Kamis, 20 Agustus 2015


KEJUJURAN

Tema ini tampaknya tema klasik dalam perbincangan bidang apa pun. Paling hangat terakhir ini tentu saja dikaitkan dengan UN. Tapi saya ingin membahasnya dalam kaitannya dengan menanamkan kejujuran pada anak, khususnya dari rumah.

Keterpukulan saya adalah ketika pada beberapa bulan lalu saya membahas tema kejujuran ini dengan sekelompok pendidik. Dan mereka secara langsung dan tidak langsung menunjukkan keengganannya untuk berpartisipasi aktif menanamkan kejujuran pada anak. Alasannya karena, "Sia-sialah melakukan itu. Karena ketika kita menyuruh anak jujur, sementara sistem tidak jujur, dan anak yang curang justru lebih tinggi nilai ujiannya daripada anak yang jujur. Ketika orang yang jujur dimusuhi oleh banyak orang lain. Maka apa untungnya untuk bertindak jujur?"

Saya sedih dan sempat kehilangan semangat. Saya menyadari bahwa kita semua tidak sepenuhnya bersih. Namun saya yakin betul bahwa kita juga merindukan kejujuran.

Apa yang saya bisa lakukan ... ?

Saya mencoba "membedah" apa dinamika yang terjadi ketika seseorang bertindak tidak jujur dan penuh kebohongan? Saya memang tidak ingin berputar-putar pada diskusi yang berisi blaming atau menyalahkan sistem atau pemimpin yang tidak memberikan contoh. Pola diskusi semacam itu hanya menunjukkan kelemahan, karena kita memposisikan diri kita sebagai korban yang tidak berdaya terhadap lingkungan. Posisi yang membuat kita merasa layak untuk tidak melakukan apapun dan hanya menuntut orang lain dan lingkungan yang berubah.

Saya menemukan bahwa ketika orang berbuat curang, bohong, korup, dll maka;
- Ada ketakutan pada diri mereka untuk menjadi berbeda dari orang-orang di sekitarnya. sekalipun dalam hal yang baik dan benar. Budaya konformitas membuat kita begitu takut terasing.
Keberanian untuk mendengar kata hati dan menampilkannya dalam bentuk perilaku menjadi point crucial di sini.

- Ada kebergantungan yang besar terhadap orang lain, berarti pula kita tidak cukup mandiri dan percaya diri untuk menjadi diri kita sendiri.
Konsep diri seperti apa yang kita bangun pada diri dan anak-anak kita? Siapa yang kita tanamkan untuk menjadi tempat sandaran bagi anak-anak kita?

- Ada egoisme. Fokus pada diri dan kepentingan sendiri yang begitu besar, membuat kita abai pada kepentingan orang lain.
Kepedulian sulit tumbuh pada mereka yang dibesarkan dalam pola asuh pemanjaan (permisif), paksaan (otoriter) dan ketidak pedulian (neglected). Yang satu egois karena terlalu banyak diperhatikan sehingga tak belajar peduli pada orang lain. Lainnya egois karena menuntut perhatian yang kurang diperolehnya.

- Ada logika yang terbalik-balik yang terbentuk dari habit atau pembiasaan yang salah.
Usaha meluruskan itu bukan tanpa halangan. Ada rasionalisasi, justifikasi dan pembenaran lainnya yang kita lakukan untuk mengekalkan perbuatan yang salah.

- Ingin cepat dan enggan mengikuti proses. Berusaha itu melelahkan. Tantangan masa kini di mana segala hal bisa diperoleh dengan cepat, mudah dan instan membentuk pola perilaku mendahulukan kemudahan dan kecepatan memperoleh hasil. Siapkah kita para orangtua untuk mengajarkan proses?

Mungkin masih ada banyak alasan-alasan lain yang inheren dalam dinamika seorang pembohong. Tapi point-point yang saya 'temukan' ini saja sudah merupakan PR yang perlu ditekuni. Paling tidak saya sudah menyusun petanya. Dari mana saya akan memulai dan ke mana arah yang saya tuju.

Wallahu'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...