Jumat, 21 Juli 2017

MENCURI (Tulisan ke-3) - yws

PENANGANAN
1. AMBIL LANGKAH SEGERA
Orangtua tidak boleh mengabaikan kecenderungan perilaku antisosial pada anak. Kita perlu memahami, mengkonfrontasi dan mengoreksi perilaku mencuri ini, yang tidak bisa diterima baik di rumah maupun di sekolah.

Koreksi:
- Hukuman yang paling masuk akal dari mengambil barang orang lain adalah mengembalikan barang dan meminta maaf atau membayar sejumlah uang untuk mengganti benda (jika rusak, hilang atau habis digunakan).
- Jika anak mengambil permen atau barang lain di toko, orangtua harus mendampingi anak ke toko dan memberikan kesempatan pada anak untuk mengembalikan sendiri barang yang diambilnya.
- Bila anak masih balita, dan terlalu malu sehingga tidak bisa bicara, maka orangtua yang meminta maaf, tapi tetap anak yang mengembalikan barang yang diambilnya.
- Jika barang yang dicuri rusak atau hilang, dan anak tidak memiliki uang cukup untuk mengganti, maka ia perlu membuat jadwal pengembalian/reimbursement dengan uangnya sendiri. Hindari "memiskinkan" anak karena akan mendorongnya untuk mencuri lagi.
- Jika karena satu dan lain hal penggantian dengan uang tidak bisa dilakukan anak, maka anak perlu memperoleh konsekuensi berupa pengurangan kesenangan, misalnya tidak diizinkan menonton TV. Hal ini dimaksudkan agar anak tahu bahwa perbuatan mencuri itu tidak ditolerir dan akan memperoleh konsekuensi.
- Lakukan langkah SEGERA dan KONSISTEN (tidak ditunda) terhadap kejadian mencuri.
- Permintaan maaf, penjelasan dan janji memperbaiki diterima namun tidak dapat mengganti konsekuensi. Anak harus memiliki tanggung jawab pribadi untuk memperbaiki kesalahannya.

Konfrontasi:
- Orangtua harus secara verbal dan jelas membicarakan langsung dengan anak (ketika keduanya tenang/tidak emosi) mengenai seriusnya perilaku ini. Jelaskan mengapa tindakan ini tidak baik dan tidak ditolerir.
- Hindari menggunakan kata yang membuat arti mencuri menjadi lebih lunak, misalnya, "meminjam" karena anak akan menganggap enteng.
- Jelaskan perilaku 'mencuri' dengan sederhana, jujur dan bukan khotbah panjang lebar.
- Tunjukkan kerugian yang diakibatkan karena mencuri, ketidak-adilan, konsep hak milik pribadi. Jelaskan juga perasaan orang yang dicuri barangnya.
- Perlihatkan pada anak bahwa kita memahami motivasi anak mencuri, misalnya dengan mengatakan "Iya sih memang barang itu menggoda sekali untuk kamu miliki ..."
- Akhiri dengan hal positif dengan menunjukkan afeksi, apresiasi atau harapan positif pada anak. "Bunda sayang kamu, dan bunda percaya kamu bisa lebih baik dari ini ..."
- Ajak anak untuk berempati, "Bagaimana rasanya kalau ada orang yang mengambil barang milik kamu yang berharga (sebutkan barang kesukaan anak)?" atau "Menurut kamu bagaimana perasaan pemilik dompet ini kalau kamu menelponnya sekarang dan mengatakan bahwa kamu menemukannya?"
- Bila kita mencurigai anak mencuri tapi kita tidak yakin, maka kita dapat mengatakan, "Dek, bunda nggak tahu kamu ngambil uang dari dompet bunda atau tidak. Tapi kalau kamu mengambil dan mengembalikkannya, bunda akan sangat bangga pada kamu. Tapi jauh lebih penting adalah kalau kamu bangga pada diri kamu sendiri. Kamu perlu hidup bahagia dengan menjadi dirimu sendiri tapi ini sulit kalau kamu tidak jujur dan adil pada orang lain." Seringkali anak akan mengembalikan benda yang diambilnya beberapa hari sesudah pembicaraan tersebut.

Memahami
Menanyakan pada anak "mengapa" mereka mencuri, biasanya tidak membuahkan hasil, karena mereka tidak bisa memberikan jawaban yang tepat.
Lebih baik bagi orangtua untuk menerima kenyataan bahwa anak mencuri dan mencari jalan keluar. Untuk itu, orangtua perlu lebih peka untuk menangkap apa kira-kira motif yang mendorong anak mencuri.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, beberapa alasan anak usia sekolah mencuri adalah sebagai berikut:
- Deprivasi (kekurangan) ekonomi
Beberapa anak kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhannya misal, membeli permen, nonton bioskop, dll. Mereka menginginkan apa yang dimiliki temannya, tapi tidak mempunyai cara untuk memperoleh uang.

Solusi: Sediakan barang yang dibutuhkan anak atau berikan kesempatan anak untuk memperoleh uang (misal melakukan pekerjaan tertentu).

- Deprivasi emosi
Anak yang merasa kekurangan cinta, kasih sayang dan kepedulian dari orang tua berpeluang mencuri untuk mengisi perasaan kosong di dalam diri.

Solusi: Orangtua menunjukkan cinta yang lebih besar dan lebih ekspresif dan habiskan waktu lebih banyak bersama anak.

- Ketidakmatangan
Beberapa anak usia sekolah (7 tahun ke atas), mencuri karena belum memiliki pemahaman dan kesadaran mengenai moral. Mereka cenderung egois, dan ingin segera memuaskan dorongan dirinya. Sulit untuk membuat perencanaan dan menabung. Mereka mencuri untuk memperoleh apa yang mereka inginkan sekarang juga. Mereka kurang paham tentang hak milik pribadi dan pengetahuan tentang beda antara meminjam dan mencuri.
Sehingga mereka tidak merasa bersalah mengambil barang orang lain.

Solusi: Memberikan konsekuensi berulang dan mengajarkan prinsip-prinsip moral (misal; kepedulian pada orang lain).

- Petualangan yang menegangkan
Beberapa anak mencuri karena alasan suka dengan ketegangan yang dialami (mencari bahaya), untuk memperoleh pengakuan dan kekaguman dari kelompoknya, untuk membuktikan betapa mereka "keren" dan "lihai".

Solusi: Ajarkan anak untuk menemukan alternatif sumber kesenangan, persahabatan dan mencapai prestasi yang lebih baik.

- Penguatan dan contoh dari orangtua
Beberapa orangtua secara tidak sadar mencontohkan anaknya mencuri, misalnya, orangtua mengambil barang diam-diam saat mati lampu di toko. Orangtua tidak membayar pajak, melakukan korupsi, dan perilaku mencuri yang terang-terangan terlihat anak.

Solusi: Perubahan sikap dan perilaku orangtua

Cek alasan mana yang paling mungkin dari perilaku anak mencuri dan putuskan mana solusi yang paling sesuai untuk diterapkan pada anak, lalu ambil langkah-langkah untuk penyelesaiannya.

BEREAKSI DENGAN KONTROL DIRI
- Dalam menangani anak yang mencuri, penting bagi orangtua untuk mengontrol emosinya dan jangan terlalu terlihat shock, marah atau putus asa.
- Tak perlu melihat 'mencuri' sebagai kegagalan atau memalukan bagi orangtua. - Karena keterbatasan anak, sebagian besar anak pernah berkait dengan perilaku mencuri kecil-kecilan. Sikap ketidaksetujuan, kita tampilkan dengan cara tegas tapi tanpa harus berteriak atau berespon terlalu heboh.
- Hindari melebih-lebihkan kejadian dan membuat anak merasa dirinya sebagai kriminal. Jangan menjadi jaksa yang menggertak dan mencecar anak apalagi melabelnya sebagai "pencuri kecil" dan membuat prediksi mengerikan (kamu akan masuk penjara).
- Ketika kita memberi label buruk atau meramalkan kejadian buruk, anak akan menjadi yakin (karena anak percaya orangtua itu benar).
- Reaksi berlebihan dari orangtua juga akan membuat anak merasa sia-sia untuk memperbaiki kesalahan, dan akan memunculkan perasaan bersalah dan malu luar biasa. Lebih jauh hal ini akan merusak hubungan orangtua dengan anak.
- Tak perlu menuntut pengakuan karena akan memaksa anak untuk berbohong. Ingatlah bahwa ketika anak dalam masalah, ia membutuhkan kasih sayang dan rasa percaya diri yang lebih besar.
- Daripada berkata "Kamu mencuri, ya?" lebih baik mengatakan, "Bunda tahu kamu mencuri 50 ribu dari dompet bunda, mungkin karena ada yang kamu ingin beli tapi kamu tidak punya uang. Nanti lagi, kalau kamu perlu sesuatu, bilang pada bunda, dan kita akan diskusikan."
- Ada orangtua yang menyangkal kenyataan bahwa anaknya mencuri, dengan menjadi pembela bagi anak. "Anak saya tidak mungkin melakukan itu. Saya tidak mau membicarakannya lebih jauh." Sikap yang lebih baik adalah dengan membuka diri untuk mencari semua fakta dari berbagai sudut pandang, dan mencoba memahami penyebab atau motif yang mendasarinya.

MONITORING
- Hasil riset menunjukkan bahwa orang yang berbuat curang, mencuri dan berbohong akan berkurang jika terdeteksi lebih awal.
- Anak yang memiliki kebiasaan mencuri membutuhkan pengawasan lebih ketat oleh orangtua, sehingga ketika ia ingin atau sudah mencuri bisa segera terdeteksi.
- Anak yang sering mencuri (rata-rata 1 atau lebih per 2 minggu) tidak diizinkan menyimpan benda yang benar-benar bukan miliknya dan dompet serta kamarnya rutin diperiksa hingga kebiasaan buruk mencuri ini hilang. Dengan kata lain, hak mereka terhadap privacy dikurangi sampai mereka belajar menghargai hak orang lain.
- Anak-anak ini membutuhkan pengetahuan yang jelas mengenai mencuri dan mereka juga perlu tahu, bahwa mereka tidak bisa terhindar dari konsekuensi mencuri sekalipun rapi ditutup.
- Setiap mereka mencuri langsung segera dibahas, dan dicari penyelesaiannya.

PENDAPATAN TERATUR
Anak usia sekolah (6-12 tahun) perlu memiliki jaminan sumber pendapatan teratur yang cukup, seperti memperoleh uang dan melakukan tugas-tugas dan memperoleh bayaran.

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 54-180717

Kamis, 20 Juli 2017

MENCURI (Tulisan ke-2) - yws

PENCEGAHAN

1. AJARKAN VALUE/AGAMA/NILAI MORAL TERKAIT HAK MILIK
Anak-anak dari keluarga di bawah ini kurang terdorong mencuri:
- Keluarga yang memberi nilai tinggi pada kejujuran dan menghormati hak milik orang lain,
- Keluarga yang lebih peduli pada sifat baik daripada memiliki harta benda,
- Keluarga yang menerapkan value kejujuran dalam hidup sehari-hari,
- Orangtua yang menghargai hak milik pribadi anak. Membiasakan meminta izin saat meminjam atau menyimpan barang milik anak.

2. KEMBANGKAN HUBUNGAN YANG AKRAB
Jika hubungan orangtua anak kurang akrab, ada dorongan pada anak untuk berusaha menyenangkan orang tua dengan ragam cara, salah satunya bisa dengan mencuri.

3. SUMBER PENDAPATAN YANG TERATUR
Beberapa keluarga memberi kesempatan anak untuk memiliki sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk membeli barang yang diinginkan anak. Pendapatan ini diperoleh dari usaha anak, misalnya, melakukan pekerjaan tambahan. Hasil uang yang diperoleh bisa dimasukkan dalam celengan atau tabungan di bank.

Anak juga bisa memperoleh uang dari orangtuanya dalam jumlah yang disepakati cukup (tidak kurang dan tidak berlebihan).

4. PENGAWASAN KETAT
Orangtua yang mengetahui aktivitas anak sehari-hari biasanya lebih peka pada masalah anak, termasuk bila anak mulai mengembangkan kebiasaan mencuri. Lebih cepat kebiasaan mencuri diketahui, maka lebih cepat bisa dihindari konsekuensi buruknya.

Buatlah anak melakukan banyak aktivitas konstruktif dan menarik di waktu senggangnya. Anak yang mengisi dan menikmati waktu senggangnya kurang terpikirkan untuk melakukan hal-hal buruk.

5. BERIKAN CONTOH YANG BAIK
Perlihatkan perilaku jujur dalam aktivitas sehari-hari.
- Kembalikan benda yang ditemukan
- Hindari berbuat curang
- Tidak mengambil barang atau melakukan korupsi

6. HAK PROPERTI
- Jelaskan mana barang milik anak dan mana barang milik orang lain di rumah, dan hormati hak milik tersebut.
- Ajarkan anak cara meminjam dan mengembalian barang milik orang lain.

7. HINDARI GODAAN
Jangan meninggalkan uang kembalian sembarangan, dompet, celengan dan benda-benda yang menggoda dan mendorong anak untuk mencurinya.

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 53-180717

Selasa, 18 Juli 2017

MENCURI (Tulisan ke-1) - yws
(Konteks Masalah Umum Anak)

DEFINISI
Mencuri dapat didefinisikan sebagai;
- kepemilikan terhadap benda yang (menurut penilaian orangtua) bukan milik anak.
- Mencuri juga adalah mengambil benda tanpa izin dari pemiliknya.

Anak usia 2-4 tahun umum melakukan mengambil barang orang lain tanpa minta izin. Perilaku ini meningkat biasanya sampai usia 5-8 tahun lalu kemudian sedikit demi sedikit berkurang seiring dengan berkembangnya hati nurani. Anak membutuhkan waktu untuk mengubah diri dari cara pandang yang berorientasi pada diri sendiri (self centered) dan dorongan untuk segera memuaskan diri menjadi peduli pada orang lain dan mampu mengendalikan dorongan diri.

Dari semua masalah perilaku anak, mencuri adalah yang paling dikuatirkan orangtua. Beberapa orangtua seringkali melihat mencuri sebagai perbuatan kriminal yang sangat mengkhawatirkan. Ada perasaan bahwa orang akan menilai keberhasilan pendidikan orangtua dari perilaku yang ditampilkan anak.

Orangtua dapat mengambil langkah-langkah untuk menangani perilaku mencuri pada anak. Namun, jika kebiasaan mencuri tetap berlangsung sampai sesudah usia 10 tahun, maka dikuatirkan ada gangguan emosi yang serius dan membutuhkan bantuan profesional segera.

PENYEBAB
Anak mencuri karena ragam alasan. Anak balita atau anak yang belum memiliki kematangan (emosi dan sosial) belum memahami bahwa ia perlu menghormati hak kepemilikan barang pribadi orang lain. Biasanya mereka sulit membedakan antara meminjam dan mencuri.

Beberapa penyebab/alasan anak mencuri:
1. Adanya kekurangan atau kehilangan dalam hidup yang dihayati anak,
Sehingga mencuri menjadi simbol pengganti untuk kehilangan/ketiadaan cinta, perhatian, rasa hormat, atau kasih sayang dari orangtua atau orang yang berarti dalam hidup anak.

Umum ditemukan perilaku mencuri pada anak yang terjadi setelah perceraian atau meninggalnya orangtua atau pada anak angkat yang merasa kurang disayangi.

Perlu dicatat juga bahwa anak-anak yang dianggap "nakal" dan berkaitan dengan aneka perilaku antisosial, seringkali datang dari keluarga yang orangtuanya kriminal, kurang peduli atau bahkan mengabaikan/menelantarkan anak.

2. Ada beberapa orangtua yang secara sadar atau tidak, kurang puas terhadap anak, baik dari sifat, perilaku atau sebab-sebab lain. (Bisa muncul pada anak yang -karena berbagai alasan- kelahirannya kurang dikehendaki atau sebab traumatik lainnya).

Hal ini menyebabkan munculnya respon memberontak dan perasaan kemarahan yang ditekan pada anak dan mendorongnya melakukan tindakan mencuri sebagai protes atas sikap orangtua.

3. Anak bisa saja memilih contoh yang kurang baik dari orang di sekitarnya.
Mungkin ia melihat orangtua, teman, saudara, tokoh idola, dll mencuri. Ia kemudian mengidentifikasikan dirinya dengan orang tersebut. Termasuk dalam kategori ini adalah, anak yang mencuri agar diterima oleh kelompok temannya di sekolah.

4. Beberapa anak mencuri untuk "meningkatkan" harga diri. Mereka mencuri benda untuk membuktikan pada orang lain kekuatan atau kehebatannya. Ada anak yang menikmati ketegangan dan petualangan saat mencuri.

5. Anak-anak dari golongan sosial ekonomi lemah mungkin mencuri karena mereka tidak punya uang untuk membeli barang yang mereka inginkan. Tidak memiliki apa-apa membuatnya sulit menghormati barang milik orang lain.

6. Mencuri bisa merupakan cara anak untuk secara tidak sadar membalas perbuatan orangtua.
Misalnya, jika orangtua melarang anak mengenakan make up, anak mungkin mencuri dari toko dengan membuatnya dirinya sengaja tertangkap agar orangtuanya malu.

7. Mencuri dapat merupakan sinyal dari adanya stres dalam diri anak, seperti depresi, cemburu terhadap adik baru atau marah.
Anak mencoba menimbulkan kembali rasa nyaman dengan mencuri. Alasan lain juga mungkin karena anak memiliki toleransi yang rendah terhadap frustrasi dan mengalami kesulitan untuk menahan diri dari godaan.

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 52-180717

Senin, 17 Juli 2017

BERBOHONG (Tulisan ke-3) - yws
(Konteks Masalah Umum Anak)

PENANGANAN:

MEMBERIKAN HUKUMAN ATAU KONSEKUENSI
- Bantulah anak untuk belajar dari pengalamannya bahwa berbohong kepada orangtua itu tidak akan berhasil dan hanya akan merugikannya. Tunjukkan pada anak bahwa berbuat jujur akan mengurangi hukuman terhadap kesalahannya dan bahwa berbohong untuk menutupi kesalahan hanya akan menambah hukuman. Jadi dalam kasus kebohongan seperti ini, maka hukuman diberikan baik karena berbohong maupun karena kesalahan kesalahan yang dilakukan. Bisa berupa kehilangan dua kebebasan (priviledge) atau bisa juga dengan memberikan hukuman yang dua kali lipat.

- Kita sebagai orangtua perlu menjelaskan berulang value/nilai dari kebenaran bahwa jika mereka jujur mengenai suatu masalah maka kita sebagai orangtua akan membantu mereka dengan segala kemampuan yang kita miliki. Namun untuk bisa membantu kita perlu mengetahui semua fakta terkait yang sebenarnya. Jika mereka tetap berbohong, kita tidak dapat banyak membantu secara optimal. Yakinkan anak bahwa kita berpihak pada mereka dan menginginkan yang terbaik untuk mereka sehingga mereka tidak perlu takut untuk jujur.

AJARKAN NILAI MORAL
- Menghadapi kebohongan anak (apalagi anak kecil), kita tak perlu berespon berlebihan akan tetapi juga tidak mengabaikan. Lebih baik berfokus pada mengajarkan bahwa berbohong dalam berbagai bentuknya adalah tidak bermoral dan merusak diri sendiri serta orang lain.
- Jelaskan bahwa saling menghormati dan mempercayai dibangun dari komunikasi yang jujur dan bahwa kata-kata mereka adalah sangat penting dan bernilai.
- Ingatkan anak tentang kisah, anak yang berteriak 'Ada Serigala' terlalu sering sehingga tidak ada seorang pun lagi yang percaya bahkan ketika ia jujur.
- Perlihatkan pada anak, bahwa kita sebagai orang tua mengharapkan kejujuran dari semua orang dalam keluarga. Kejujuran merupakan 'kode moral' atau hal sangat penting dalam keluarga. Kita dapat mengajarkan ini melalui buku, puisi, kisah-kisah, kitab suci, dll.

UMPAN BALIK YANG REALISTIS
- Ketika seorang anak prasekolah bercerita dengan melebih-lebihkan, hargai keberaniannya bercerita, tunjukkan apresiasi dengan mengatakan "Wah, ceritanya menarik, tapi gimana ceritanya kok baju kamu bisa sobek?"
- Kita perlu membantu anak untuk memisahkan antara kebenaran dan fantasi dengan bertanya, "Ini beneran atau cerita aja?"
- Jika kita tahu cerita itu tidak benar, kita berkata, "Kalau begitu, cerita benernya gimana?"
- Juga ketika kita membacakan suatu cerita, tunjukkan bahwa cerita itu pura-pura dan apakah mungkin terjadi atau tidak di dunia nyata. Hal yang sama juga kita lakukan pada saat mendampingi anak menonton film. Sisihkan waktu khusus untuk mendiskusikan film yang dilihat, sehingga anak menyadari penuh bahwa yang dilihat adalah tidak nyata.

BANTU DAN DORONG ANAK UNTUK MENYADARI (SELF AWARENESS
- Ketika anak berbohong dan menyangkal bahwa mereka terlibat dalam suatu kejadian buruk, bantulah anak untuk mengenali peran mereka dalam situasi bermasalah tersebut dengan meminta mereka berbicara secara kronologis kejadian itu. Katakan "Ayah/bunda ingin tahu semua yang terjadi dari awal sampai akhir."
- Bantu mereka untuk fokus pada peran dirinya (tidak melebar menceritakan atau menyalahkan orang/pihak lain). Gali bagian-bagian yang tidak masuk akal untuk menunjukkan bahwa kita mencurigai bagian belum diurakan dengan akurat.
- Ketika anak menjabarkan atau menguraian situasi tersebut, diharapkan ia akan memperoleh insight dan menyadari di bagian mana ia salah dan memaksakan kebenaran.
- Tunjukkan bahwa kita setuju dengan anak ketika mereka benar dan jujur.

GALI DAN TEMUKAN LATAR BELAKANG YANG MENYEBABKAN ANAK TERDORONG BERBOHONG
- Hal ini agar kita dapat mencegah kemunculan anak berbohong lagi di masa depan.
Alasan umum anak berbohong adalah:
1. Memperoleh pujian, perhatian dan prestige
Solusi: Berikan anak pujian dan apresiasi lebih banyak dalam hal baik yang dilakukannya sehingga anak tidak perlu merasa harus berbohong untuk merasa baik dan memperoleh pujian.

2. Menghindari hukuman, perasaan bersalah dan malu
Solusi: Kurangi hukuman yang terlalu keras dan tidak adil yang mungkin pernah terjadi di masa lalu. Buatlah konsekuensi yang lebih masuk akal terhadap perilaku berbohong dan jadikan kejujuran sebagai hal yang lebih rewarding dan lebih diharapkan.

3. Mencontoh perilaku berbohong (white lies) yang dilakukan orangtua.
Solusi: Berikan contoh yang lebih baik di rumah

4. Takut orangtua tidak senang karena anak gagal menyelesaikan tugas.
Solusi: Turunkan ekspektasi kepada anak. Dalam banyak hal, tuntutan dan harapan terlalu tinggi yang sulit dicapai oleh anak, mendorong anak menjadi tidak jujur.
Misal, mencontek agar dapat nilai baik.

5. Memperoleh keuntungan untuk diri sendiri
Solusi: Bantulah anak untuk mengeksplorasi cara lain untuk memperoleh apa yang diinginkannya.

6. Untuk merendahkan dan mengeksploitasi orang lain
Solusi: Diskusikan mengenai keadilan dan sportivitas

7. Setia kawan dan melindungi orang lain
Solusi: Memperoleh fakta obyektif dari berbagai sumber

8. Tindakan karena kebencian
Solusi: Konseling profesional bagi anak dan keluarga

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 51-170717
BERBOHONG (Tulisan ke-2) - yws
(Konteks Masalah Umum Anak)

PENCEGAHAN
1. Tak perlu menuntut anak untuk mengakui perbuatan salahnya.
(*Kita sebagai orangtua berperan sebagai pendidik bukan berperan sebagai polisi atau jaksa).
Mengapa kita tak perlu melakukan hal tersebut? Karena orang cenderung akan tergoda berbohong saat dituduh melakukan kesalahan sekalipun hal itu benar. Hal ini karena dorongan alamiah setiap manusia untuk melindungi harga dirinya.
Oleh karena itu daripada memaksa anak mengaku, lebih baik kita mengumpulkan semua fakta dari berbagai sumber dan mendasarkan keputusan kita pada bukti yang ada. Jika kita ragu apakah anak bersalah atau tidak, lebih baik tidak memaksakan diri dan memaksakan anak yang berakibat mereka malah akan terdorong untuk benar-benar berbohong.

Misalnya; Jika kita tahu bahwa anak kita memperoleh nilai rendah di sekolah, hindari mengatakan, "Gimana ujiannya? Lulus nggak?" Lebih baik mengatakan, "Tadi pak/bu guru bilang kalau kamu nggak lulus. Ayah bunda sangat kuatir. Kamu pingin ayah bunda bantu bagaimana?" Hal ini juga berlaku untuk menghindari bertanya ranking, terutama bila kita tahu bahwa anak memang secara akademik kurang perform.

2. Tegakkan standar kejujuran yang sama.
Jika kita sebagai orangtua merasa bebas membengkokkan aturan dan mengizinkan "sedikit" berbohong dengan dalih "white lies" maka anak juga tak perlu harus selalu bicara benar.

3. Diskusikan hal-hal terkait dengan moral dalam keluarga.
Diskusikan mengapa tidak baik untuk berbohong, mencuri atau mencontek, apa akibat/konsekuensi logis dari perbuatan tidak jujur tersebut (hilangnya trust). Buatlah diskusinya menjadi menarik dan informatif. Lakukan dengan santai. Menggunakan cerita dari buku, film dll.

4. Hindari memberikan hukuman yang terlalu berat atau terlalu sering
Kondisi tersebut cenderung mendorong anak berbohong sebagai bentuk perlindungan diri.
Berbohong untuk melindungi harga diri juga terjadi jika orangtua terus-menerus mengkritik kesulitan dan kegagalan anak.
Strategi yang lebih baik adalah dengan berfokus pada kemampuan/kelebihan anak dan memuji serta mengapresiasi usahanya. Cara ini akan menumbuhkan trust anak bahwa orangtua adalah figur pelindung dan bukan figur pengancam, sehingga anak akan merasa cukup aman untuk mengakui kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya.

5. Berlatih untuk jujur pada diri sendiri.
Cobalah untuk tidak menghindari situasi yang tidak menyenangkan misal,
- mengatakan pada anak bahwa disuntik itu tidak sakit, atau
- berpura-pura bisa padahal sebetulnya tidak bisa,
- meminta permakluman saat berbohong atau
- melanggar janji.
Perilaku ini semua akan dicontoh oleh anak.

Cobalah agar kita lebih menyadari berbagai kecenderungan diri sendiri saat;
1. Melebih-lebihkan/lebay ketika bercerita
2. Menghindari janji pertemuan yang tidak diinginkan
3. Menyangkal melakukan kesalahan
4. Menyuruh anak/orang mengatakan "orangtua tidak ada" pada penelpon karena orangtua enggan menerima telpon.
5. Mengatakan pada anak/orang "sedang otw" padahal sebetulnya masih di rumah dan anak menyaksikan

Kebohongan yang kita lakukan itu tetap akan ditiru oleh anak kita. Sekalipun bagi kita itu kebohongan kecil, namun anak tidak melihatnya demikian. Bagi anak, bukan besar-kecilnya kebohongan yang dilihat, melain bahwa ternyata kita boleh berbohong dalam situasi seperti yang dicontohkan orangtuanya.

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 50-170717
BERBOHONG (Tulisan ke-1) - yws
(Konteks Masalah Umum Anak)

DEFINISI
Berbohong didefinisikan sebagai menyatakan hal yang tidak benar/tidak sesuai fakta dengan sengaja atau dengan tujuan memperoleh keuntungan atau untuk menghindari ketidaknyamanan.

Walaupun semua anak pernah berbohong dalam hidupnya, orangtua cenderung memandang kejujuran sebagai karakter terpenting dan mendasar dibanding karakter-karakter lain. Sehingga akan sangat marah serta terganggu ketika menemukan anaknya berbohong.

Selama masa prasekolah (4-6 tahun), anak kadang kesulitan membedakan antara fantasi dan kenyataan, akibatnya mereka rentan untuk berbicara berlebihan dan penuh khayalan.

Sebaliknya pada anak masa sekolah (6-12 tahun), anak cenderung melakukan kebohongan dengan sengaja. Biasanya hal itu dilakukan untuk menghindari hukuman atau memperoleh keuntungan.

Anak memiliki pemahaman moral dan konsep kejujuran yang berbeda satu sama lain. Piaget membedakan 3 tahap pemahaman anak mengenai berbohong.
Tahap 1, anak tahu bahwa berbohong itu salah karena akan mengakibatkan ia dihukum orangtua. Jika tidak ada hukuman, maka bohong boleh dilakukan.

Tahap 2, berbohong itu salah, ada atau tidak ada hukuman

Tahap 3, berbohong itu salah karena merusak kehormatan, kepercayaan (trust) dan kasih sayang.

Untuk mengetahui sampai mana level pemahaman anak mengenai "berbohong", maka ajukanlah pertanyaan seperti,
- "Mengapa berbohong itu salah atau tidak baik?"
- "Bolehkah kita berbohong kalau tidak ketahuan dan kalau tidak memperoleh hukuman?"

Umumnya anak usia 6 tahun berada pada tahap 2. Sementara anak usia 12 tahun sepertiganya berada pada tahap 3.

Berbohong pada anak memiliki beberapa bentuk, meliputi;
1. Simple reversals of truth (menyatakan hal yang berkebalikan): Anak mengatakan sudah mengerjakan PR padahal belum.

2. Exaggeration (melebih-lebihkan): Anak menceritakan kekuatan ayahnya dengan berlebihan ketika bicara di depan teman-temannya. "Ayahku dong, bisa ngangkat lemari sendiri ..."

3. Fabrications (pemalsuan): Anak bercerita pada temannya bertamasya ke luar negeri, padahal tidak pernah terjadi.

4. Confabulations: Anak menceritakan hal yang sebagian benar dan sebagian salah.

5. Wrong accusations (salah tuduh): Anak menyalahkan saudaranya menumpahkan susu, padahal sebetulnya dia yang melakukan.

PENYEBAB
Berikut adalah alasan umum yang mendorong anak berbohong:
1. Self defense (mempertahankan diri):
Untuk menghindarkan diri dari konsekuensi tidak nyaman dari perilakunya, baik berupa ketidaksetujuan maupun hukuman orangtua. Misal, mengatakan sudah sholat agar orangtua tidak mencereweti dan menyuruh sholat terus-menerus.

2. Denial (penyangkalan):
Sebagai cara untuk menghindari ingatan, perasaan atau fantasi yang menyakitkan. Misal, mengatakan senang datang ke suatu acara padahal di acara tersebut dia dibully temannya.

3. Modelling:
Meniru perilaku orang dewasa. Misal, orangtua menyuruh anak mengatakan pada orang di telpon bahwa orangtua tidak di rumah, padahal ada di rumah hanya karena orangtua tidak mau menerima telpon dari orang tsb.

4. Ego-boasting:
Membual untuk memperoleh perhatian dan pujian.

5. Reality testing:
Ini adalah salah satu kemampuan individu yang berkembang pada manusia untuk memahami dunia internal (pemahaman, perasaan) dengan dunia eksternalnya. Anak yang belum mengembangkan kemampuan reality testing dengan baik, misalnya yang melakukan exaggeration kerap dipandang sebagai berbohong.

6. Loyalitas:
Upaya melindungi anak lain. Misalnya, mengatakan bahwa kakaknya ada di rumah dengan dia, padahal sebetulnya pergi main, agar kakaknya terlindungi dari dimarahi ayah.

7. Hostility:
Kebencian pada seseorang atau sekelompok orang. Misal, mengatakan hal yang tidak benar/memfitnah seseorang/sekelompok orang agar orang tsb memperoleh hukuman atau dibenci oleh orang lain.

8. Gain:
Bertujuan untuk memperoleh sesuatu dari seseorang. Misal, mengatakan belum makan agar diberi makan.

9. Self image:
Anak berulangkali dikatakan sebagai pembohong sehingga ia mempercayai dan meneguhkannya. Misal, orangtua atau orang dewasa yang sering mengatakan "Dasar tukang bohong ..." atau "Kamu pasti bohong sama bunda ..." pada anak.

10. Distrust:
Orangtua tidak percaya pada anak ketika ia menceritakan hal yang benar, sehingga anak sekalian saja mengatakan hal yang tidak benar.

*Tulisan disajikan bertahap, Definisi, Penyebab/Latar Belakang, Pencegahan dan Penanganan.
*Merupakan terjemahan bebas (dengan tambahan contoh) dari buku How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

Yeti Widiati 49-170717

Kamis, 13 Juli 2017

ILMU-ILMU PARENTING - yws

Apakah cukup kita memiliki cinta untuk bisa mendidik anak dengan baik? Sebagian mungkin menjawab cukup, lainnya bilang tidak. Nah, saya tidak ingin masuk dalam perdebatan tak berujung seperti itu. Kita eksplorasi bersama saja, pengetahuan dan ketrampilan apa saja yang kita butuhkan sebagai orangtua untuk dapat mendidik anak-anak kita sebaik yang kita bisa lakukan.
*Nomor urut tidak menunjukkan prioritas.

1. Pola Pengasuhan
Dalam banyak hal, pola pengasuhan orangtua pada anak dipengaruhi oleh harapan, tujuan, value, beliefs, pengalaman, pengetahuan, budaya, pendidikan, karakteristik keluarga, keunikan anak, dan juga kepribadian orangtua.

Ada 4 besar jenis pola asuh yang kerap dibahas. Biasanya mengacu pada pola asuh yang diulas Diana Baumrind yaitu:
- Otoriter/Memaksa
- Permisif/Membebaskan
- Otoritatif/Demokratis
- Laissez Faire/Pengabaian

Dalam prakteknya 4 jenis pola asuh ini tidak pernah sepenuhnya murni 100%. Lebih sering terjadi pencampuran dalam kadar yang berbeda-beda. Namun ragam penelitian menunjukkan bahwa pola asuh Otoritatif/Demokratis dipandang yang paling berpeluang mengembangkan anak secara optimal.

2. Karakteristik Perkembangan Anak sampai Remaja.
Bila orangtua memahami karakteristik anak sejak dalam kandungan hingga remaja, maka ia berpeluang untuk dapat melakukan pengembangan anak dengan lebih efektif.

Setiap rentang usia tertentu ada tantangan dan kerentanannya. Pemahaman mengenai hal ini akan membuat orangtua lebih aware dan lebih siap menghadapinya dan mengurangi kecemasan dan kebingungan yang berlebihan.

Misalnya, adalah umum bayi bergantung penuh pada pengasuhnya, balita banyak bergerak, anak usia sekolah banyak bertanya dan remaja banyak membantah. Bila kita memahaminya, maka kita tidak mudah emosi, tidak memberikan tuntutan terlalu tinggi di atas kemampuan anak dan bisa mencari cara yang paling sesuai untuk menghadapinya.

Dalam bahasan mengenai karakteristik Perkembangan juga mencakup mengenai 3 aspek perkembangan yang perlu distimulasi orangtua, yaitu;
(1) Aspek Fisik, di dalamnya mencakup juga aspek motorik
(2) Aspek Kognitif, termasuk kreativitas, bahasa (dan bicara), moral dan spiritual
(3) Aspek Sosial-Emosi, termasuk bermain, peran sesuai jenis kelamin

Jadi, tak cukup anak hanya diberi makan atau disekolahkan, namun ada aspek-aspek lain yang juga perlu dikembangkan secara seimbang.

3. Strategi dan Komunikasi
Tidak seperti ilmu sains yang memiliki rumus jelas, maka dalam ilmu sosial, termasuk psikologi, rumus dan strategi yang kita gunakan menjadi lebih "cair". Cara yang berhasil untuk satu anak belum tentu efektif bagi anak lain. Hal ini karena ada relevan faktor yang lebih banyak yang mempengaruhi keefektifan suatu pendekatan.

Bagaimanapun tetap ada rumus umum yang bisa dipelajari, dan prakteknya kita perlu siap untuk mencoba ragam cara.

Pendekatan yang dipandang memiliki keberhasilan cukup tinggi adalah menggunakan pendekatan empati. Kita berusaha memahami perasaan dan cara berpikir anak dengan memposisikan diri pada posisi anak. Kemampuan berempati "mempersyaratkan" kepekaan, keluwesan berpikir dan kesediaan untuk memahami anak.

4. Pembentukan Perilaku dan Disiplin
Pemahaman tentang pembentukan perilaku, mulai dari tahapan hingga strategi pencapaian tujuan ini memang agak bersifat teknis. Membutuhkan kesediaan orangtua untuk merenung dan berpikir lebih dalam.

Saya ambil contoh begini, jika orangtua mengharapkan anak untuk memiliki sifat jujur, maka paling tidak, orangtua perlu mendefinisikan mengenai konsep "jujur" itu sendiri, termasuk indikator perilaku apa yang dapat dikatakan "jujur". Kemudian karakter jujur itu di"break down" dibuat tahapan, cara, waktu untuk bisa mencapainya.

Para orangtua yang memiliki basic pengetahuan mengenai ilmu pendidikan biasanya akan lebih mudah untuk memahami, karena sudah terbiasa membuat rencana pengajaran. Pengetahuan ini dapat diterapkan pula di rumah dengan cara yang lebih luwes.

5. Masalah Umum dan Khusus
- Ada masalah yang timbul karena konsekuensi perkembangan.
- Ada masalah yang timbul karena dinamika interaksi dan lingkungan anak.
- Ada pula masalah yang timbul karena perbedaan terberi/given.

Orangtua biasanya mengembangkan kemampuan handling problem melalui kasus spesifik yang dihadapinya. Tentunya ini baik. Bila orangtua juga mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah-masalah umum keseharian, ini menjadi luar biasa.

6. Menjadi Model
Pendidikan, sederhananya adalah mencontoh atau memodel. Dan memodel yang paling masuk akal adalah dengan melihat langsung orang-orang terdekat. Oleh karena itu orangtua, pengasuh dan guru adalah orang-orang yang memiliki peluang paling besar dicontoh anak.

Hal-hal apa saja yang biasanya dicontoh dengan sangat cepat dan mudah oleh anak?
- Tampilan fisik. Gesture, gerakan, cara bicara, ekspresi, cara berpakaian, dll
- Pengelolaan emosi. Reaktif, sabar, pencemas, periang, semangat, pemarah, murung, dll
- Problem solving. Terencana, tergesa-gesa, berdasar data, asal bicara, dll
- Habit atau kebiasaan
- Value, cara pandang, filosofi hidup, beliefs, dll

Pengasuhan dan pendidikan anak di rumah sejatinya bukan hanya satu arah (orangtua kepada anak), namun timbal balik (Orangtua-anak dan anak-orangtua). Sehingga konsekuensinya adalah, orangtua perlu mengembangkan diri terus-menerus.

Tentunya masih banyak ilmu-ilmu lain yang perlu dimiliki orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak. Yang saya urai di atas, belum seluruhnya.

Wallahu'alam

Yeti Widiati - 48-130717

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...