Rabu, 28 Januari 2015

HANDWRITING
(Konteks Perkembangan Anak)

"Belajar menulis huruf sambung ....? Apa pentingnya sih? 
Jaman sudah modern, bisa mengetik pakai komputer atau iPad, buat sms tinggal pijit, ngapain juga mesti belajar nulis huruf sambung?"

Dari sudut pandang Sensory Integration, handwriting atau menulis dengan tangan menggunakan pensil atau bolpen adalah kegiatan kompleks yang melibatkan integrasi sensori. Visual, tactile (sentuhan), proprioseptif (motorik halus) bahkan vestibular (keseimbangan tubuh). Menulis dengan tangan mengkoordinasikan sensori-sensori di atas. Kesulitan atau bahkan kegagalan dalam melakukan integrasi sensori pada anak usia SD akan berpengaruh pada kemampuan berkonsentrasi, kendali emosi dan gangguan kecemasan.

Dari sudut pandang Grafologi (ilmu menginterpretasi tulisan tangan), handwriting adalah ekspresi dari gambaran diri, antara lain kemampuan mengendalikan emosi dan dorongan. Pengalaman saya, anak-anak usia SD bahkan hingga dewasa yang mengalami gangguan emosi, problem kepercayaan diri atau sosial dapat tergambar dari tulisan tangannya.

Ketika seseorang menulis, maka ia melakukan dorongan sekaligus juga kendali terhadap goresan-goresan yang dibuatnya. Untuk tulisan huruf sambung, gerakan itu bahkan menjadi semakin rumit daripada huruf cetak yang terpatah-patah. Oleh karena itu menulis dengan huruf sambung sebetulnya juga melibatkan kendali emosi di dalamnya.

Pada usia anak, menjelang usia 6 tahun. Maka kelenturan otot tangan dan jari adalah penting, karena setelah ia masuk sekolah dasar, kegiatan menulis dan kegiatan lainnya yang menuntut kemampuan visual motorik seperti menggambar, membuat prakarya, mengancingkan baju, menyimpul tali sepatu, dll. frekuensinya menjadi lebih sering. Maka anak-anak yang belum terampil dari sisi motorik halus ini akan mengalami kendala signifikan bila tak pernah dibimbing untuk aktivitas-aktivitas tersebut.

Sayangnya, banyak orangtua dan guru TK melakukan drilling aktivitas menulis yang kurang tepat. Misalnya dengan "memaksa" anak menulis berlembar-lembar. Untuk anak yang memang belum cukup siap, hal ini menjadi kontraproduktif. Pengalaman menulis malah menjadi pengalaman buruk baginya.

Prinsip mengembangkan kemampuan menulis, bukan hanya melalui kegiatan menulis saja dan juga bukan hanya jari-jarinya saja yang dilatih.

Meningkatkan ketrampilan motorik halus adalah dengan menguatkan motorik kasarnya dan juga keseimbangan tubuhnya terlebih dahulu. Badan anak dikuatkan dengan aktivitas, berlari, loncat, menggantung, memanjat atau bahkan berenang. Anak-anak yang kuat fisiknya secara keseluruhan akan mampu menopang tubuhnya sehingga memiliki daya tahan yang lebih baik, tidak mudah lelah, bosan saat menulis. Anak yang menulis telungkup, tangannya memegang pensil terlalu lemah atau terlalu kuat adalah indikasi dari fisik yang kurang siap.

Sementara untuk meningkatkan ketrampilan motorik halusnya sendiri, lakukan kegiatan, misalnya, menggambar, mewarnai, meronce, bermain plastisin, menggunting, memotong, membuat istana pasir, bermain foam/busa, bermain lem, menjahit, menempel manik-manik, memungut kacang dengan sumpit, memasak, dll. Tak usah dipaksakan, jadikan permainan yang menarik dan menyenangkan sehingga anak tidak memandang kegiatan ini sebagai beban.

*Kalau ada cara belajar yang menyenangkan, mengapa pakai cara yang merepotkan dan menimbulkan emosi? 

Selasa, 27 Januari 2015


START FROM THE BEGINNING
(Konteks Parenting)

"Kamu MULAI berani melawan sama bapak, ya..."
"MULAI bandel kamu sekarang ya ..."
"MULAI macem-macem kamu sekarang ya ...?"


Pernah lihat balapan mobil?
Saat start ada seseorang yang memegang bendera start dan mengibaskannya sebagai tanda balapan di mulai. Si pembalap tahu, bahwa segera setelah bendera start dikibaskan maka ia bisa memacu mobilnya secepat-cepatnya.

Dalam komunikasi maka otak merespon hal yang sama terhadap kata "MULAI." Bahwa kata "mulai" artinya bahwa sesuatu berawal yang sebelumnya belum terjadi.

Jadi, kesan apa yang kita peroleh ketika anak mendengar kalimat seperti di atas yang diucapkan orangtua atau gurunya?

*Gunakan kata "MULAI" untuk membentuk perilaku baik yang kita harapkan.

IMPROVISASI HUKUMAN
(Konteks Parenting)

- Puspa seorang anak perempuan kelas 5 SD dijanjikan orangtuanya berlibur ke Bali saat liburan kenaikan kelas. Puspa senang, membayangkan dan merencanakan apa saja yang akan dilakukannya di Bali bersama ayah ibu dan adik laki-lakinya. Ternyata saat pembagian raport nilai Matematika-nya 5. Meskipun nilai mata pelajaran lain 8, ayah kecewa dan membatalkan perjalanan ke Bali. Ayah berkata bahwa karena Puspa memperoleh nilai buruk, maka ia harus memperoleh hukuman.


- Nanda seorang bocah 4 tahun yang lasak dan lincah. Satu saat mamanya membawanya ke sebuah toko barang pecah belah. Gerakan Nanda kian kemari membuat pemilik toko gelisah. Sambil memilih cangkir-cangkir, mamanya berteriak, "Jangan lari-lari ..." tapi Nanda tak menghiraukannya. Tiba-tiba saat berlari ia menabrak sebuah rak, dan pecahlah sebuah vas berharga mahal. Mamanya kaget, spontan memukul Nanda dan berkata, "kamu nakal ...!" Dalam perjalanan pulang Mama berkata, "Kamu gak boleh makan permen yang tadi dibeli, karena kamu nakal."

- Bunga, seorang anak 5 tahun kesal karena bundanya tak membelikan boneka seperti yang diinginkannya. Ia marah dan berteriak, "Bunda jahat, bunda gak sayang sama Bunga ...!" Bundanya kesal, kemudian bunda membalas, "Kalau kamu bilang bunda jahat, bunda kembalikan baju yang kemarin di beli ke toko."

Hukuman yang muncul karena marah dan kecewa. Hukuman yang tidak pernah dibicarakan dan diperingatkan terlebih dahulu. Hukuman yang datang tiba-tiba karena ide sesaat. Hukuman yang tidak memberi kesempatan orang untuk mempersiapkan diri. Semuanya adalah hukuman yang tidak adil.

Kita para orang tua sadar atau pun tidak, kerap menjatuhkan hukuman hasil improvisasi setelah kejadian buruk terjadi. Di sini kita mengajarkan anak untuk bersikap reaktif dan bertindak atas dasar emosi. Kita juga mengajarkan anak untuk menjadi cemas karena tidak pernah bisa mengantisipasi apa yang akan terjadi kalau ia melakukan kesalahan. Kita mengajarkan anak mendendam dan menuntut balas.

*Bahkan Tuhan saja memperingatkan manusia terlebih dahulu, sebelum menjatuhkan hukuman.

*Kasus-kasus adalah nyata dengan modifikasi pada identitas dan penyesuaian, tapi tidak mengubah garis besar peristiwa.

POLA RESPON

Setting 1:
Orangtua melihat balitanya sedang berlari-lari di atas lantai licin
Orangtua berkata, "Dek, jangan lari-lari nanti jatuh." Si Adek tetap saja berlari, dan akhirnya kejadian, Adek tergilincir, jatuh dan menangis ...


Kalau anda jadi orangtuanya, apa yang akan anda ucapkan dan lakukan?
- Tuh kan, bunda juga bilang apa, jatuh kan jadinya ...
- Rasain ... kamu memang bodoh dan bandel lagi. Biarin aja kepeleset biar nyadar ...
- Terserah deh mau ngapain, dibilang apa juga kamu gak nurut. Bunda gak urusan lagi sama kamu ...
- Sudah kamu gak usah lari-lari lagi, bunda gendong saja ...
- Cep .. cep ... cep ... nakal ya lantainya. Sini bunda tepok lantainya (sambil menepuk lantai) "Kamu nakal, sudah bikin adek jatuh ...
- Ayo adek yang semangat ... bangun ... bangun ... kamu pasti bisa ... !!
- Sakit ya ... sini bunda peluk. Nanti lagi kalau jalan di tempat licin pelan-pelan atau kamu pegangan ...
- Adek ... mama sedih sekali kamu jatuh. Mau jadi apa kamu nanti kamu besar kalau kamu kepeleset begini ...
- Mama doakan kamu tambah kuat, sehat, sehingga kamu bisa jalan dan bahkan berlari dengan baik. Kalaupun jatuh kamu bisa segera bangun dan berjalan lagi ...

Setting 2:
Ganti si balita jadi pemimpin-pemimpin kita, baik yang kita suka/cinta maupun tidak. Jalan licin adalah negara ini dengan berbagai masalahnya. Dan kita orangtua adalah rakyatnya. Ketika pemimpin kita tergelincir, ketika antar mereka saling berselisih. Apa yang akan kita ucapkan dan lakukan?

* Pola respon di atas, saya angkat dari observasi realita dan juga berbagai status atau komen di media sosial.
* Status ini mengajak kita (termasuk diri saya sendiri) untuk memperhatikan respon diri sendiri terhadap suatu situasi. Mana respon yang melumpuhkan dan mana respon yang memberdayakan. Kita punya freedom to choose, kebebasan untuk memilih respon.

Sabtu, 24 Januari 2015

TES KEMATANGAN SISWA (TKS)

Beberapa bulan terakhir ini adalah "peak season" untuk seleksi masuk sekolah, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Tes Kematangan Siswa atau sekarang sering disebut dengan nama Tes Kesiapan Sekolah adalah tes yang kerap digunakan untuk memperoleh gambaran kesiapan seorang anak (usia 5-6 tahun) untuk masuk sekolah dasar. Beberapa sekolah TK melakukan tes ini 6 bulan sebelum siswa masuk SD, dengan maksud untuk memperoleh profile/gambaran kemampuan siswa. Pada aspek atau area mana siswa perlu dikembangkan agar ia dapat melalui proses belajar di sekolah dasar dengan lancar. Ada juga beberapa SD yang menggunakan tes ini dalam proses seleksi sekaligus untuk memperoleh gambaran di area mana anak masih perlu disupport apabila ia diterima di SD tersebut.

Saya tentu saja tidak akan membahas mengenai TKS sebagai tools. Saya ingin menyampaikan mengenai analisis saya secara umum mengenai gambaran hasil yang diperoleh selama belasan tahun melakukan proses tes ini.

Saya perlu luruskan beberapa hal terlebih dahulu, yaitu:
1. Kematangan siswa tidak paralel dengan kecerdasan.
Artinya, bisa saja seorang anak sangat cerdas atau ber-IQ tinggi tapi dia tidak matang. Karena kematangan anak bukan berbicara mengenai kecerdasan, melainkan berbicara mengenai seberapa siap anak mengikuti proses belajar di sekolah dasar yang menuntut kemampuan konsentrasi, belajar mandiri (kendali emosi, disiplin, ketekunan), belajar dalam kelompok (interaksi sosial), penguasaan konsep-konsep dasar dan koordinasi visual motorik. Anak ber IQ tinggi memang mudah memahami dan mempelajari hal-hal baru yang terkait dengan kognitif, tapi belum tentu dia sudah memiliki kemandirian atau kelenturan motorik halusnya, misalnya.
2. TKS menjaring hasil dari proses pola asuh dan pendidikan.
Karena menjaring hasil dari proses, maka TKS tidak bisa dikarbit, didrill atau dipaksakan. Tidak ada bimbel atau les untuk TKS. Tidak bisa juga orangtua melimpahkan tanggung jawab kepada play-group atau kelompok bermainnya untuk menyiapkan anak agar "lulus" tes ini.
Tidak ada yang instan, orangtua perlu menyiapkan anak untuk bisa mandiri, disiplin, tekun, mampu bergaul, dll. dan itu perlu waktu.

10 tahun terakhir saya melihat gap atau perbedaan yang signifikan dalam aspek-aspek kematangan yang dijaring. Antara komponen kognitif dan motorik dengan komponen sikap atau afektif. Anak bisa saja punya ketrampilan yang baik untuk memahami hitungan, memegang pensil atau memahami situasi. Akan tetapi ia tidak selalu bisa berespon dengan tepat dalam suatu situasi sosial. Misalnya;
- Apa yang perlu dilakukan bila ada orang yang sedang berbicara?
- Apa yang perlu dilakukan ketika ada teman yang berisik atau mondar mandir?
- Bagaimana mengungkapkan keinginan dengan cara yang sopan, tidak berebutan, mencari perhatian atau bahkan diam saja?
- Bagaimana mendorong diri sendiri agar tekun, tidak mudah patah semangat dan meminta bantuan orang dewasa?

Kelihatannya hal ini memang menjadi PR dan tantangan bagi para orangtua muda. Karena kesulitan-kesulitan di atas adalah hal-hal yang mendasar, terkait sikap dan karakter. Jauh lebih membutuhkan fokus dan keseriusan menanganinya daripada mengajarkan matematika, sains atau pengetahuan kognitif lainnya.

Kamis, 15 Januari 2015

MENYIKAPI KORBAN PERUNDUNGAN (BULLYING) - yws

Mungkin istilah perundungan masih belum umum sehingga masih terasa "kagok" saat disebut. Tapi segala sesuatu selalu ada awalnya sebelum jadi biasa. Sehingga saya memutuskan untuk ikut memperkenalkan dan men-sosialisasikan istilah ini.

Perundungan/bullying adalah perilaku agresif baik secara lisan maupun fisik yang dilakukan orang atau sekelompok orang kepada orang/kelompok lain dengan maksud mengganggu atau membuat tidak nyaman pihak lain. Orang yang mengalami perundungan biasanya orang yang lebih lemah dan tidak bisa melawan. Situasi ini berpeluang menimbulkan masalah di kemudian hari, baik bagi si pelaku terlebih bagi korbannya.


Kita sebagai orangtua tidak selalu bisa melindungi anak kita dari perundungan ini. Namun kita bisa mengurangi peluang terjadinya perundungan pada anak kita. "Rahasianya" adalah, pelaku butuh kekuatan dan mereka mencari reaksi takut, cemas atau terganggu dari korbannya. Jadi jika anak kita merasa terganggu atau kurang nyaman dengan perundungan tersebut, maka pelaku menang dan dia akan melakukannya lagi dan lagi ... Karenanya, bantulah anak untuk tetap bersikap tenang dan tidak terganggu dengan situasi ini dan tahu bagaimana bertindak secara asertif.

Bagaimana mendeteksi apakah seorang anak menjadi korban perundungan?
1. Tidak dapat menjelaskan tanda-tanda kekerasan fisik (luka, memar), baju yang sobek.
2. Tidak dapat menjelaskan kehilangan barang, mainan, alat sekolah, bekal atau uang.
3. Takut ditinggal sendirian, enggan sekolah, naik mobil jemputan, minta dijemput, tiba-tiba menjadi lengket dan tidak mau berpisah dari orangtua.
4. Tiba-tiba cemberut, pendiam, suka mengelak, bilang kesepian.
5. Perubahan dalam perilaku, kebiasaan dan karakter.
6. Mengalami keluhan fisik, sakit kepala, sakit perut, sering ke UKS.
7. Mengalami gangguan tidur, sulit tidur, mimpi buruk, mengigau, menangis, mengompol.
8. Mulai melakukan kasar pada adik, pembantu atau orang lain yang lebih lemah.
9. Menunda ke kamar mandi hingga sampai di rumah (Bila perundungan dilakukan di toilet/kamar kecil)
10. Makan dengan rakus ketika tiba di rumah. (Bisa karena bekal atau uangnya dirampas)
11. Mengalami penurunan prestasi akademik secara tiba-tiba dan signifikan, sulit konsentrasi dan belajar.

Berikutnya: Solusi ...

*Sumber: Michele Borba. The Big Book of Parenting Solutions

Senin, 12 Januari 2015

ABSTRAK versus KONKRIT
(Konteks berbicara dengan anak)

Setting: sekelompok anak (usia TK) berebutan ingin memperoleh pembagian kue dari gurunya.
Perintah abstrak : "Ayo yang sabar, yang tidak sabar tidak dapat kue ...!"
Perintah konkrit : "Ayo berbaris satu persatu sampai ke belakang. Kue tidak akan dibagikan sampai kalian berbaris rapi. Semua akan kebagian"


Setting: anak di rumah akan belajar
Perintah abstrak : "Ayo belajarnya yang benar ...!"
Perintah konkrit : "Ayo bukunya dibaca halaman 10, kemudian kerjakan latihannya ..."

Setting: anak di rumah sedang dinasihati ketika akan bertamu
Perintah abstrak : "Kamu harus jadi anak yang baik, tidak boleh nakal ..."
Perintah konkrit : "Kamu harus bersikap sopan, memberi salam waktu bertemu, tersenyum dan berbicara perlahan. Hanya minum dan mengambil makanan setelah dipersilakan ... "

---------------

Orangtua kadang terjebak untuk berbicara dengan menggunakan kata-kata abstrak atau multitafsir yang membuat anak bingung atau pada akhirnya memutuskan sendiri definisi kata tersebut yang belum tentu sesuai dengan apa yang dimaksud orangtua.

Oleh karena itu menyampaikan pesan pada anak dengan jelas sesuai, akan sangat membantu anak untuk memahami perilaku apa yang sebetulnya diharapkan orangtua.

Bila orangtua tetap akan menggunakan kata-kata yang abstrak, pastikan bahwa anak memahami maksud kita.

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...