untuk memonitor keberadaan anaknya agar ia merasa tenang mengetahui di mana anaknya berada. Sedihnya adalah, mungkin saja orangtua bisa tenang bisa memonitor aktivitas anak, tapi anak sama sekali tidak merasakan kehadiran orangtuanya.

Pertanyaannya kemudian, betulkah kita menjadi merasa lebih tenang dengan mengetahui segala macam informasi dan kondisi anak atau pasangan kita real time? Betulkah trust atau rasa percaya kita tumbuh pada anak kita atau pasangan kita? Betulkah bonding (ikatan) yang terbentuk antara orangtua dan anak menjadi lebih kuat? Atau yang terbentuk hanya ikatan imajiner yang semu?

Saat saya menulis ini semua, saya menyadari sepenuhnya bahwa saya juga terjebak dalam situasi tersebut. Saat anak saya yang berkuliah di luar kota tidak membalas sms saya, saya menjadi gelisah. Meskipun anak saya mengatakan, "Aku kan lagi kuliah, Maaa ...."

Saya pun merenung kembali.
- Betulkah kecanggihan semua peralatan digital ini membantu saya mempertahankan trust pada diri saya terhadap anak-anak saya tercinta?
- Betulkah saya memberikan kesempatan pada anak saya untuk bertumbuh mandiri tanpa intervensi setiap saat dari saya sebagai orangtuanya?
- Apakah cukup kesabaran saya untuk menunggu dan tidak tergesa memperoleh informasi real time dan menahan diri untuk tidak ikut campur?
- Dlsb.

Alih-alih memberikan kebebasan dan keleluasaan, real time justru menciptakan penjara imajiner yang membuat diri kita menjadi semakin gelisah setiap kali tidak memperoleh informasi segera.

Wallahu'alam

Yeti Widiati 090716

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...