Sabtu, 24 Januari 2015

TES KEMATANGAN SISWA (TKS)

Beberapa bulan terakhir ini adalah "peak season" untuk seleksi masuk sekolah, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Tes Kematangan Siswa atau sekarang sering disebut dengan nama Tes Kesiapan Sekolah adalah tes yang kerap digunakan untuk memperoleh gambaran kesiapan seorang anak (usia 5-6 tahun) untuk masuk sekolah dasar. Beberapa sekolah TK melakukan tes ini 6 bulan sebelum siswa masuk SD, dengan maksud untuk memperoleh profile/gambaran kemampuan siswa. Pada aspek atau area mana siswa perlu dikembangkan agar ia dapat melalui proses belajar di sekolah dasar dengan lancar. Ada juga beberapa SD yang menggunakan tes ini dalam proses seleksi sekaligus untuk memperoleh gambaran di area mana anak masih perlu disupport apabila ia diterima di SD tersebut.

Saya tentu saja tidak akan membahas mengenai TKS sebagai tools. Saya ingin menyampaikan mengenai analisis saya secara umum mengenai gambaran hasil yang diperoleh selama belasan tahun melakukan proses tes ini.

Saya perlu luruskan beberapa hal terlebih dahulu, yaitu:
1. Kematangan siswa tidak paralel dengan kecerdasan.
Artinya, bisa saja seorang anak sangat cerdas atau ber-IQ tinggi tapi dia tidak matang. Karena kematangan anak bukan berbicara mengenai kecerdasan, melainkan berbicara mengenai seberapa siap anak mengikuti proses belajar di sekolah dasar yang menuntut kemampuan konsentrasi, belajar mandiri (kendali emosi, disiplin, ketekunan), belajar dalam kelompok (interaksi sosial), penguasaan konsep-konsep dasar dan koordinasi visual motorik. Anak ber IQ tinggi memang mudah memahami dan mempelajari hal-hal baru yang terkait dengan kognitif, tapi belum tentu dia sudah memiliki kemandirian atau kelenturan motorik halusnya, misalnya.
2. TKS menjaring hasil dari proses pola asuh dan pendidikan.
Karena menjaring hasil dari proses, maka TKS tidak bisa dikarbit, didrill atau dipaksakan. Tidak ada bimbel atau les untuk TKS. Tidak bisa juga orangtua melimpahkan tanggung jawab kepada play-group atau kelompok bermainnya untuk menyiapkan anak agar "lulus" tes ini.
Tidak ada yang instan, orangtua perlu menyiapkan anak untuk bisa mandiri, disiplin, tekun, mampu bergaul, dll. dan itu perlu waktu.

10 tahun terakhir saya melihat gap atau perbedaan yang signifikan dalam aspek-aspek kematangan yang dijaring. Antara komponen kognitif dan motorik dengan komponen sikap atau afektif. Anak bisa saja punya ketrampilan yang baik untuk memahami hitungan, memegang pensil atau memahami situasi. Akan tetapi ia tidak selalu bisa berespon dengan tepat dalam suatu situasi sosial. Misalnya;
- Apa yang perlu dilakukan bila ada orang yang sedang berbicara?
- Apa yang perlu dilakukan ketika ada teman yang berisik atau mondar mandir?
- Bagaimana mengungkapkan keinginan dengan cara yang sopan, tidak berebutan, mencari perhatian atau bahkan diam saja?
- Bagaimana mendorong diri sendiri agar tekun, tidak mudah patah semangat dan meminta bantuan orang dewasa?

Kelihatannya hal ini memang menjadi PR dan tantangan bagi para orangtua muda. Karena kesulitan-kesulitan di atas adalah hal-hal yang mendasar, terkait sikap dan karakter. Jauh lebih membutuhkan fokus dan keseriusan menanganinya daripada mengajarkan matematika, sains atau pengetahuan kognitif lainnya.

1 komentar:

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...