Berulang kali saya ditanya tentang kontroversi penggunaan kata JANGAN dan TIDAK. Ada sebagian orang mengatakan agar para orangtua menghindari mengatakan JANGAN dan TIDAK kepada anak, sementara di sisi lain kitab-kitab suci termasuk Al Qur'an banyak menggunakan kata JANGAN dan TIDAK dalam berbagai ayatnya.
Ini pendapat saya;
-------------------------------------------------------
IKUTI BAGAIMANA AL QUR'AN DAN ASSUNNAH "BERBICARA"
(Terkait kata JANGAN dan TIDAK dalam konteks pendidikan anak)
1. Cek ayat-ayat dalam Al Qur'an atau sabda nabi yang menggunakan kata JANGAN atau TIDAK. Lihatlah bahwa sekalipun ada kata JANGAN dan TIDAK, diikuti dengan:
- Alasan atau reasoning kenapa perilaku itu dilarang, dan/atau
- Ada perilaku alternatif yang disarankan.
Misalnya, saya ambil contoh ayat dari surat Luqman, "Wahai anakku, JANGANLAH engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu termasuk dosa yang besar.” atau contoh lain, "maka sekali-kali JANGANLAH kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan JANGANLAH kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan."
Pertanyaan saya (harap dijawab jujur dalam hati saja), apakah setiap kita melarang dengan kata JANGAN pada anak, kita (orangtua atau guru) mengiringi dengan penjelasan atau menunjukkan perilaku yang diharapkan?
Yang saya lihat dalam keseharian adalah, orangtua hanya bilang JANGAN tapi kemudian tidak menjelaskan kenapa perilaku itu tidak boleh dan juga tidak menyampaikan perilaku apa yang diharapkan. Bahkan dalam banyak kasus melanjutkan dengan labelling, misalnya, "JANGAN ribut, kamu ini bandel banget sih ... "
2. Anak berbeda dengan orang dewasa.
Orang dewasa sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai untuk bertindak dan mengambil keputusan. Anak, pengetahuannya masih terbatas. Ketika ada ayat "Dan JANGANlah kamu mendekati zina.." maka orang dewasa tahu apa pilihan lain yang bisa dilakukannya selain zina. Menikah, menundukkan pandangan, shaum, dll.
Tapi anak tidak begitu. Sehingga ketika anak dilarang, maka perlu diberitahu apa yang bisa ia lakukan. Tidak cukup hanya berkata, "JANGAN ribut!". Lalu kalau tidak boleh ribut, bolehnya ngapain? Yang terjadi adalah anak akan trial error melakukan banyak hal, yang seringkali membuatnya bingung, karena seolah tak ada yang bisa dilakukan. Dalam kondisi seperti ini baik orangtua maupun anak berpeluang menjadi emosi. Kenapa tidak dikatakan, "JANGAN ribut, adik sedang tidur nanti bangun. Gimana kalau kamu main di luar, atau gimana kalau kamu baca buku dulu."
JANGAN itu seperti rem pada kendaraan. Ketika ada bahaya, maka kita mengerem. Tapi setelah itu kita tidak bisa diam di situ terus, kita harus maju lagi. "Maju lagi" itu analogi dari "apa yang perlu dilakukan anak"
3. Hukum bagi anak berbeda dengan hukum bagi orang dewasa.
Ada banyak hal yang dilarang dilakukan oleh orang dewasa tapi dimaafkan apabila dilakukan anak. Oleh karena itu cara memberi tahu anak menjadi berbeda karena konsekuensi hukumnya juga berbeda.
4. Dalam banyak hal, ammar ma'ruf didahulukan daripada nahi munkar. Dahulukan mengajak pada kebaikan daripada melarang. Itu pendapat saya.
5. Cara kerja otak itu unik, karena lebih mudah bagi otak untuk menyimpan stimulus visual. Kalau saya bilang "JANGAN membayangkan gajah warna pink" maka otomatis kita akan membayangkan gajah warna pink. Itu kenapa beberapa ahli menyarankan kita (untuk mempercepat proses penerimaan stimulus) adalah dengan menyampaikan kata atau kalimat yang lebih cepat diterima otak, misalnya, 'Bayangkan gajah yang berwarna coklat." maka otomatis gajah pink tidak akan terbayang.
Saya pernah buktikan itu dan silakan teman-teman melakukan sendiri percobaan kecil-kecilan. Ada seorang balita sedang disuapi. Di sebelahnya ada TV menyala menyiarkan film kartun. Matanya melirik terus ke TV sehingga mulutnya tidak mengunyah. Ibunya kesal, sehingga menegur, 'JANGAN nonton TV ..." Yang terjadi adalah anak itu terus menerus menengok ke TV dan ibunya menjadi kewalahan karena proses makan menjadi lama.
Singkatnya, kata JANGAN dan TIDAK, efektif bila orang yang dilarang sudah memiliki sistem value yang kuat dan tahu apa alternatif perilaku apa yang bisa dilakukan selain yang dilarang.
Silakan katakan JANGAN dan TIDAK pada anak. Tapi PASTIKAN bahwa anak tahu apa perilaku lain yang BOLEH dilakukan. Kalau tidak, anak akan bingung dan stress.
*Tidak mungkin ada kata JANGAN dan TIDAK kalau tidak ada gunanya ...
Wallahu'alam
Kamis, 20 Agustus 2015
PSIKOLOG JUGA MANUSIA ....
(Dibaca dengan nada lagu "Rocker juga Manusia" yang dinyanyikan Candil saat masih bergabung dengan Seurieus) smile emotikon
Perkataan itu kerap saya ucapkan ketika ada saja orang yang terheran-heran menemukan ternyata psikolog juga punya masalah dalam hidupnya. Atau ketika ada orang yang berkata, "kamu gak mungkin bisa merasakan apa yang saya rasakan, karena kamu gak punya masalah kayak saya."
Masalah itu Sunnatullah, dia akan selalu datang dalam hidup manusia seiring dengan bertambah usia (psikologi perkembangan), bertambahnya pengetahuan dan ketrampilan (psikologi pendidikan), bertambah luasnya relasi (psikologi sosial), bekerja (psikologi industri), termasuk juga adanya benturan dorongan dan keinginan yang ingin dicapai (psikologi klinis).
Salah satu hal yang saya syukuri dari sekian banyak keberkahan yang tak terhitung adalah karena saya sempat belajar agama dan psikologi secara paralel pada waktu yang relatif sama. Agama menanamkan kesadaran pada saya adanya Zat yang Maha Kuasa, di sisi lain psikologi mengajarkan saya kenisbian manusia dengan segala kekuatan dan kelemahannya sebagai makhluk.
Bekal ini yang saya gunakan ketika saya menghadapi berbagai tantangan dan kondisi dalam hidup.
Seorang teman psikolog pernah berkata pada saya, bahwa psikolog dan psikoterapis yang baik bukan mereka yang hidupnya selalu mudah. Psikolog dan psikoterapis yang baik adalah mereka yang menghadapi tantangan dan dapat mengatasinya. Mereka ini berpeluang lebih besar untuk dapat berempati pada kesulitan orang lain. Karena mereka pernah merasakan stress, cemas dan bahkan mungkin depresi atau bentuk-bentuk emosi lainnya. Mereka tahu usaha sebesar apa yang perlu dilakukan. Mereka juga tahu bagaimana lelahnya menghadapi ini semua. Termasuk mereka juga tahu bagaimana caranya "beristirahat" dan memotivasi diri. Mereka tak mudah merendahkan masalah orang lain.
Setiap masalah biasanya terkait dengan kelemahan diri kita. Dan kalau kita memandang dengan cara pandang Tuhan. Maka masalah adalah cara Tuhan menunjukkan kelemahan kita dan mengajarkan bahwa, itu lho titik di mana kita perlu meningkatkan diri dan mencapai level manusia yang lebih baik.
Ada orang yang lahir dan dibesarkan pada keluarga yang kurang ideal sehingga ia kehilangan kesempatan untuk belajar hal-hal mendasar yang pada umumnya dikuasai orang lain yang tumbuh dari keluarga ideal. Maka pada satu titik di masa depan ia akan dihadapkan pada kekurangannya tersebut. Dan Tuhan selalu punya cara untuk "memaksa" kita mendorong diri melampaui batas standar yang kita miliki selama ini. Tuhan punya standar sendiri yang ingin agar kita mencapainya.
- Sulit memahami orang lain, Tuhan akan hadapkan kita pada kondisi di mana kita "harus" memahami dan bahkan melayani orang lain.
- Tidak sabar mengajari orang lain, Tuhan akan kirimkan orang yang menantang kesabaran dan ketelatenan kita untuk mengajarinya.
- Cenderung egois dan mementingkan diri sendiri. Tuhan akan membenturkan diri kita pada situasi di mana kita harus mendahulukan orang lain.
- Dlsb (Daftar ini bisa kita perpanjang)
Karena masalah dan tantangan adalah Sunnatullah, maka bergantung pada kesediaan kita untuk coping dan solving the problem. Stress dan libatan emosi saat menghadapi tantangan tersebut lebih banyak disebabkan kesediaan kita untuk menerima kondisi (acceptance). Semakin kita menolak, semakin kita tidak adaptif semakin tinggi libatan emosinya.
*Pahit dan manis sama saja. Selama itu semua datangnya dari Tuhan, maka pasti baik adanya.
(Dibaca dengan nada lagu "Rocker juga Manusia" yang dinyanyikan Candil saat masih bergabung dengan Seurieus) smile emotikon
Perkataan itu kerap saya ucapkan ketika ada saja orang yang terheran-heran menemukan ternyata psikolog juga punya masalah dalam hidupnya. Atau ketika ada orang yang berkata, "kamu gak mungkin bisa merasakan apa yang saya rasakan, karena kamu gak punya masalah kayak saya."
Masalah itu Sunnatullah, dia akan selalu datang dalam hidup manusia seiring dengan bertambah usia (psikologi perkembangan), bertambahnya pengetahuan dan ketrampilan (psikologi pendidikan), bertambah luasnya relasi (psikologi sosial), bekerja (psikologi industri), termasuk juga adanya benturan dorongan dan keinginan yang ingin dicapai (psikologi klinis).
Salah satu hal yang saya syukuri dari sekian banyak keberkahan yang tak terhitung adalah karena saya sempat belajar agama dan psikologi secara paralel pada waktu yang relatif sama. Agama menanamkan kesadaran pada saya adanya Zat yang Maha Kuasa, di sisi lain psikologi mengajarkan saya kenisbian manusia dengan segala kekuatan dan kelemahannya sebagai makhluk.
Bekal ini yang saya gunakan ketika saya menghadapi berbagai tantangan dan kondisi dalam hidup.
Seorang teman psikolog pernah berkata pada saya, bahwa psikolog dan psikoterapis yang baik bukan mereka yang hidupnya selalu mudah. Psikolog dan psikoterapis yang baik adalah mereka yang menghadapi tantangan dan dapat mengatasinya. Mereka ini berpeluang lebih besar untuk dapat berempati pada kesulitan orang lain. Karena mereka pernah merasakan stress, cemas dan bahkan mungkin depresi atau bentuk-bentuk emosi lainnya. Mereka tahu usaha sebesar apa yang perlu dilakukan. Mereka juga tahu bagaimana lelahnya menghadapi ini semua. Termasuk mereka juga tahu bagaimana caranya "beristirahat" dan memotivasi diri. Mereka tak mudah merendahkan masalah orang lain.
Setiap masalah biasanya terkait dengan kelemahan diri kita. Dan kalau kita memandang dengan cara pandang Tuhan. Maka masalah adalah cara Tuhan menunjukkan kelemahan kita dan mengajarkan bahwa, itu lho titik di mana kita perlu meningkatkan diri dan mencapai level manusia yang lebih baik.
Ada orang yang lahir dan dibesarkan pada keluarga yang kurang ideal sehingga ia kehilangan kesempatan untuk belajar hal-hal mendasar yang pada umumnya dikuasai orang lain yang tumbuh dari keluarga ideal. Maka pada satu titik di masa depan ia akan dihadapkan pada kekurangannya tersebut. Dan Tuhan selalu punya cara untuk "memaksa" kita mendorong diri melampaui batas standar yang kita miliki selama ini. Tuhan punya standar sendiri yang ingin agar kita mencapainya.
- Sulit memahami orang lain, Tuhan akan hadapkan kita pada kondisi di mana kita "harus" memahami dan bahkan melayani orang lain.
- Tidak sabar mengajari orang lain, Tuhan akan kirimkan orang yang menantang kesabaran dan ketelatenan kita untuk mengajarinya.
- Cenderung egois dan mementingkan diri sendiri. Tuhan akan membenturkan diri kita pada situasi di mana kita harus mendahulukan orang lain.
- Dlsb (Daftar ini bisa kita perpanjang)
Karena masalah dan tantangan adalah Sunnatullah, maka bergantung pada kesediaan kita untuk coping dan solving the problem. Stress dan libatan emosi saat menghadapi tantangan tersebut lebih banyak disebabkan kesediaan kita untuk menerima kondisi (acceptance). Semakin kita menolak, semakin kita tidak adaptif semakin tinggi libatan emosinya.
*Pahit dan manis sama saja. Selama itu semua datangnya dari Tuhan, maka pasti baik adanya.
KESUKSESAN VERSI ORANG INTROVERT
(Konteks acceptance dan adaptasi terhadap anak)
- Anak saya introvert banget bu, dia tidak mau mendengarkan kalau saya bicara. Tertutup sekali dan banyak rahasianya. Dia sampai bilang, 'Udah deh mama jangan nanya-nanya melulu, pusing'
+ Putri ibu senang main sama teman-temannya gak?
- Ya itu juga masalahnya, dia kalau sama teman-temannya sih gak masalah. Rame banyak ngomong. Tapi kalau sama saya nggak. Mau jadi apa dia nanti kalau introvert begitu.
----------
Istilah introvert dan ekstrovert kerap disederhanakan menjadi pendiam dan banyak bicara. Padahal tidak sesederhana itu. Introversi dan ekstroversi adalah berkaitan dengan bagaimana seseorang mengarahkan energi mentalnya.
Orang introvert lebih banyak mengarahkan energi mentalnya ke dalam diri, sehingga ia lebih sering melakukan refleksi. Ia membutuhkan waktu soliter lebih banyak untuk melakukan hal tersebut. Oleh karena itu orang introvert senang melakukan aktivitas soliter seperti, membaca, menulis, menggunakan komputer, memancing. Seniman, penulis, pematung, insinyur, komposer dan para penemu seringkali adalah seorang introvert. Mereka lebih menyukai fokus pada satu aktivitas. Mengamati terlebih dahulu sebelum terlibat dalam suatu kegiatan. Dan berpikir serta menganalisis terlebih dahulu sebelum berbicara. Berbeda dengan seorang pemalu yang memiliki kecemasan dalam berinteraksi sosial. Orang introvert yang sehat, tidak memiliki kecemasan tersebut, namun memang lebih suka situasi soliter.
Sementara orang yang ekstrovert lebih banyak mengarahkan energi mentalnya ke luar diri. Ia merasa lebih terbangkitkan bila berada dalam kelompok atau melakukan relasi sosial yang intens. Sehingga ia nampak mudah terlibat dan beradaptasi dalam lingkungan baru. Bidang marketing, politik dan aktivitas-aktivitas sosial lebih menarik bagi mereka.
Ada satu istilah lagi yang relatif kurang dikenal, yaitu ambievert. Orang ini dapat berubah-ubah antara ekstrovert dan introvert.
Pada dasarnya tidak ada orang yang 100 persen introvert dan 100 persen ekstrovert. Dan sekalipun seseorang itu dominan pada satu kutub, maka tak ada salahnya juga menjadi orang seperti itu.
Oleh karena itu menjadi menarik ketika menyimak keluhan para orangtua mengenai anak-anaknya yang "dicurigai" introvert hanya karena mereka enggan berbicara dengan orangtuanya. Menurut saya di sini ada beberapa kesalahan berpikir.
Kesalahan berpikir yang pertama adalah menganggap bahwa introvert itu salah dan bermasalah sehingga mempunyai anak introvert menjadi "patut disesali."
Kesalahan berpikir yang kedua adalah menganggap bahwa introvert terkait dengan kemampuan bicara dan kesediaan mendengar. Padahal kemampuan bicara tidak ada hubungan dengan introvert. Dan karena orang introvert senang menyimak dan berpikir, maka kemampuan mendengar justru relatif lebih menonjol.
Kesalahan berpikir yang ketiga adalah mendefinisikan kesuksesan dengan paradigma ekstrovert, yaitu orang sukses adalah orang yang mudah bergaul, menarik ketika berbicara, asertif, dll.
Jadi kalau anak tidak mau berbicara dan mendengarkan orangtua, itu lebih karena situasi itu tidak menyenangkan atau bahkan mengancam baginya. Tidak ada hubungannya dengan introvert ataupun ekstrovert. Kalau setiap anak berbicara, langsung di-judge/dihakimi atau disalahkan, maka aktivitas berbicara dengan orangtua menjadi aktivitas yang kurang menarik dan anak akan enggan melakukannya.
Dan kalaupun anak adalah benar introvert, terima saja, dan ada banyak cara memanfaatkan kecenderungan introvertnya tersebut untuk menjadi sukses.
*Definisi introvert dan ekstrovert mengacu pada Carl Gustaf Jung.
ZERO MISTAKE AND ZERO TOLERANCE
(Konsep pendidikan anak)
"Anak saya tidak boleh main games bu. Kalau main games akan saya hukum"
"Kok nilainya hanya 9, masih ada yang salah ini"
"Kamu ini musti rajin belajar, jangan main melulu ... " (note: anak sekolah fullday Senin-Jumat, Sabtu-Minggu les)
"Kenapa kamu lihat-lihat BF, kamu bikin malu orangtua saja ..."
Dll ...
Ada saja saya menemukan orangtua yang memiliki standar "zero mistake" untuk anak-anaknya. Orangtua seperti ini juga biasanya menjadi "zero tolerance" pada kesalahan yang dibuat anak. Konsekuensi ikutannya adalah, orangtua cerewet dan mudah emosi. Anak patuh tapi stres. Atau anak oposisional, berontak dan melawan.
Konsep zero mistake dan zero tolerance sebetulnya baik bila ditempatkan pada tempat yang tepat, misalnya ketika kita bicara tentang pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan keselamatan. Pilot, Masinis, Dokter bedah syaraf, teknisi nuklir, apoteker atau orang-orang dalam bidang teknik yang berkaitan dengan operasional peralatan.
Hal yang kerap lupa atau luput diingat oleh orangtua kelompok ini antara lain:
1. Anak bukanlah mesin atau benda mati. Anak adalah makhluk yang sedang bertumbuh dan berkembang.
2. Berbuat salah pada anak adalah cara anak belajar. Kadang agak berbeda dengan orang dewasa yang seringkali melakukan kesalahan karena intensi atau dengan kesengajaan untuk mencapai tujuan tertentu.
3. Orangtua lupa kalau dia dulu pernah menjadi anak dan juga melakukan kesalahan yang sama.
4. Melakukan kesalahan itu berbeda dengan karakter buruk.
5. Anak berbuat kesalahan tidak selalu karena mereka sengaja melakukan, tapi boleh jadi karena mereka belum belajar bagaimana cara yang benar. Biasanya ini terjadi karena lebih banyak larangan daripada contoh perbuatan yang benar.
6. Berbeda dengan cara berpikir induktif dalam sains bahwa yang paling benar itu hanya satu, maka dalam kehidupan sosial, yang ditandai dengan cara berpikir deduktif, hal yang baik dan benar itu bisa banyak. Sehingga kalau kita ingin mencapai tujuan maka ada banyak cara yang bisa kita lakukan, bukan hanya satu cara. (Note: ini bukan konteks bahasan agama)
7. Kesalahan memang memiliki konsekuensi, tapi respon emosi berlebihan terhadap kesalahan apalagi diikuti dengan label, cenderung kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai.
8. Melakukan kesalahan bukanlah "kiamat". Perbaiki saja dan kemudian cari cara yang lebih baik. Banyak orang sukses, sebelumnya melakukan banyak kesalahan. Alih-alih terpuruk, mereka mencari jalan atau alternatif lain untuk mencapai tujuannya.
9. Manusia itu tidak seragam. Anak tidak selalu sama dengan orangtuanya bahkan dengan saudaranya sekalipun. Sehingga cara yang efektif bagi seseorang belum tentu efektif buat orang lain.
10. Dan anak bukanlah nabi. Mereka manusia yang tidak sempurna. Ada kelemahan meskipun pasti ada kelebihannya juga.
Last but not least, kita sendiri sebagai orangtua menyadari penuh kelemahan kita sebagai manusia. Kalau kita ingin orang lain memahami dan berempati terhadap kesalahan-kesalahan yang kita buat, maka pahami dan berempatilah terhadap anak kita sendiri saat mereka melakukan kesalahan-kesalahan ....
Wallahu'alam
Note lagi: Tulisan ini berdasarkan observasi terhadap kasus-kasus real
(Konsep pendidikan anak)
"Anak saya tidak boleh main games bu. Kalau main games akan saya hukum"
"Kok nilainya hanya 9, masih ada yang salah ini"
"Kamu ini musti rajin belajar, jangan main melulu ... " (note: anak sekolah fullday Senin-Jumat, Sabtu-Minggu les)
"Kenapa kamu lihat-lihat BF, kamu bikin malu orangtua saja ..."
Dll ...
Ada saja saya menemukan orangtua yang memiliki standar "zero mistake" untuk anak-anaknya. Orangtua seperti ini juga biasanya menjadi "zero tolerance" pada kesalahan yang dibuat anak. Konsekuensi ikutannya adalah, orangtua cerewet dan mudah emosi. Anak patuh tapi stres. Atau anak oposisional, berontak dan melawan.
Konsep zero mistake dan zero tolerance sebetulnya baik bila ditempatkan pada tempat yang tepat, misalnya ketika kita bicara tentang pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan keselamatan. Pilot, Masinis, Dokter bedah syaraf, teknisi nuklir, apoteker atau orang-orang dalam bidang teknik yang berkaitan dengan operasional peralatan.
Hal yang kerap lupa atau luput diingat oleh orangtua kelompok ini antara lain:
1. Anak bukanlah mesin atau benda mati. Anak adalah makhluk yang sedang bertumbuh dan berkembang.
2. Berbuat salah pada anak adalah cara anak belajar. Kadang agak berbeda dengan orang dewasa yang seringkali melakukan kesalahan karena intensi atau dengan kesengajaan untuk mencapai tujuan tertentu.
3. Orangtua lupa kalau dia dulu pernah menjadi anak dan juga melakukan kesalahan yang sama.
4. Melakukan kesalahan itu berbeda dengan karakter buruk.
5. Anak berbuat kesalahan tidak selalu karena mereka sengaja melakukan, tapi boleh jadi karena mereka belum belajar bagaimana cara yang benar. Biasanya ini terjadi karena lebih banyak larangan daripada contoh perbuatan yang benar.
6. Berbeda dengan cara berpikir induktif dalam sains bahwa yang paling benar itu hanya satu, maka dalam kehidupan sosial, yang ditandai dengan cara berpikir deduktif, hal yang baik dan benar itu bisa banyak. Sehingga kalau kita ingin mencapai tujuan maka ada banyak cara yang bisa kita lakukan, bukan hanya satu cara. (Note: ini bukan konteks bahasan agama)
7. Kesalahan memang memiliki konsekuensi, tapi respon emosi berlebihan terhadap kesalahan apalagi diikuti dengan label, cenderung kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai.
8. Melakukan kesalahan bukanlah "kiamat". Perbaiki saja dan kemudian cari cara yang lebih baik. Banyak orang sukses, sebelumnya melakukan banyak kesalahan. Alih-alih terpuruk, mereka mencari jalan atau alternatif lain untuk mencapai tujuannya.
9. Manusia itu tidak seragam. Anak tidak selalu sama dengan orangtuanya bahkan dengan saudaranya sekalipun. Sehingga cara yang efektif bagi seseorang belum tentu efektif buat orang lain.
10. Dan anak bukanlah nabi. Mereka manusia yang tidak sempurna. Ada kelemahan meskipun pasti ada kelebihannya juga.
Last but not least, kita sendiri sebagai orangtua menyadari penuh kelemahan kita sebagai manusia. Kalau kita ingin orang lain memahami dan berempati terhadap kesalahan-kesalahan yang kita buat, maka pahami dan berempatilah terhadap anak kita sendiri saat mereka melakukan kesalahan-kesalahan ....
Wallahu'alam
Note lagi: Tulisan ini berdasarkan observasi terhadap kasus-kasus real
THE POWER OF 'MODEL'
(Konteks pendidikan anak)
Model atau contoh itu memiliki kekuatan luar biasa. Kelihatannya semua orang sepakat dengan pernyataan tersebut. Baik dalam konteks keluarga, pekerjaan bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Saking pentingnya, sehingga saat ada masalah, sangat sering orang menisbahkan kesalahan pada pemberi contoh. Anak yang berperilaku buruk, berarti orangtuanya tidak mencontohkan perilaku baik. Perilaku karyawan buruk, atasannya yang dituding. Dan bahkan ketika rakyat berperilaku buruk, pemimpinnya yang disalahkan.
Saya ingin bercerita tentang kekuatan contoh ini pada diri saya sendiri dalam konteks pengembangan putri saya yang memiliki kondisi khusus dan sangat jarang terjadi. Dulu saya mendapat info bahwa hanya 10.000 : 1 kondisi yang terjadi pada putri saya. Itu pun saya tidak bisa memperoleh informasi memadai, karena orangtua lebih suka menyembunyikan kondisi anaknya daripada bersikap wajar dan memperlakukan anaknya yang berkebutuhan khusus sama seperti anak-anak lainnya.
Sejak tahun 1994 hingga 1,5 tahun kemudian, saya betul-betul kebingungan bagaimana caranya untuk mengembangkan anak saya. Hal itu karena saya tidak memperoleh diagnosis dan informasi detail yang memadai. Baru pada tahun 1996 saya memperoleh titik terang saat memperoleh diagnosis dari seorang dokter 'bule' dan didukung pula oleh dokter anak saya. Sejak saat itu usaha saya untuk melakukan treatment menjadi lebih fokus berdasar data yang diperoleh.
Satu hal yang saya lakukan cukup intens adalah mencari website yang berkaitan dengan kondisi putri saya. Saya juga bergabung dengan mailing list support group yang anggotanya berasal dari seluruh dunia. Tujuan saya adalah belajar bagaimana caranya saya harus memperlakukan putri saya. Saya benar-benar tak punya model atau contoh di lingkungan saya.
Pada suatu hari saya menemukan website dari seorang penyandang. Ia dosen di sebuah universitas di Amerika dan memiliki keluarga bahagia dengan beberapa anak. Seperti sebuah keajaiban, percaya atau tidak, semangat saya tiba-tiba meningkat sangat pesat. Pada awalnya, saya mengira bahwa anak saya akan bergantung selama hidupnya pada saya sebagai orangtua. Tapi setelah membaca dan berkenalan dengan para penyintas (survivor) ini, saya menjadi yakin bahwa anak saya dapat memandirikan dirinya dan membuat pencapaian bernilai bagi diri dan lingkungannya.
Rencana pendidikan anak pun menjadi lebih tertata dan lebih fokus pada tujuan besar di masa depan.
Menyadari pengaruh luar biasa yang bisa diperoleh dari model/contoh, maka hal itu juga yang kerap saya lakukan, baik dalam konteks pengembangan anak maupun dalam konteks penanganan masalah orang lain. Ada beberapa cara pemanfaatan contoh yang saya lakukan:
1. Orang bisa mengambil contoh dari dirinya sendiri. Saya minta ia mencari dalam pengalaman hidupnya keberhasilan yang pernah ia lakukan dan kemudian ia saya minta mengikuti pola keberhasilan tersebut.
Misalnya, orang yang merasa kurang berhasil berkomunikasi dengan anak, saya minta untuk mencari kapan, di mana dan dengan siapa ia pernah berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Pola itu yang ditiru sehingga ia bisa berkomunikasi dengan baik dengan anaknya.
2. Mengambil contoh dari orang di lingkungan terdekat.
Misalnya, pernah ada seorang ibu yang kesulitan untuk mengekspresikan kasih sayangnya pada anak. Saya minta ia melihat di lingkungan, entah itu orangtuanya, saudaranya, sahabat, tetangga, dll. orang yang menurutnya memiliki kemampuan yang baik dalam mengekspresikan perasaan. Pelajari dan ikuti polanya.
3. Belajar dari kisah-kisah orang-orang besar dulu dan sekarang, termasuk para nabi dan pemuka agama. Itulah mengapa saya senang membaca biografi. Saya berusaha menemukan hal-hal menarik dalam hidup banyak orang dan mengambil pelajaran dari situ. Perkembangan media sekarang yang luar biasa memudahkan hal ini. Orang bukan hanya belajar dari buku, koran, TV, radio tapi juga melalui media sosial, blog, website dan juga youtube. Elanto si pemberani itu juga sebetulnya sudah banyak contohnya di luar negeri (ada video-videonya di YT). Semoga ia menambah contoh di Indonesia sebagai orang yang berani menegur kesalahan dan menyadarkan orang pada hal yang benar.
4. Bagi para orangtua, saya lebih suka menyarankan mereka mengubah perilakunya sehingga menjadi contoh bagi anak, karena ini jauh lebih mudah dan berkekuatan daripada orangtua mencari cara menasihati anak atau "menyuruh" psikolog menggantikan tugas orangtua untuk menasihati anaknya.
Sungguh, bertaburan banyak contoh dalam diri maupun di lingkungan. Dari dulu hingga sekarang. Pilih yang baik dan manfaatkan ...
-----
*Putri saya menyandang Crouzon Syndrome, gangguan dalam perkembangan tulang tengkorak kepala yang mempengaruhi fungsi seluruh organ di kepalanya.
MENGAJARKAN *SUNNATULLAH PADA ANAK
(Konteks pendidikan anak di rumah)
- Anak saya itu kalau minta barang sama ibunya gak dikasih, dia akan minta sama saya, Mbak.
+ Lalu ...?
- Ya saya kasih lah. Cuma mainan harga segitu, saya ada uangnya pula untuk membelikan. Kita kan sayang sama anak. Jarang ketemu pula. Lagian kita cari uang kan buat anak.
+ Apakah anak jadi patuh?
- Ini masalahnya, anak saya susah kalau diberi tahu. Gak mau nurut. Kalau ibunya yang ngasih tahu suka cerewet. Dia gak mau mendengar. Saya sih kan memang jarang ketemu. Saya sering kerja di luar kota.
+ Sekarang usia berapa anaknya?
- 20 tahun bu
+ Bukan anak lagi dong ya. 20 tahun berarti sudah dewasa.
- Ya tapi kelakuannya masih seperti anak-anak. Manja, suka gelendotan dan gampang ngambek kalau keinginannya tidak dikasih.
+ Ada konsekuensi tidak kalau putri bapak melakukan kesalahan?
- Tidak ada
+ Dan kapan dia bisa mendapat apa yang diinginkan, selain kebutuhan primernya.
- Mmmmhhhh .... gak ada waktu tertentu bu. Dia selalu dapat apa yang diinginkan. Ya kita sampai sejauh ini tidak kesulitan untuk memberikan yang dia mau.
.................
Ketika kita bicara tentang anak, maka itu bukan hanya bicara tentang bagaimana menyenangkan anak. Kita juga mengajari anak tentang hukum atau aturan dalam kehidupan nyata. Beberapa orang menyebutnya sebagai Sunnatullah.
Dalam kehidupan nyata, maka apapun yang kita lakukan selalu ada konsekuensinya. Jika kita berbuat baik, maka akan memperoleh kebaikan. Dan jika kita berbuat buruk, maka akan memperoleh keburukan. Memang kadang tidak sesederhana itu, namun sebagian besar hal mengikuti "hukum" tersebut. Itulah yang kita ajarkan pada anak, ketika kita mengajarkan konsekuensi pada anak di rumah.
Sekalipun orangtua memiliki harta yang banyak, perlu dipilah dan dibedakan antara kebutuhan dan keinginan. Untuk hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan, seperti misalnya, makanan, pakaian, kebutuhan sekolah, maka beberapa orangtua bisa memberikan tanpa kendala. Tapi untuk hal-hal yang berkaitan dengan keinginan, maka anak harus belajar bagaimana berusaha memperolehnya.
Apa yang diinginkan dijadikan sebagai cara untuk mendorong anak berusaha. Sementara mengurangi atau menghilangkan apa yang diinginkan adalah konsekuensi negatif dari kesalahan yang dibuat.
Misalnya, anak ingin menonton film. Kalau itu hanya bersifat entertain/hiburan, maka dia hanya bisa memperolehnya setelah berusaha. Misalnya setelah dia mengerjakan tugas baik rumah maupun sekolah. Tapi kalau dia tidak mengerjakan tugas, maka dia tidak mendapat apa yang diinginkan.
Ada kendali yang perlu diajarkan, ada kemampuan menunda kepuasan yang perlu dibiasakan dan itu semua diajarkan dengan alamiah. Orangtua adalah pemegang amanah sehingga memiliki otoritas untuk mengatur dan memimpin. Dan bicara tentang memimpin bukanlah bicara tentang memaksa. Akan tetapi bicara tentang kewibawaan, kompetensi, trust, dan kemampuan mempengaruhi.
Wallahu'alam
*Sunnatullah = Ketetapan Allah.
Sebagian orang berpendapat bahwa Sunnatullah hanya terkait hal-hal yang bersifat fisik.
Namun sebagian lagi berpendapat bahwa Sunnatullah melingkupi semua hal yang terkait ketentuan atau ketetapan Allah baik yang bersifat fisik maupun dalam kaitannya dengan sosial.
EMOSI YANG BERANAK-PINAK
(Konsep emosi dalam Emotion Focused Therapy)
Seorang anak menangis sedih karena bonekanya hilang.
Kesedihan ini adalah emosi primer yang disebabkan stimulus yang jelas, yaitu kehilangan boneka.
Tapi ketika seseorang membenci dirinya yang tidak berdaya menghadapi tekanan lingkungan, maka kebencian ini adalah emosi sekunder yang terjadi karena emosi yang lain (tidak berdaya).
Ada lagi ekspresi emosi yang diperalat atau dijadikan instrumen baik untuk mencapai tujuan sadar maupun tidak sadar. Emosi ini terjadi karena proses belajar atau latihan (conditioning) yang berulang, dan diperkuat ketika ia memperoleh konsekuensi yang sesuai dengan yang diharapkannya. Contohnya,
- Anak yang menggunakan tangisan untuk memperoleh apa yang diinginkannya.
- Seorang suami yang melakukan kesalahan berulang, namun selalu minta maaf kepada istrinya dengan merayu dan membelikan barang mahal, sehingga istrinya luluh dan akhirnya menerima kembali suaminya.
- Sebaliknya dengan pola yang sama adalah istri yang merajuk (ngambek) kepada suaminya sehingga akhirnya suaminya mengalah mengikuti keinginan istrinya.
- Contoh yang dipandang bisa diterima oleh lingkungan, adalah seorang sales yang tersenyum dengan maksud agar orang mau membeli barang yang dijualnya.
Respon emosi instrumen yang sering dipakai dan melekat begitu kuat pada diri seseorang, menjadi "topeng" yang kerap tidak lagi disadari oleh ybs.
Respon emosi primer perlu diterima (accept), terutama bila respon itu bersifat adaptif. Misalnya sedih karena kehilangan, marah karena menghadapi kekerasan, takut atas ancaman, dll. Emosi tersebut adalah wajar karena bertujuan untuk mempertahankan diri. Berikan kesempatan orang tsb. untuk mengungkapkan perasaannya,
Ada respon emosi primer yang maladaptif. Untuk bentuk ini, maka orang perlu dibimbing untuk dapat menemukan kebutuhannya yang tepat sehingga dapat menampilkan respon emosi yang adaptif.
Respon emosi sekunder lebih kompleks karena bisa merupakan rantai emosi yang panjang. Dibutuhkan kemampuan khusus untuk mengeksplorasi respon emosi sekunder sehingga diperoleh rangkaian emosi yang membentuknya sehingga muncul emosi sekunder.
Respon emosi instrumental juga membutuhkan kemampuan khusus untuk mengeksplorasi dan membuat seseorang menemukan kesadaran diri agar ia bisa berfungsi dengan tepat dengan memanfaatkan ekspresi emosinya dalam situasi sosial.
Dalam banyak kasus anak, kerap terjadi orangtua mengabaikan respon emosi primer anak, sehingga respon emosi berubah menjadi sekunder atau bahkan instrumental.
Sementara banyak kasus dewasa, melibatkan respon emosi sekunder dan instrumental.
Langganan:
Postingan (Atom)
"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws
Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...
-
Ketika Beban seperti Sebongkah Batu Ada orang yang memandang beban dalam hidup seperti bongkahan batu besar yang harus dibaw...
-
HANDWRITING (Konteks Perkembangan Anak) "Belajar menulis huruf sambung ....? Apa pentingnya sih? Jaman sudah modern, bisa mengetik p...