Kamis, 24 Juni 2021

APA HUBUNGAN RELAKSASI DENGAN EMOSI? - yws


Di masa Covid ini banyak orang mengalami stres dan menimbulkan emosi cemas, kesal, marah, kecewa, dan emosi lainnya. Seorang teman bercerita bahwa kantornya menyelenggarakan seminar online agar para karyawan dapat merelease stres dan emosi negatifnya. Saya tanya, apa yang diajarkan, "Ah gitu gitu doang. Cuma belajar pernafasan dan melemaskan otot. Tarik nafas ... tahan .... keluarkan. Tegangkan otot-otot ... lalu lemaskan ... Rileks sih, tapi masalahnya tetap ada tuh."
Sebetulnya adakah manfaat melatih dan membiasakan diri melakukan relaksasi, baik itu dengan teknik pernafasan dan melemaskan otot?
Stres dan emosi selain berkait dengan pikiran dan perilaku, juga tidak bisa dilepaskan dari reaksi tubuh. Ini sebetulnya menyangkut kerja syaraf otak dan juga hormon-hormon yang lumayan rumit. Nah saya tidak menguraikan dinamika kerja otak dan hormon itu di sini, kita ambil saja kesimpulannya bahwa emosi dan sensasi tubuh itu saling mempengaruhi satu sama lain. Dan bisa meningkat intensitasnya jika kita tidak memutus rantai siklusnya.
Untuk memudahkan pemahaman, misalnya ketika kita merasa takut (emosi) maka jantung kita berdebar-debar dan otot-otot menegang (reaksi tubuh). Bila jantung terus berdebar, maka kita bisa bertambah takut, dan takut ini membuat intensitas sensasi tubuh meningkat. Kondisi ini membuat kita bertambah takut, dan takut ini meningkatkan kembali reaksi tubuh. Demikian seterusnya. Sehingga ketakutan bertambah kuat, menimbulkan panik, kegelisahan, pikiran dan perilaku yang menimbulkan masalah baru terhadap diri atau orang di sekitarnya.
Sudah banyak dilaporkan meningkatnya kasus-kasus KDRT selama masa Covid ini. Stres dan emosi suami, tumpah pada istri dan anak di rumah. Stres ibu, dilampiaskan pada anak. Stres pada anak memicu emosi orang tua.
Lalu apa yang perlu kita lakukan? Mengapa penting melakukan relaksasi? Apakah itu akan menyelesaikan masalah yang membuat stres dan emosi?
Masalah, perlu diselesaikan dengan problem solving, atau dengan melibatkan kerja otak bagian korteks. Sayangnya kerja bagian otak ini tidak maksimal ketika seseorang sedang berada dalam kondisi sangat tegang dan emosi negatif (marah, takut, cemas, dll). Oleh karena itu perlu dibuat kondisi sehingga otak siap digunakan untuk berpikir dan menyelesaikan masalah.
Oleh karena itu, di sini saya akan berfokus pada hubungan emosi dan reaksi tubuh yang saling mempengaruhi.
1. SADARI
Emosi yang terpicu akan secara otomatis mempengaruhi tubuh. Ketika kita merasa cemas, maka jantung otomatis akan berdetak lebih cepat. Ketika marah, otot-otot otomatis menjadi tegang. Semuanya terjadi tanpa kita sadari.
Oleh karena itu langkah pertama untuk kita mengatasi kondisi ini adalah dengan jeda atau diam sejenak dan merasakan sensasi yang ada di seluruh tubuh kita. Telusuri seluruh tubuh dari bagian paling atas sampai paling bawah. Kita juga bisa sentuh/raba bagian tubuh yang rasanya tidak nyaman itu untuk memperkuat kesadaran. Sehingga kita bisa menyadari, nafas yang tersengal, jantung yang berdetak cepat, otot menegang, suhu tubuh meningkat, kepala terasa berat, dahi dan alis yang mengkerut, bibir mengerucut, jari-jari terasa kaku, dlsb.
2. LAKUKAN KEBALIKAN
Selanjutnya lakukan hal yang berkebalikan dengan yang dirasakan.
- yang asalnya tidak disadari menjadi disadari/dilakukan dengan sengaja.
- nafas yang cepat dibuat menjadi lambat.
- otot-otot yang tegang, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dilemaskan.
Lakukan berulang, karena tubuh membutuhkan waktu untuk melakukan adaptasi. Lakukan hingga detak jantung menjadi stabil, dan tubuh menjadi lebih rileks.
3. AFIRMASI
Ucapkan kata-kata yang mempengaruhi diri kita menjadi lebih rileks. Misalnya,"Saya tenang .... sabar .... rileks .... ikhlas ..."
4. CARA LAIN YANG BIASA DILAKUKAN DAN BERHASIL
Bila kita sudah memiliki cara yang adaptif untuk membuat rileks, maka silakan lakukan. Misalnya, minum air hangat, mendengarkan musik yang tenang, ibadah, Dll.
Bila kita terbiasa melakukan aktivitas relaksasi secara berkala, maka tubuh (melalui otak) akan merekam cara ini, sehingga ketika emosi terpicu dan tubuh bereaksi, maka tubuh akan lebih cepat menstabilkan diri karena "sudah tahu caranya". Dibandingkan bila kita tidak pernah melakukannya.
Ajarkan juga teknik-teknik ini pada anak kita dengan tujuan yang sama. Mereka memiliki skema untuk dapat menstabilkan dirinya sendiri.
Setelah stabil, maka Insya Allah otak berpikir akan lebih siap untuk diajak untuk memecahkan masalah.
Yeti Widiati 220221

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...