Kamis, 28 Desember 2017

WHALIEN 52 - yws
(Konteks Memahami Remaja)

Whalien 52 adalah sebuah lagu dari grup Boys-band Korea BTS. Terinspirasi dari kehidupan 52 hertz Whale yang merupakan salah satu spesies paus langka yang memiliki frekuensi suara tidak biasa. Paus ini suaranya setinggi 52 hertz namun sayangnya tidak bisa didengar oleh paus-paus lainnya karena paus lainnya hanya bisa mendengar antara 10–39 Hz. Sehingga paus ini sebut sebagai "paus paling kesepian di dunia" "world's loneliest whale".


Paus ini menginspirasi Namjoon (member grup band Korea, BTS) sehingga menciptakan lagu berjudul Whalien-52. Bercerita tentang paus yang kesepian dan menganalogikan paus ini dengan remaja yang sekalipun ia berteriak keras, namun tak seorang pun mendengar dan memahaminya. Sama seperti Whalien yang kesepian, remaja pun seolah kesepian di dalam keramaian. Ia berteriak menyuarakan pikiran dan perasaannya, tapi ‘tak seorang pun’ memahaminya.

Saya mendengar lagu ini beberapa bulan lalu, dan tercenung menghayati problem para remaja (usia 13 - 18 tahun). Cukup banyak kasus remaja berkait dengan komunikasi. Orangtua (dan guru) kesulitan berkomunikasi dengan remaja, dan sebaliknya remaja pun kesulitan berkomunikasi dengan orang dewasa. Dalam beberapa kasus, para remaja ini benar-benar seperti whalien, yang sekalipun mereka "berteriak" menyuarakan kata hatinya, tetap saja orangtua tidak paham dan malah menganggap mereka aneh. Keinginannya, kebiasaannya, minatnya, pemikirannya, dlsb. semua dipandang aneh. Sehingga alih-alih mencoba memahami, yang ada adalah judging/penilaian. Bukannya menyelesaikan masalah, malah memperuncing konflik, membuat jarak makin lebar, dan masalah pun tidak tuntas.

Remaja pasti berubah, karena secara alamiah mereka sedang dalam proses perubahan menuju dewasa. Ini tidak mudah pada sebagian remaja, karena mereka perlu melepaskan ketergantungan dan memasuki masa kemandirian. Challenge-nya adalah, ada banyak remaja belum menguasai bagaimana caranya mandiri, karena kurangnya kesempatan, kurangnya trust dari orang dewasa dan juga kegamangan mengharmoniskan tuntutan lingkungan terhadap dirinya dengan dorongan-dorongan dari dalam dirinya sendiri.

Mereka butuh didengar
Mereka butuh dipahami
Mereka butuh empati
Mereka butuh dipercaya
Mereka butuh diberi kesempatan
Mereka butuh mengalami kesalahan
Mereka butuh diapresiasi saat melakukan hal benar

Siapkah kita para orangtua/guru mengubah cara pandang bahwa mereka bukan anak-anak lagi? Mereka adalah orang-orang muda yang menuju kedewasaan namun tetap membutuhkan bimbingan.

Agar mereka tak menjadi Whalien yang kesepian, berteriak keras tapi tak ada yang mendengarnya ...

Yeti Widiati 83-211217

Selasa, 26 Desember 2017



MENIKMATI PERJALANAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK - yws

Ceritanya kita dan beberapa orang teman berkemas untuk bersama mendaki gunung. Diantara teman-teman ini, ada yang sudah trampil naik gunung, ada yang belum trampil tapi ia cukup kuat ada yang mudah lelah dan ada pula yang sama sekali belum pernah naik gunung.

Kita akan mendaki gunung untuk sampai puncak. Dan untuk sampai puncak, kita akan mengacu pada peta yang diberikan dan kita perlu melalui beberapa pos. Di pos itu ada pengecekan, apakah kita siap untuk melanjutkan perjalanan ke pos berikutnya dengan melihat perbekalan yang kita miliki, kebugaran fisik dan juga kemampuan kita.

Setelah menyiapkan diri, berangkatlah kita dengan beberapa teman ini untuk mendaki gunung dan mencapai puncak. Ternyata, belum jauh perjalanan mulai terlihat ada perbedaan dalam kecepatan setiap orang. Mereka yang trampil sudah berjalan melebihi teman-temannya yang lain. Tapi juga ada teman-teman yang tertinggal karena mereka belum cukup trampil mendaki, sering berhenti karena mudah lelah atau bahkan terlambat karena penyebab tak terduga lainnya (kehabisan bekal, terpeleset, terhalang binatang lewat, dll). Namun kebanyakan kita masih bisa berjalan bersama-sama.

Pada akhirnya ada yang sampai di puncak terlebih dahulu. Ada yang tiba beramai-ramai, ada yang lebih lambat, dan bahkan ada pula yang tidak sampai ke puncak sama sekali.

Namun yang menarik adalah bagaimana kita semua menikmati perjalanan tersebut.
- Ada yang berjalan dengan riang gembira menikmati perjalanannya sekalipun ia tidak terlalu cepat.
- Ada pula yang mengeluh terus karena merasa terbebani dan merasa kesulitan. Terlepas apakah dia sampai atau tidak, namun ia tidak menikmati apa yang dilakukannya.
- Ada yang menghayati perjalanan ini sebagai kompetisi, sehingga berjalan tergesa-gesa. Mereka ini pun tidak bisa menikmati perjalanannya dengan senang.
--------------

Saya mencoba menjadikan perjalanan mendaki gunung itu sebagai metafora pengasuhan dan pendidikan anak.

Misalkan, puncak gunung adalah kemampuan/ketrampilan tertentu yang perlu dicapai oleh seorang anak. Maka "peta" adalah "skema" yang menjadi acuan untuk mencapai tujuan tersebut. Pos-pos pemberhentian adalah tahapan-tahapan usia tertentu, yang biasanya dijadikan acuan penilaian pencapaian tugas perkembangan.

Nah, setiap anak dilahirkan dengan resourcesnya masing-masing. Boleh jadi ada kurang di satu hal namun banyak lebih dalam hal lain. Mereka semua pada awalnya berangkat dari titik yang sama, namun kemudian menjadi berbeda kecepatan perkembangannya karena resourcesnya dan juga karena pengaruh lingkungannya. Ada yang lebih cepat, ada yang lebih lambat. Namun sebagian besar mengikuti kurva normal, dan berada dalam kelompok besar yang sama. Mereka yang berada dalam kelompok 60-80% persen ini lah yang dijadikan acuan millestone oleh para peneliti. Misalnya, umumnya anak sudah bisa berjalan pada usia antara 11 -14 bulan.

Lalu bagaimana dengan anak-anak yang terlambat perkembangannya? Maka dibutuhkan penerimaan dan kebijakan dari orangtua untuk mengasuh, mendampingi, melatih dan mendidiknya. Bila anak lambat, maka tak perlu dipaksakan harus sama dengan anak-anak lain yang lebih cepat. Skema atau "peta perjalanan" dan juga tujuannya masih tetap sama, tapi kecepatan yang berbeda membuatnya perlu acceptance dan kesabaran lebih besar dari orangtua/pengasuhnya.

Orangtua tak perlu membantu berlebihan hanya agar anaknya bisa sama dengan anak-anak lain, karena fondasi kemampuan yang kurang kuat, akan membuat hilangnya kepercayaan diri anak dan kebergantungan yang besar pada orangtuanya. Analogi dengan pendaki itu adalah mereka yang mendaki tapi digendong orang lain. Akibatnya kaki mereka tetap tidak kuat, dan mereka gamang berdiri di tempat yang tinggi.

Bagi anak-anak ini, dengan kondisi dan resources apa pun (menurut saya) jauh lebih baik adalah mereka menikmati perjalanan pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga potensinya benar-benar bisa termanfaatkan dengan baik.

Orangtua yang penuh penerimaan akan membuat anak nyaman dan terlindungi. Dan anak yang bahagia membuat orangtuanya juga bahagia.

Yeti Widiati 84-261217

Sabtu, 25 November 2017

SENSITISASI DAN DESENSITISASI - yws

Suara kereta api, seringkali mengagetkan dan membuat tidak nyaman bagi beberapa orang, terutama bagi bayi dan anak-anak kecil. Tapi ternyata mereka yang rumahnya di pinggir jalan kereta api tidak seperti itu. Mereka tetap bisa nyenyak tidur sekalipun kereta lewat. Dan bahkan saking seringnya kereta lewat, mereka tidak menyadari kereta itu lewat.

Hal yang sama juga terjadi pada mereka yang tinggal di dekat tempat pembuangan sampah, pabrik, gunung berapi yang mengeluarkan bau belerang, dll. Lama kelamaan mereka menjadi kebal dengan bau-bauan tersebut.

Indra yang awalnya tidak nyaman terhadap suatu stimulus sensori, lalu lama kelamaan menjadi terbiasa dan bahkan tidak menyadari kehadiran stimulus tersebut, itu lah yang disebut proses "desensitisasi/desensitization". Atau kalau disederhanakan dapat disebut juga proses menjadi "kebal".

Sebaliknya adalah, proses ketika diri kita lebih menyadari kehadiran suatu stimulus. Saya pernah mengalaminya setelah ibu saya meninggal dunia. Melihat roti di toko roti, dulu rasanya biasa-biasa saja. Tapi setelah ibu saya meninggal, tampilan roti itu memicu memori saya terhadap pengalaman saya bersama ibu, dan membuat rasa sedih pun muncul kembali. Mencium bau pakaian dan lemari pakaian pun bisa membangkitkan memori dan rasa sedih, karena ada bau kapur barus yang biasa dipakai ibu saya. Saya perlu waktu berbulan-bulan untuk bisa melakukan desensitisasi terhadap roti dan bau kapur barus.

Bila contoh barusan itu berkait dengan stimulus visual dan olfactory (bau), maka hal yang sama bisa juga terjadi pada stimulus sensori berupa rasa, suara, bahkan sentuhan.

Apakah proses sensitisasi dan desensitisasi ini proses yang baik atau buruk?

Tak ada yang baik atau buruk dari keduanya. Keduanya adalah proses logis dan alamiah yang bisa terjadi kapan pun, di mana saja dan pada siapa pun. Tapi bahwa proses ini bisa berakibat baik atau buruk memang ya, tergantung konteks dari pengalaman tersebut.

Menyadari bahwa kedua proses ini bisa berakibat baik dan buruk, maka para ahli psikologi memanfaatkannya untuk proses psikoterapi dan bahkan juga pendidikan.

Pemanfaatan proses sensitisasi dan desensitisasi dalam psikoterapi dan pendidikan, antara lain, untuk menghilangkan phobia, mengurangi kecemasan, rasa takut, trauma, menimbulkan empati, kepekaan, keberanian, termasuk treatment sensory integration bagi ABK.

Bagaimana pun tetap ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah, bahwa tubuh kita memiliki ambang batas tertentu terhadap stimulus-stimulus sensori yang diterimanya. Ibaratnya seperti dokter yang menyuntikkan obat bius kepada pasien sebelum melakukan operasi. Betul, memang pasien tidak merasa apapun ketika kulitnya diiris dengan pisau operasi, akan tetapi bukan berarti kulitnya menjadi tidak bisa luka. Dia tetap terluka sekalipun tidak merasakan sakitnya.

Ambang batas fisik bisa terlihat dari seberapa parahnya luka. Ambang batas psikis lebih tidak mudah mengukurnya. Karena luka psikis seringkali baru terlihat akibatnya dalam jangka panjang.

- Anak-anak yang mengalami kekerasan di masa kecil, bisa saja ia tampak kuat dan tegar tapi sebetulnya ada mental yang rapuh di dalamnya.
- Istri atau suami yang disakiti pasangannya sepanjang pernikahan, mungkin dia tampak tenang dan sabar, padahal sebetulnya menyimpan luka yang dalam.
- Karyawan yang bekerja pagi hingga sore di tempat-tempat beresiko tinggi (terlalu panas, dingin, radiasi, rawan celaka, stresful, dll). Terlihat biasa-biasa saja. Tapi fisiknya menurun dalam jangka panjang dan mengundang ragam penyakit.
- Anak-anak kita yang belajar di sekolah dari pagi hingga sore, lalu mengikuti les dan mengerjakan PR pada malam hari. Baru terlihat gangguan fisik, emosi dan perilakunya di kemudian hari.

Dan masih banyak contoh lainnya ...

Nah, kita sebagai orangtua, pendidik, karyawan dan bahkan diri sendiri, sangat mungkin sudah melakukan proses sensitisasi dan desensitisasi ini secara alamiah dalam keseharian kita. Sekarang setelah kita tahu, maka mungkin kita bisa memanfaatkannya dalam pendidikan dan untuk pengelolaan diri dengan lebih sistematis dan dengan tujuan yang jelas.

Sekaligus kita juga bisa lebih jujur pada diri sendiri, apakah dalam mendidik kita sudah memberikan 'tekanan' yang sesuai dan bertahap untuk anak-anak/siswa kita. Atau apakah selama ini kita berpura-pura kuat terhadap tekanan-tekanan yang kita terima atau sebaliknya kita terlalu manja dan mudah mengeluh terhadap tekanan yang sebetulnya kita sanggup hadapi?

Bila kita mengembangkan kepekaan minimal terhadap diri sendiri, maka kita akan lebih peka terhadap sinyal tubuh, emosi dan juga perilaku kita.

Yeti Widiati 82-241117

Minggu, 19 November 2017

TAHAPAN HUBUNGAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN - yws

Tahapan ini dibuat secara umum. Detail tentunya akan berkaitan dengan aturan dan kebiasan berdasar sosial, budaya dan juga agama. Oleh karena itu perlu kebijakan dalam memahami dan juga menerapkannya dalam realita. Setiap orang sangat mungkin untuk memilih caranya sendiri berdasar apa yang diyakininya benar.

1. Saling tertarik
Adalah hal yang alamiah, bila ada ketertarikan antar laki-laki dan perempuan. Ketertarikan ini biasanya lebih didasarkan pada apa yang terlihat. Ketertarikan ini juga bersifat subyektif berdasarkan pengalaman masing-masing orang.

Sekalipun ketertarikan antar lawan jenis ini bersifat alamiah, namun tidak semua kelompok atau budaya mengizinkan proses ini berjalan tanpa monitoring. Hal ini biasanya berkait dengan upaya menghindari hubungan antar lawan jenis yang tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan aturan.

Oleh karena itu kita mengenal ada beberapa bentuk hubungan lawan jenis, mulai dari yang paling dibatasi hingga yang paling longgar.
- Perjodohan yang diatur sejak masih kanak-kanak. Perjodohan diatur orangtua dan anak tidak memiliki hak untuk memilih dan menolak.
- Mirip dengan poin sebelumnya, yaitu bentuk perjodohan di dalam komunitas dan masih memiliki hubungan. Misal, antar saudara jauh atau antar anggota kelompok.
- Pemisahan berdasar jenis kelamin, terutama pada usia remaja. Hubungan antar jenis kelamin tidak diizinkan sebelum terjadi pernikahan.
- Pendampingan dan pengawasan terhadap hubungan laki-laki dan perempuan dengan batasan tertentu
- Sistem yang lebih terbuka, sehingga perempuan dan laki-laki memiliki otonomi yang relatif lebih besar untuk memilih pasangan dan melanjutkan hubungan sesuai dengan keinginannya.

2. Mengenal lebih jauh
Saling ketertarikan akan mendorong orang untuk mengenal lebih jauh. Dan sama dengan poin pertama, maka proses mengenal lebih jauh ini pun dibatasi oleh aturan dan kebiasaan sosial, budaya dan agama.
- Ada yang memperoleh informasi dari orang lain (orangtua, kenalan, teman, guru spiritual, dll)
- Ada yang memperoleh informasi dengan melakukan penggalian sendiri.

Apapun caranya, maka memperoleh informasi mengenai calon pasangan adalah hal penting. Karena hal ini akan berkait juga pada sejauh mana antisipasi terhadap proses adaptasi dan penanganan masalah yang berpeluang muncul di kemudian hari.

Prinsip umum, kecemasan dan ketakutan akan timbul bila sesuatu tidak terprediksi atau berada di luar kemampuan. Oleh karena itu sekalipun pada saat pernikahan kejutan selalu ada, namun kejutan yang terprediksi umumnya menurunkan tingkat kecemasan.

3. Memilih pasangan
Ketertarikan memang berpengaruh terhadap pemilihan pasangan (kecuali bagi pasangan yang dijodohkan tanpa perkenalan memadai). Akan tetapi agak berbeda dengan ketertarikan yang lebih didasari oleh perasaan, maka memilih pasangan lebih banyak melibatkan pemikiran dan pertimbangan logis.

Dalam konteks ini, maka banyak orangtua yang ikut terlibat dalam memilih pasangan bagi anaknya, salah satunya adalah agar pemilihan lebih didasari oleh pertimbangan yang lebih matang. Terutama pada pasangan yang terlalu muda yang pertimbangannya dikuatirkan masih lebih banyak didasari dorongan-dorongan perasaan yang belum tentu bertahan lama. Orangtua biasanya memutuskan berdasarkan pengalaman mereka.

Patut dicatat, bahwa pertimbangan orangtua, sekalipun didasari oleh tujuan yang baik, adakalanya juga belum tentu sesuai. Karena pengalaman orangtua belum tentu sesuai dengan anak.

Oleh karena itu duduk bersama dan semua pihak (anak dan orangtua) berbicara secara terbuka, merupakan pilihan yang dipandang lebih baik, daripada masing-masing memaksakan keinginannya. Terlebih dalam budaya Indonesia, ketika pernikahan tidak hanya dipandang sebagai penggabungan dua orang melainkan menggabungkan dua keluarga besar.

Pertimbangan memutuskan pasangan (untuk menikah) selain ketertarikan, biasanya didasarkan pada:
- Ras, bangsa, suku.
Kecenderungan ini masih dimiliki pada banyak orang. Meskipun untuk individu yang tinggal di lingkungan heterogen, maka penerimaan heterogenitas dalam hal ras ini semakin longgar. Misalnya, orang yang tinggal di Jakarta, relatif tidak lagi memaksakan harus menikah dengan orang yang sukunya sama.

- Agama/sistem value
Mayoritas orang memilih menikah dengan orang yang beragama sama. Hal ini juga karena agama merupakan hal yang mendasar dan memiliki perangkat aturan yang ketat.

- Kelas sosial,
Mencakup juga di dalamnya adalah pendidikan, pekerjaan, latar belakang sosial, pengalaman hidup dan peluang pengembangan. Pada umumnya kesamaan dalam kelas sosial, lebih memudahkan proses komunikasi dan adaptasi.

- Rentang usia
Perbedaan usia ini juga akan berpengaruh pada bentuk relasi antar pasangan. Sekalipun pada umumnya suami lebih tua dari istri namun tidak jarang juga istri yang lebih tua dari suami. Semakin jauh perbedaan jarak usia, maka bentuk relasinya pun akan berubah.

Apapun kondisi dan pilihannya, maka seorang yang telah dewasa, bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihannya dan mengantisipasi tantangan yang mungkin dihadapinya.

*Sumber Marriage and Family Development, Duvall & Miller

Yeti Widiati 81 - 191117
TEST OF MARITAL READINESS (Tes Kesiapan Menikah) - yws

Kesiapan menikah ditunjukkan, antara lain oleh:
- Kematangan (emosi) dalam menghadapi perasaan orang lain secara tepat.


- Mampu bergaul dan berinteraksi dengan sebanyak mungkin orang.

- Memiliki keinginan dan mampu menjadi exclusive sexual partner. Tidak berganti-ganti pasangan seksual atau mudah tertarik orang lain selain pasangannya.

- Memiliki dan mampu menunjukkan rasa kasih sayang kepada pasangannya.

- Peka terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain (terutama pasangan).

- Mampu mengkomunikasikan dengan bebas dan jelas pikiran, perasaan dan keinginannya. Tidak ragu dan canggung berbicara, namun dengan cara yang baik.

- Siap untuk mendiskusikan dan menggabungkan rencana pribadinya dengan orang lain. Terbuka menerima perubahan, penyesuaian dan berfokus pada tujuan bersama (bukan ingin menang atau senang sendiri).

- Siap menerima keterbatasan orang lain/pasangan.

- Realistis terhadap karakteristik atau kondisi orang lain/pasangan.

- Memiliki kapasitas untuk secara efektif menghadapi masalah ekonomi.

- Siap untuk menjadi suami atau istri yang bertanggung jawab (melakukan peran sesuai dengan value dan tuntutan sosial/budaya)

*Sumber Marriage and Family Development, Duvall & Miller

Yeti Widiati 80-191117

Sabtu, 28 Oktober 2017

TENTANG DIAGNOSIS GANGGUAN PSIKOLOGIS - yws

"Aku ngerasa mual nih, Mam, pusing-pusing juga, mau ke dokter ..." keluh seorang gadis muda pada ibunya.

"Iya, ibu juga mual dan pusing-pusing, nih ... Kita gejalanya sama, kamu aja deh yang ke dokter, nanti obatnya beli dua sekalian buat Mama. Biar irit ... " tukas ibunya.

"Oke, Mam ...."

Selang beberapa jam kemudian, anak gadisnya pulang, dan berkata, "Mam, ini obatnya, dokter bilang aku hamil. Berarti Mama juga hamil ..."
..............................

Lelucon itu saya baca di majalah Femina, puluhan tahun lalu. Berselang puluhan tahun dari situ saya sekarang melihat situasi yang mirip.

Sekitar 3-4 tahun lalu saya pernah memperoleh klien yang menyatakan bahwa dirinya mengalami gangguan psikologis. Dia menyebutkan nama gangguannya tersebut persis seperti nama yang ada di DSM (Diagnostic and Statistic Manual), "buku sakti"nya para psikiater dan psikolog klinis dalam menetapkan diagnosis gangguan psikologis.

Saya tanya, dari mana ia memperoleh diagnosa tersebut, dan bagaimana ia begitu yakin dengan kesimpulannya. Ia mengatakan bahwa ia membaca di sebuah website mengenai gejala-gejala dari sebuah gangguan, dan gejala-gejala itu persis seperti yang ia rasakan. Saya tanya lagi, apakah ia datang ke psikiater atau psikolog klinis untuk membahas mengenai hal ini. Dia bilang tidak, karena ia sudah begitu yakinnya.

Saya sampaikan padanya, bahwa untuk menetapkan diagnosis, seorang psikolog atau psikiater, harus melalui proses asesmen yang seksama dan membutuhkan waktu. Diagnosis berpengaruh terhadap tindakan yang diambil. Gejala yang sama pada beberapa orang belum tentu memiliki diagnosis yang sama persis. Sehingga setiap orang sangat mungkin memperoleh treatment atau saran yang berbeda.

Menyampaikan diagnosis (terutama diagnosis psikologis) kepada klien atau pasien perlu dilakukan sangat berhati-hati. Karena dalam banyak kondisi penyampaian diagnosis membuat klien menjadi merasa tidak berdaya, tidak mau berubah, membuat excuse dan ini semua kontraproduktif dengan apa yang diharapkan dari klien untuk bersikap kooperatif terhadap perubahannya.

Saya ambil contoh begini, ketika seorang dokter mengatakan bahwa pasiennya terkena Flu, maka bila pasien memiliki pengetahuan dan kemampuan tentang 'penyakit' ini, ia bisa cukup kooperatif untuk menyembuhkan dirinya. Ia bisa beristirahat, mengurangi aktivitas, minum banyak, makan vitamin, dsb.

Tapi ketika dokter mengatakan bahwa seseorang terkena Kanker, maka penerimaan dan keterlibatannya dalam menyembuhkan dirinya bisa sangat berbeda. Saya menemukan banyak kondisi ini pada relasi psikolog dan kliennya.

Agak berbeda antara masalah psikologis dan medis. Masalah psikologis umumnya berkaitan dengan orang lain. Maksudnya begini, masalah anak bisa disebabkan karena orangtuanya, pengasuhnya, gurunya, atau bahkan temannya. Sehingga penyelesaiannya akan melibatkan banyak pihak. Pengetahuan tentang kenyataan ini, ternyata kerap menimbulkan rasa frustrasi pada beberapa orang, terutama pada mereka yang memang memiliki kesulitan melakukan approach pada orang-orang tersebut. Ada juga klien yang "berlindung" di balik diagnosis untuk melakukan excuse atas tindakan-tindakannya. Misalnya, "Saya kan memang orangnya introvert, maka saya tidak bisa bergaul ..."

Oleh karena itu banyak psikolog membuat pertimbangan cukup dalam untuk menyampaikan atau tidak menyampaikan diagnosisnya dengan melihat sejauh apa kliennya dapat cukup kooperatif melakukan perubahan.

Perkembangan teknologi sekarang dengan adanya internet, membuat situasi bertambah riskan. Orang sekarang bisa "menilai" dirinya sendiri melalui ragam website yang mengulas tema-tema tentang ini. Hal ini tentunya bagus sebagai introduction, namun tetap tidak bisa menjadi rujukan utama. Orang tetap perlu datang langsung pada ahlinya bila ingin memperoleh pengetahuan yang lebih komprehensif.

Saya pernah membaca pernyataan seorang dokter yang menolak memberikan saran melalui konsultasi online. Menurutnya, bagaimanapun dokter HARUS menyandarkan diagnosis pada observasi dan pemeriksaan secara langsung. Tidak bisa hanya melalui 'laporan' pasien yang belum tentu akurat.

Dengan alasan yang sama, saya pribadi pun membatasi memberikan saran yang terlalu spesifik pada kasus-kasus yang disampaikan secara tertulis. Saya lebih menyarankan ybs, untuk datang langsung ke psikolog di sekitarnya. Sayangnya, dibandingkan dokter, psikolog jauh lebih tidak merata penyebarannya hingga pelosok daerah.

Saya kuatir, kasus seperti di atas kejadian,
Misal (ini kejadian fiktif).
"Bu/Pak, anak saya nggak bisa konsentrasi waktu belajar"
Lalu, psikolognya atas hasil analisis terhadap klien tersebut, salah satu sarannya adalah, "Oh, sebelum belajar disuruh lari-lari saja dulu anaknya, supaya energinya bisa dialirkan."

Si ibu kemudian menceritakan saran tersebut kepada ibu yang lain yang anaknya juga sulit konsentrasi. Atau kalau saran tersebut disampaikan secara tertulis, maka segera saran tersebut di copas dan share kepada ibu lain yang anaknya juga sulit konsentrasi, "Kata psikolog, kalau anak nggak bisa konsentrasi waktu belajar, suruh lari-lari aja dulu sebelum belajar." Padahal jangan-jangan anak lain tidak bisa konsentrasi belajar diakibatkan karena emosinya yang terganggu masalah orangtuanya. Sehingga saran treatmentnya tentunya akan berbeda.

Jadi, belajar via internet, (belajar apa pun itu), tetap perlu dilengkapi dengan bertemu langsung dengan orang yang memiliki ilmunya, dan juga dengan membaca buku-buku rujukan. Sehingga kita bisa memperoleh pengetahuan yang lebih komprehensif. Dan syukur-syukur juga bila bisa memperoleh bimbingan dan pendampingan.

*Interaksi secara langsung tetap lebih bernilai

Yeti Widiati 79-281017

Rabu, 11 Oktober 2017

INDIKATOR REMAJA DENGAN HARGA DIRI RENDAH - yws

Berdasarkan obserasi klinis yang dilakukan oleh Diana-Lea Baranovich (Psikolog-Play Therapist), ia menemukan trait-trait yang diasosiasikan dengan remaja yang memiliki harga diri rendah.

- Merendahkan orang lain dengan mengejek, membuat julukan-julukan dan bergosip (membicarakan keburukan orang di belakang)
Remaja yang harga dirinya rendah tak berani bicara apa adanya dan menerima konsekuensi dari kejujuran. Ia juga cenderung menyerang terlebih dahulu (dengan merendahkan orang lain) sebagai reaksi terhadap hal yang dipandang ancaman.


- Menggunakan gesture/gerak tubuh yang berlebihan dan tidak sesuai konteks atau situasinya (out of context)
Berusaha untuk menunjukkan kelebihan diri sebagai cara menutupi kekurangannya.

- Kebutuhan akan sentuhan yang berlebihan atau bahkan sebaliknya menghindari kontak fisik.
Merupakan kelanjutan dari problem attachment yang berlangsung saat masa bayi hingga masa anak.

- Menyombongkan prestasi, ketrampilan dan penampilan berlebihan
Usaha pertahanan diri untuk menutupi kelemahan

- Merendahkan diri secara verbal (self-depriciation)
Secara berlebihan dan terus-menerus mendegradari kekurangan diri atau sesuatu yang dipersepsi sebagai kekurangan diri.

- Berbicara terlalu keras, kasar dan memaksa
Sama seperti kesombongan, ini juga bentuk reaksi menyerang terhadap hal yang dipandang sebagai ancaman

- Berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain untuk mencari tempat yang paling cocok
Identitas diri belum terbentuk, sehingga masih mencari teman dan tempat yang dianggap sesuai.

- Beresiko menjadi penyendiri dan menghabiskan waktu sepanjang hari di kamarnya
Tak berani mencoba dan mengeksplorasi hal baru, dan takut terhadap konsekuensi dari pertemanan dan kegagalan.

- Beresiko menjadi adiktif di media sosial
Kelanjutan dari menyendiri, namun tetap memiliki kebutuhan berinteraksi. Sehingga akhirnya melakukan stalking dan penjelajahan di dunia maya.

- Riskan untuk bergabung dengan kelompok yang kurang baik
Tidak trampil memilih dan kebutuhan diterima lingkungan yang cukup besar berpeluang membuatnya salah memilih teman dan kelompok.

- Mengubah penampilan dan gaya rambut terlalu sering sebagai usaha untuk mencari jati diri.

*Pertanyaan-pertanyaan mengenai cara atau tindakan untuk menghindari harga diri rendah silakan mengacu pada ragam tulisan saya tahun kemarin di blog terutama mengenai bahasan perkembangan psikososial pada anak. https://yws-paradigma.blogspot.co.id/
*Sumber tulisan: Understanding and Mentoring the Hurt Teenager, Diana Lea Baranovich (terjemahan dengan tambahan penjelasan)

Yeti Widiati 78-111017
CIRI-CIRI REMAJA YANG MEMILIKI HARGA DIRI TINGGI - yws

Self Esteem atau harga diri berpengaruh terhadap bagaimana seseorang menampilkan diri dan berfungsi di lingkungannya. Mereka yang memiliki harga diri tinggi berpeluang untuk menampilkan diri lebih baik daripada mereka yang harga dirinya rendah.

Berikut ini adalah perilaku yang ditampilkan pada remaja yang memiliki harga diri tinggi:
- Mengungkapkan pendapat dengan penuh percaya diri.
Remaja dengan harga diri tinggi, umumnya merasa aman dan nyaman untuk mengungkapkan pendapatnya, karena ia memperoleh dukungan dari lingkungannya. Mereka yang sering disalahkan, cenderung kurang berani dan takut salah berbicara.

- Tekanan suara dan pilihan kata (bahasa) yang sesuai untuk situasi yang dihadapi.
Harga diri yang tinggi akan tertangkap dari bagaimana seseorang berbicara, dari tekanan suara, volume, pilihan kata, dll.

- Duduk dan bergabung bersama teman seusianya dalam aktivitas sosial.
Orang yang sudah memiliki identitas diri yang mantap, akan tahu di mana tempatnya berada dan memilih berinteraksi dengan teman seusianya. Tidak memilih berteman dengan yang lebih muda agar terasa lebih tinggi/hebat. Tidak juga memilih bergaul dengan yang lebih tua.

- Bersedia dan dengan gembira mengeksplorasi aktivitas-aktivitas baru untuk mengetahui apakah mereka akan menyukainya atau tidak.
Mereka yang memiliki harga diri tinggi, siap untuk mencoba hal-hal baru dan mengembangkan wawasannya lebih luas. Mereka tidak skeptis dan menghindari hal-hal baru, atau lebih menyukai hal yang stabil dan sama terus-menerus.

- Dapat mengembangkan hubungan/rapport yang sesuai dengan orang dewasa.
Remaja yang harga dirinya tinggi, tahu bagaimana bersikap yang sesuai pada orang yang lebih tua. Sopan santun, menolong dan kepedulian pada orang yang lebih tua, menunjukkan hal tersebut.

- Dapat bekerja sama dalam kelompok
Dapat memberi dan menerima. Peka terhadap kebutuhan orang lain dan tahu keterbatasan diri, adalah beberapa perilaku yang membuat orang bisa bekerja sama dengan baik

- Bisa menjadi pengikut (follower) sebagaimana juga bisa menjadi seorang pemimpin (leader)
Pemahaman bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan keterbatasan membuat seseorang tahu kapan dan bagaimana menempatkan diri sebagai follower dan leader. Saat ia menjadi pengikut ia bersedia mematuhi aturan dan saat mejadi leader ia tahu cara berkomunikasi dan memimpin anggotanya.

- Menghadap pada orang saat berbicara atau saat orang berbicara kepadanya.
Tidak memalingkan muka, menghindar dan duduk/berdiri menghadapi orang yang berkomunikasi dengannya adalah salah bentuk harga diri tinggi.

- Menatap mata orang (eye contact) dengan wajar saat bercakap-cakap.
Tidak mengalihkan atau menghindari tatapan mata ke arah lain saat bercakap-cakap.

- Tidak ragu meminta pertolongan saat membutuhkan
Tahu keterbatasan diri dan berani menyatakannya dalam bentuk permintaan tolong. Bukan bergantung sepenuhnya kepada orang lain.

- Berani mengatakan kebenaran sekalipun hal itu berpeluang membuatnya menghadapi masalah
Remaja yang memiliki harga diri tinggi, berani menghadapi konsekuensi dari perbuatannya. Sehingga ia berani menyatakan suatu kebenaran.

- Berani mengakui bahwa ia tidak paham suatu hal
Dorongan untuk belajar dan mengembangkan diri lebih besar daripada rasa gengsi.

- Berinisiatif berkenalan dengan orang baru dengan cara yang wajar.
Masih berkait dengan keinginan untuk memperluas cakrawala dan pergaulan, membuatnya senang berkenalan dengan orang baru dalam ragam situasi.

- Menjaga jarak yang wajar dan nyaman antara dirinya dengan orang lain.
Bila ia menemukan bahwa ia perlu menjaga jarak dengan orang-orang tertentu (misal yang membawa pengaruh buruk), remaja dengan harga diri tinggi tahu cara yang wajar untuk melakukannya. Tidak membuat dirinya resah dan orang lain tidak nyaman.

- Bicara tanpa ragu dan lancar
Perasaan tidak nyaman, membuat otak berpikir (korteks) kurang bekerja optimal. Hal ini tampil pada bagaimana seseorang berbicara dan mengungkapkan pikirannya melalui bahasa.

- Bersedia belajar dari kesalahan-kesalahannya
Keterbukaan untuk memperbaiki diri, didasari oleh pemahaman atas keterbatasan dan dorongan untuk meningkatkan diri.

Poin-poin di atas dapat membantu kita para orangtua dan guru untuk memahami remaja. Hal-hal apa yang masih perlu diatasi dan apa yang dapat kita lakukan untuk membantu remaja mengembangkan dirinya dan memasuki level perkembangan berikutnya (dewasa muda) dengan kesiapan yang lebih baik.

*Sumber: Understanding and Mentoring the Hurt Teenager, Diana Lea Baranovich (terjemahan dengan tambahan penjelasan)

Yeti Widiati 77-111017

Kamis, 05 Oktober 2017

PERTENGKARAN DALAM DIRI - yws
(Konteks bahasan Ego State, Innerchild, dan fungsinya dalam penyelesaian masalah)

"Kamu nggak boleh gitu, itu dosa lho ...!"
"Tapi nggak bisa, masa aku seenaknya aja diejek dan dibikin malu di depan orang banyak ..."
"Iya sih, tapi kamu juga yang salah, kan. Kamu yang bikin dia jadi marah ..."
"Habisnya dia nyebelin sih ..."
"Udah ... udah ah ... aku pusing ... aku nggak mau lagi dengar kata-kata ini ... aku mau tiduran aja ..."
"Eh, tapi kalau tiduran, masalahnya nggak selesai lho ... "
"Biariiiiin ....."

Percayakah kita bahwa "dialog" di atas itu dilakukan oleh diri kita sendiri? Di dalam kepala kita sendiri? Mereka yang menyadari, menghayati dan bahkan sering mengalami hal ini, tentunya bisa segera merasakannya.

Sesungguhnya setiap hari kita melakukan percakapan semacam ini dalam pikiran kita. Saat kita sedih, saat kita marah, takut, dan bahkan saat kita sedang memecahkan masalah dan ingin mengambil keputusan. Seolah kita berada di situasi rapat/pertemuan yang riuh dan semuanya ingin didengarkan pendapatnya.

Dalam bahasan Teori Ego State, maka setiap "suara" tersebut mewakili sebuah state. Setiap state memiliki masa 'kelahiran', biasanya terkait dengan suatu peristiwa tertentu. Untuk mempermudah saya akan memberi nama state tersebut dengan nama sifat. Misalnya, state marah muncul saat kita pertama kali merasa marah.

Biasanya pengalaman pertama itu terjadi di masa kita kecil. Saat mainan kita direbut saudara kita, lalu kita mulai melawan, maka pada saat itu ada state marah dan juga state melawan yang terbentuk. Di kesempatan lain, kita kesal kepada ibu kita yang menyuruh belajar padahal kita masih ingin main. Maka juga terbentuk state kesal pertama kali. Ketika kita (saat kanak-kanak) kasihan melihat kucing kedinginan karena tersiram air, lalu kita mengeringkannya dengan handuk dan menyelimutinya dengan selimut, maka terbentuk pula state kasihan dan state menyayangi.

Demikianlah kita memiliki banyak state yang terbentuk dari pengalaman hidup kita. Ada state yang tersembunyi, karena jarang digunakan. Namun ada juga state yang sering muncul karena terus-menerus terpicu oleh stimulus di lingkungannya.

Ego state-ego state ini ada yang bersifat netral, ada yang mengganggu namun juga ada yang mendukung diri kita. Semuanya bergantung pada seberapa dominan state tersebut menguasai diri kita.

Masalah terjadi ketika seseorang memunculkan state yang kurang tepat pada suatu situasi. Misalnya, ketika seorang ibu melihat anaknya menjatuhkan vas kesayangannya. State yang muncul adalah state si ibu ketika dulu kecil melihat mainannya dirusak temannya. Dulu ketika si ibu masih anak-anak dan mainannya dirusak teman, ia pun marah dan mengamuk. Tanpa disadari state marah dan mengamuk ini yang muncul kembali, terpicu ketika anaknya menjatuhkan vas kesayangannya. Padahal perilaku anak menjatuhkan vas sangat berbeda dengan perilaku teman merusak mainannya.

Kadang kita perlu membentuk state baru yang tidak kita miliki. Caranya salah satunya adalah dengan mengajari diri kita mencontoh orang lain yang sudah memiliki state ini. Kita juga bisa memperkuat state yang sudah ada yang rupanya selama ini tidak termanfaatkan dengan baik. Misalnya, seorang remaja yang kesulitan untuk peduli pada orang lain, karena selama ini di keluarga dan lingkungannya, ia selalu dibully. Sehingga ia "tidak" memiliki state kepedulian selain merendahkan orang yang memiliki kekurangan.

Ego state yang muncul di masa kecil saat kita kanak-kanak, sekarang dipopulerkan dengan istilah "innerchild". Dengan membaca ulasan di atas, kita jadi bisa memahami bahwa innerchild tidak selalu berkait dengan kelemahan, penderitaan atau hal-hal negatif. Innerchild juga bisa berupa state yang fun, kreatif, curious, senang belajar, aktif dan ragam khas sifat alamiah anak lainnya. Semuanya bisa kita manfaatkan dengan efektif.

Mereka yang pernah menonton film "Inside Out" mungkin bisa lebih mudah memahami mengenai state ini. Dalam film tsb, 5 karakter kartun itu mewakili state yang dikaitkan dengan emosi. Dalam kenyataannya, tentunya tidak sesederhana itu. State marah tidak hanya satu namun bisa sangat beragam. Sangat marah, kesal, ngambek, agresi, dll. adalah beberapa bentuk state berkait emosi marah.

Ah sudahlah, kita tidak perlu memperumit diri dengan itu ya. Biar para ahli psikologi saja yang mengulik dan mengutak-atik hal tersebut. Yang lebih kita butuhkan adalah bagaimana kita lebih memahami diri dan kemudian memanfaatkan pengetahuan ini untuk membuat diri kita lebih baik.

Jadi, intinya ada banyak state dalam diri yang perlu kita dengarkan dan kita damaikan. Tak jauh berbeda dengan bagaimana kita hidup berinteraksi sosial. Mereka yang terlatih menghadapi ragam orang dengan segala macam sifatnya seringkali pengelolaan dirinya terinspirasi dari hal itu.

Anak-anak adalah contoh terbaik bagaimana mereka mendamaikan state-nya sendiri melalui cara konkrit yaitu bermain "pura-pura". Ketika mereka bercakap-cakap dan menjejerkan mainannya. Menghibur bonekanya yang "sakit", menasihati kucing yang tidak mau menurut, dsb.

Mekanisme penyelesaian masalah alamiah ini biasanya menurun dengan bertambahnya usianya. Seringkali karena lingkungan kurang mendukung hal tersebut, dengan mengomentari negatif, menertawakan atau menganggap permainan tersebut terlalu childish (kekanak-kanakan).

Remaja (dulu) menggunakan diary-nya sebagai ganti permainan pura-pura. Dia bercerita tentang ragam perasaan dan pikirannya di dalam diary tersebut. Mereka marah kalau sampai ada orang lain yang membaca diary-nya. Karena ini merupakan rahasia besar dirinya.

Orang dewasa menggunakan cara curhat. Baik kepada teman, kepada diri sendiri maupun yang lebih religius kepada Tuhan, dalam doa-doa kesendiriannya. Cara curhat sebetulnya adalah cara yang baik, bila dimaksudkan untuk mencari penyelesaian masalah. Namun cara ini kontraproduktif bila dilakukan terbuka kepada banyak orang (melalui medsos) sehingga hanya menjadi ajang "pamer masalah", dan tidak menjadi insight dan inspirasi dalam penyelesaian masalah.

Dalam ruang-ruang terapi, maka terapis mengajak klien untuk mengenali ragam ego state yang berkait dengan masalahnya. Mengidentifikasi, mendengarkan keinginan, mempertemukan kebutuhan dan bila tidak memungkinkan memenuhi kebutuhannya, maka accept dan forgive adalah cara yang lebih ditawarkan. Tidak selalu mudah untuk mengakui dan menerima kehadiran state-state ini. Terutama yang dinilai negatif oleh diri kita. Apalagi ketika state ngeles dan defensif juga ikut meramaikan.

Sangat beruntung bila state senang belajar dan berusaha tetap dominan dan terpelihara, sehingga semua proses ini, se-menantang apa pun akan dilihat sebagai cara untuk meningkatkan kualitas diri.

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS 2:286)

Yeti Widiati 76-051017

Senin, 25 September 2017

FIGHT - FLIGHT - FREEZE - FORGIVE - yws

Fight and Flight adalah reaksi spontan yang muncul saat seseorang mempersepsi dan menghayati datangnya ancaman. Fight and Flight muncul "begitu saja" tanpa disadari. Hal ini karena prosesnya dikelola oleh Batang Otak yang memang berfungsi untuk memunculkan refleks perlindungan diri.

Fight adalah usaha perlawanan terhadap stimulus yang mengancam. Pada anak, bentuknya bisa memukul, menendang, merusak, ngambek, dlsb. Reaksi spontan fight ini muncul ketika seseorang, menghayati masih memiliki kemampuan atau kekuatan untuk melawan. Emosi yang menyertai umumnya adalah emosi marah.

Sementara Flight adalah reaksi spontan melarikan diri dari stimulus yang dipersepsi mengancam tersebut. Pada anak, bentuknya menarik diri, menghindar, dlsb. Biasanya hal ini dilakukan, ketika ybs, menghayati ketidak-mampuan untuk melawan stimulus yang mengancam tersebut. Emosi yang menyertai adalah emosi takut.

Baik Fight maupun Flight, keduanya adalah respon alamiah spontan dan wajar. Keduanya dimaksudkan untuk perlindungan diri dari kehancuran. Tak ada satu lebih baik dari lainnya. Keduanya hanya memberikan informasi mengenai apa yang dihayati oleh seseorang menghadapi stimulus tersebut.

Setelah Fight dan Flight, maka ada Freeze. Kapan freeze itu muncul? Freeze adalah kondisi ketidak-berdayaan seseorang untuk melakukan upaya baik melawan atau melarikan diri. Mungkinkah itu terjadi? Sangat mungkin. Tidak semua orang bisa dan berani melarikan diri. Bahkan untuk melarikan diri pun seseorang membutuhkan keberanian untuk menerima konsekuensinya.

Saya akan mengambil contoh konkrit sederhana yang sangat banyak terjadi pada kasus-kasus anak memperllihatkan reaksi freeze.
- Ketika seorang anak kelas 2 SD dipukul temannya kelas 4 SD yang badannya lebih besar, lebih kuat, dan lebih tinggi. Dia tidak berani melawan. Pulang ke rumah, dia melaporkan pada orangtuanya bahwa dia dipukul temannya dan berharap memperoleh perlindungan dari orangtuanya. Ternyata mendengar cerita anak, orangtuanya pun marah dan menyuruh anak membalas pukulan temannya tersebut (sebetulnya, siapa sih yang merasa terpukul?). Padahal, sudah jelas anak dalam kondisi menghayati ketidakmampuan. Buat orangtua (yang badannya lebih besar lagi), apa sih susahnya melawan anak kelas 4 SD?

Sungguh, orangtua tidak berempati pada ketidak-mampuan anaknya, ketika menuntut anak melawan, tapi tidak membimbing anak untuk menjadi mampu menghadapi konsekuensi dari pilihan perilaku yang diambil.

Di titik ini, anak berada dalam situasi terjepit antara tekanan temannya di sekolah dan tekanan orangtuanya di rumah. Ia tidak bisa melawan kedua-duanya, dan juga tidak bisa melarikan diri. Ia menjadi freeze. Malas sekolah, kehilangan semangat belajar, cemas setiap akan berangkat ke sekolah, sakit perut, lemas dan pusing ketika akan ke sekolah, dsb.

- Orangtua yang hobby menuntut, mengkritik, menilai, labelling, membandingkan, melakukan kekerasan fisik semuanya akan dipersepsi sebagai ancaman yang merendahkan dan bahkan menghancurkan diri anak. Anak dengan segala keterbatasan fisik, emosi dan kognitifnya, tak bisa melawan (Fight) itu semua namun tetap menghayati ketidak-nyamanannya. Mungkin ia pernah mencoba melakukan aksi perlawanan, tantrum, ngambek, dll. tapi ternyata orangtua lebih kuat dan ia menyerah. Anak juga umumnya tak berani melarikan diri (flight) (kalau pun ada, sangat kecil jumlahnya). Bila ia melarikan diri, maka ia akan kehilangan perlindungan dan tempat bergantung. Padahal ia dengan segala keterbatasannya masih membutuhkan itu semua.

Maka, antara rasa tidak nyaman menghadapi tekanan dan takut untuk melarikan diri, reaksi yang terjadi adalah freeze. Anak-anak dalam kondisi freeze, kehilangan kemampuan fokus, daya ingat, sering bengong, kecemasan tinggi dan berpengaruh pada fisik, maag, sesak nafas, dan gejala kecemasan lainnya kerap muncul. Gesture dan ekspresi lainnya pun tampil berbeda dibanding anak-anak yang tumbuh sehat fisik dan psikis. Di sini kerja Limbik (otak yang mengatur emosi) pun menjadi dominan.

Pola freeze yang berulang akan juga muncul pada saat anak bertambah usianya bila tidak ada proses koreksi. Bisa muncul dalam kondisi groggy atau tiba-tiba kehilangan kata dan daya ingat pada suatu situasi tertentu. Kecenderungan menghindari situasi yang tidak nyaman juga adalah salah satu bentuk menghindari reaksi freeze.

Sebetulnya semua reaksi di atas, fight, flight dan freeze adalah reaksi wajar. Mereka menjadi kurang wajar dan menjadi masalah apabila reaksi tersebut dilakukan berulang tanpa upaya pengolahan yang lebih rasional dan juga menimbulkan rasa tidak nyaman pada diri dan mengakibatkan konflik dengan orang lain. Ya, bayangkan saja ketika orang kerjaannya membantah melulu (karena merasa diserang saat diberi masukan), maka orang lain pun akan menjadi kesal. Atau sebaliknya, orang menghindar terus saat dihadapkan pada situasi menantang, itu juga membuat menjadi kurang efektif. Termasuk selalu blocking saat bicara di hadapan orang banyak pun juga menjadi mengganggu.

Karenanya dibutuhkan proses yang lebih panjang, yang tidak cukup hanya berhenti pada refleks batang otak dan juga emosi dari otak limbik. Otak korteks yang bekerja mengolah informasi perlu ditingkatkan sehingga pemecahan masalah dan pengambilan keputusan didasari oleh alasan-alasan yang lebih logis dan rasional.

Forgiveness adalah proses panjang yang melibatkan otak korteks. Proses forgiveness itu challenging pada sebagian besar orang (termasuk diri saya). Mulai dari tahapan menyadari dan menerima pikiran, perasaan dan keinginan diri. Melepaskan diri dan berjarak dengan emosi hingga melakukan proses acceptance yang di dalamnya juga ada reframming dan meaning baru terhadap situasi yang dihadapi, yang awalnya dipersepsi sebagai ancaman. Bahkan forgiveness yang berujung pada memberi dan mengasihi situasi atau orang yang menyakiti itu adalah kemuliaan.

Agama (manapun) mengajarkan pemaafan dan kasih sayang. Ternyata prosesnya sungguh panjang untuk sampai ke sana. Dalam kondisi kita terseok-seok menata diri dan mengelola emosi, kita pun dihadapkan pada tanggung jawab untuk mengajari anak kita bisa mengelola emosinya.

Saya melihat, kehadiran anak-anak kita dengan dinamika emosinya yang genuine juga adalah pembelajaran bagi kita sendiri sebagai orang dewasa.

"Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (QS 42: 39-43)

Yeti Widiati 75-250917

Senin, 11 September 2017

TENTANG "JATUH" BERULANG DAN PENGARUHNYA PADA PERKEMBANGAN ANAK - yws

Pagi ini saya membuat status singkat tentang "jatuh". Ragam respon menunjukkan pengalaman yang berbeda antara satu orang dengan lainnya. Dan semua itu sah-sah saja, karena setiap orang memang memiliki karakteristik, persepsi (yang terbentuk dari pengalaman) dan pengalaman itu sendiri. Di dalam pengalaman itu terkandung juga pola asuh yang selama ini telah diterima dari orangtua masing-masing dan bagaimana kita memaknainya.

Ketika kita jatuh (satu kali), ada beberapa kemungkinan penyebabnya;
1. Karena kaki kita masih BELUM KUAT. Dalam perkembangan, ini kita kaitkan dengan kematangan. Seorang anak yang belum matang, maka ia belum siap untuk menerima tantangan di atas kemampuannya.

2. Karena kita belum tahu TEKNIK jalan yang benar. Ini berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan. Semakin kuat tubuh kita dan semakin sering belajar, maka sejauh tingkat kesulitannya sesuai dengan kemampuan kita, maka kita akan bisa menguasainya.

3. Karena jalan yang memang terlalu SULIT, di atas kemampuan kita. Maka kita perlu mencari jalan dan tantangan lain yang lebih sesuai dengan kemampuan kita.

4. Karena kita MERASA LEMAH, sehingga kita kehilangan energi mental, merasa tak mampu, merasa medan terlalu sulit dan tak bersemangat untuk belajar lagi.

Bahasan "jatuh" ini berbeda antara anak dengan orang dewasa. Karena pada anak, kelemahan obyektif no. 1, 2 dan 3 adalah yang paling sering terjadi, sehingga bantuan konkrit dan dukungan psikologis akan dibutuhkan secara seimbang. Sementara pada orang dewasa, no. 4 yang jauh lebih banyak.

"Merasa lemah" akan membentuk konsep diri seseorang, yang membuat ia membatasi dirinya untuk tidak melakukan apapun. Konsep ini terbentuk dari pengalaman kegagalan yang berulang. Awalnya kegagalan itu bersifat obyektif, namun kemudian bergeser menjadi subyektif, ketika ybs, meyakini bahwa ia memang benar-benar tidak mampu dan pasti gagal pada area tersebut. Konsep itu semakin kuat ketika ada orang yang memiliki otoritas (orangtua, guru, teman, ahli, dll) yang melakukan judging bahwa ia memang lemah pada area tersebut. Maka label tersebut seolah dikonfirmasi oleh orang-orang di sekitarnya, dan ia meyakininya dengan baik.

Carol Dweck dalam buku "Mindset" dan dalam banyak seminarnya, berulang menekankan bahayanya judging (fix mindset), dan ia lebih mem-promote 'growth mindset' yaitu apresiasi pada proses. Oleh karena itu alih-alih, berkata, "Kamu ini lemah", ia lebih mendorong orang untuk mengatakan "Bagus sekali kamu sudah berusaha".

Dalam bahasan Solution Focused Therapy dan Neurosains pun demikian. Semakin terlihat, judging buruk akan dipersepsi sebagai ancaman, sehingga otak reptil yang aktif dan bereaksi mempertahankan diri dan bukannya otak kognitif yang bekerja untuk berpikir positif mencari ragam alternaif penyelesaian.

Balik lagi ke jatuh berulang. Bila hal ini terjadi pada anak kecil dengan segala keterbatasannya, maka semangat belajar yang awalnya dimiliki akan hilang, ketika;
- anak benar-benar merasa helpless, tidak berdaya dan tidak terbantu untuk mengatasi kesulitannya.
- lebih buruk lagi, bila orang dewasa di sekitarnya memberikan sikap dan komen kontraproduktif, mencaci ("Kamu ini susah banget diajarin"), menertawakan ("Masa gitu aja gak bisa"), judging ("Emang bodoh sih"), langsung membantu ("Udah sini sama bunda aja"), membandingkan ("Si anu bisa, masa kamu nggak bisa"), mengabaikan kemampuan ("Kamu harus bisa"), membiarkan dan tidak peduli apakah anak bisa atau tidak.

"Jatuh" pada orang dewasa, seperti disampaikan di atas, lebih banyak mengikuti karakteristik No. 4. Mengapa demikian? Orang dewasa bisa mencapai usia puluhan tahun berarti mereka sudah melalui banyak keberhasilan dalam hidupnya dan juga sudah memiliki pola bagaimana membuat dirinya berhasil. Sehingga bila ia tidak bisa kebanyakan adalah karena "MERASA" tidak bisa.
- Ketika orang dewasa menghadapi kesulitan, mereka bisa mengacu pada keberhasilan-keberhasilan yang pernah dilalui dalam hidupnya. Dari sekian banyak kegagalan, pasti ada keberhasilan yang pernah kita alami. Ini lah yang disebut dengan EXCEPTION, atau perkecualian. Kita belajar dari perkecualian tersebut, apa yang membuat hal itu terjadi, dan bagaimana kita mengulanginya.
- Orang dewasa juga sudah memiliki tujuan jangka panjang yang bisa dicapai secara bertahap. Berbeda dengan anak yang tujuannya hanya berjangka pendek.
- Orang dewasa sudah memiliki trick atau strategi menghadapi kesulitan, kegagalan dan menyusun rencana keberhasilan. Sehingga sebetulnya rumus-rumus penyelesaian itu sudah dimiliki. Ketika emosi dan lupa, tinggal diingatkan saja. Hehe ... gampang bener rumusnya. Melakukannya perlu "jungkir balik".

Oleh karena itu pendekatan bantuan pada orang dewasa adalah lebih sesuai menggunakan yang membuat mereka aktif mencari dan menggali sendiri. Orang dewasa kurang sesuai bila diajari seperti anak yang belum paham sama sekali. Apalagi disuapi dan diberi tahu terus-menerus.

Pada orang dewasa, judging dilakukan lebih banyak oleh diri sendiri. Sekalipun dilakukan oleh orang lain di sekitarnya, tokh kita sebagai orang dewasa memiliki otoritas paling besar untuk memutuskan sampai seberapa jauh pengaruh masa lalu, pengalaman dan omongan orang lain itu mempengaruhi diri kita dan keputusan-keputusan kita memperbaiki diri.

Sebagai orang dewasa, diri kita lah yang paling bertanggung jawab atas kesembuhan dan perkembangan diri kita sendiri. Jadi MULAI SEKARANG kita berpikir, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki diri sendiri.

Yeti Widiati 74-100917

Sabtu, 09 September 2017

EMOSI, PESAN DAN PENGARUHNYA DALAM PERKEMBANGAN ANAK - yws

Sebetulnya istilah emosi positif dan emosi negatif itu kurang tepat, karena emosi pada dasarnya bersifat netral dan memiliki pesan/tujuan yang baik bagi manusia. Namun kadang saya menggunakan istilah emosi 'positif' atau 'negatif' (dengan menggunakan tanda kutip), lebih kepada menunjukkan pengaruhnya kepada diri kita.

Ketika kita berbicara mengenai efek emosi, maka efeknya inilah yang bervariasi. Karena emosi berkait dengan tubuh, pikiran dan perilaku, maka menjadi sangat penting bagi kita untuk memahami mengenai dinamika emosi, sehingga bisa kita manfaatkan optimal untuk perkembangan anak kita, dan juga untuk diri kita sendiri.

Emosi itu seperti warna, ada emosi dasar, dan ada emosi turunannya. Menurut Paul Ekman, ada 6 emosi dasar;
- Happy (BAHAGIA),
- Excited (BERSEMANGAT),
- Tender (SAYANG),
- Scared (TAKUT),
- Angry (MARAH),
- Sad (SEDIH),

yang kemudian dari sini diturunkan menjadi puluhan jenis emosi lainnya yang bisa merupakan kombinasi dari emosi dasar.

Sulitnya dalam bahasa Indonesia (yang berasal dari bahasa Melayu), ternyata perbendaharaan kata untuk jenis emosi tidaklah cukup memadai. Kita bukan masyarakat yang artikulatif untuk menjelaskan emosi dengan terbuka. Saya kerap menemukan klien remaja dan dewasa yang kesulitan untuk menjelaskan emosinya. Hal ini lebih jauh juga berpeluang menimbulkan masalah karena emosi yang ditekan.

Sebetulnya masyarakat kita bukan tidak bisa sama sekali "menggambarkan" perasaan atau emosi. Budaya kita mengekspresikan emosi lebih banyak menggunakan metafora. "Sakitnya seperti diiris sembilu", "Rasanya lega seperti menghirup udara segar", "Terkejut seperti disambar geledek", dlsb, adalah beberapa contoh penggunaan metafora yang umum.

Sayangnya tidak semua orang mudah mengekspresikan emosi dengan kata atau metafora, dan sebaliknya tidak semua orang memahami metafora dan tidak selalu siap menerima ekspresi emosi yang disampaikan dengan lugas. Kalimat, "Saya marah ..." itu seringkali mengejutkan dan dihindari bahkan dihalangi oleh sebagian orang.

Emosi adalah sesuatu yang bersifat privat, berkait fisik, dan dipengaruhi oleh pikiran (beliefs) dan kemunculan emosi ini tidak disadari dan tidak bisa ditahan. Ketika menghadapi sesuatu yang menyeramkan, orang langsung ketakutan dan ia tidak bisa menghalangi kulitnya yang tiba-tiba memucat. Ketika merasa malu, orang juga tidak bisa menghalangi mukanya memerah. Termasuk orang tidak bisa menghalangi ketika marah, otot-ototnya menjadi tegang.

Itu mengapa saya pernah mengatakan bahwa bila seorang anak emosi, maka ia tidak layak dihukum, karena emosi itu adalah respon privat spontannya terhadap suatu stimulus. Lebih penting bagi kita adalah menangkap 'pesan' emosi tersebut dan kemudian tindakan kita selanjutnya adalah berdasarkan pesan emosi yang ditangkap tsb.

Emosi marah dan takut (termasuk cemas) adalah emosi yang mempengaruhi otak reptil (brainstem). Reaksi khas dari brainstem adalah;
- Fight (melawan), yang bisa muncul dalam ragam ekspresi/bentuk perilaku agresi, menghancurkan, melanggar aturan, mengamuk, berkata kasar, dll.
- Flight (melarikan diri), muncul dalam bentuk kabur, tidak mau melakukan apapun, tidak mau bicara, tidak mau makan, dll.
- Freeze (diam), bisa muncul dalam bentuk, bingung, salah tingkah, lupa, dll.

Kerja brainstem yang begitu dominan akan membuat kerja limbik (otak emosi) terpengaruh dan otak korteks (otak berpikir) menjadi tidak optimal.

Maka tidak heran, anak-anak yang mengalami kejadian yang sangat luar biasa (trauma, bencana, kecelakaan) dan/atau kejadian luar biasa yang berlangsung terus-menerus sepanjang masa kanak-kanaknya (KDRT, bullying, pola asuh otoriter, labelling negatif, dll), menjadi mudah lupa dan sulit berpikir, kaku serta mengembangkan prasangka-prasangka negatif. Biasanya tampil dalam prestasi akademik yang tak sesuai dengan potensinya. Kondisi ini terjadi karena otaknya berfokus pada ancaman dan sibuk bekerja lebih keras untuk bereaksi pada ancaman tersebut dalam rangka untuk melindungi dirinya dari 'kehancuran".

Fungsi kognitif antara lain daya tangkap, wawasan, pemahaman, logika, kreativitas, analisa/sintesa, pemecahan masalah, kecuali memori, dikelola lebih banyak oleh otak korteks yang bekerja lebih baik saat brainstem tidak bekerja terlalu keras, dan limbik "mengeluarkan" emosi yang tepat.

Semoga sekarang bisa lebih terlihat kaitannya mengapa disarankan kita tidak melakukan labelling negatif pada anak. Tak ada seorang pun yang suka disebut "Si Bodoh", "Si Bandel", "Si Pemalas". Sebutan-sebutan buruk seperti itu akan mengaktifkan brainstem, mendorong orang untuk melakukan respon pertahanan diri (fight, flight, freeze respons).

Bila kita berharap anak atau siswa kita belajar dengan kemampuan terbaiknya, cara yang lebih logis dan paling mendukung untuk otak korteks bekerja optimal adalah dengan membuat anak senang, penasaran, berani dan bersemangat belajar.

Apakah emosi marah, takut, sedih itu perlu selalu dihindari? Tidak, bahkan perlu dihadapi. Semua emosi perlu berkembang seimbang dan proporsional dan kita tahu bagaimana mengekspresikannya dengan cara yang tepat/adaptif. Nah, ukuran-ukurannya ini yang bersifat subyektif dan berbeda pada setiap orang.

Marah membuat kita mau mempertahankan diri.
Takut dan cemas itu untuk pemahaman mengenai keterbatasan diri.
Sedih membuat kita memahami bahwa kita memiliki harapan, keinginan dan kebergantungan.
Senang membuat kita tahu apa yang ingin kita capai.
Semangat dan berani membuat kita menyadari apa yang kita mampu.
Cinta membuat kita menyadari dorongan untuk care pada orang lain.
Dll.

Yeti Widiati 73-090917
RUMUS-RUMUS DALAM HIDUP - yws
(Konteks Perkembangan Anak)

Pernahkah mengalami, kita sudah mengajarkan satu rumus Matematika pada anak dan dia sudah paham. Tapi ketika diterapkan dalam soal cerita dia jadi bingung? Lalu kita menjelaskan lagi hingga dia paham bagaimana menerapkan rumus tersebut dalam soal itu, dan ketika soalnya diubah ia pun bingung lagi, seolah-olah rumus itu tak bisa digunakan?

Ternyata kesulitan penerapan rumus, itu bukan hanya dalam soal-soal cerita Matematika saja. Tapi juga dalam keseharian, dan saya termasuk yang lumayan sering mengalami. Bukan hanya pada anak, pada klien bahkan pada diri sendiri.

Contohnya misalnya, saya mengajarkan pada anak saya bahwa untuk mulai menjalin pertemanan, maka rumus awal yang digunakan adalah menggunakan prinsip "kesamaan". Cari yang sama dari teman tersebut, dan jadikan kesamaan itu sebagai titik masuk untuk berkenalan. Misal, "Oh ternyata temanku suka menggambar", maka ngobrol lah tentang menggambar, tentang obyek yang paling senang digambar, tentang tempat membeli alat gambar yang murah, dlsb.

Nah, ceritanya anak saya berhasil menggunakan rumus tersebut pada seorang temannya. Tapi ketika menghadapi temannya yang lain, yang kebetulan agak berjarak dari sisi minat, maka anak saya pun bingung kembali. Dan rumus itu pun buyar. Ketika saya ingatkan dengan rumus tersebut, ia pun berkata, "Oh cara itu bisa dipakai juga ya?"

Contoh dengan klien. Tak jarang saya memperoleh klien yang sangat cerdas. Pencapaian prestasinya pun luar biasa. "Rumus" berusaha, bersabar dan tidak berputus asa, sudah dimiliki. Dan sebetulnya ini merupakan resources baginya. Namun ketika menghadapi suatu masalah, ia tidak menyadari bahwa rumus tersebut bisa digunakan juga untuk menyelesaikan masalahnya.

Dengan pendekatan coaching, yaitu ketika klien dipandang sebagai "ahli" yang paling mengetahui masalahnya, seringkali setelah 'ngobrol', klien menemukan bahwa "penyelesaian masalah itu sebetulnya sudah ada pada dirinya sendiri".

Dan bahkan lupa rumus itu pun juga kadang terjadi pada diri saya sendiri. Diskusi dengan teman-teman adalah salah satu cara saya menemukan kembali "rumus" yang sebetulnya sudah saya ketahui, dan bahkan sudah kerap saya gunakan menyelesaikan masalah-masalah lannya.

Kalau sebetulnya semua masalah itu penyelesaiannya sudah ada pada diri kita sendiri, maka ketika kita punya masalah dan kita kesulitan menyelesaikannya, apakah itu menunjukkan hal buruk? Ya enggak juga lah (menurut saya).

Kita kan manusia tempatnya lupa. Kita juga memiliki keterbatasan cara pandang, yang membuat kita kadang luput dalam mengamati sesuatu. Dan memang, dalam kondisi sangat emosi, rasanya jalan menjadi sempit bahkan buntu.

Itulah mengapa kita membutuhkan teman yang bisa saling mengingatkan (paling enak dengan cara yang baik), karena kita kadang lupa rumus-rumus dalam kehidupan.

*The Solution is Always in the Room (Switch, Heath & Heath, 2010)
*"dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (Q.S. Al Ashr: 1-3 ).

Yeti Widiati 72-070917

Rabu, 06 September 2017

MENONTON ORANG MENONTON - yws

Aneh nggak judulnya? Serius ini beneran. Perkembangan era digital ini betul-betul membuat perkembangan perilaku manusia menjadi unik. Setiap ada fitur baru (benar nggak ya istilahnya) yang muncul, dalam beberapa waktu kemudian muncul pula kreativitas orang untuk mencari uang melalui fitur-fitur tersebut. Coba saja lihat, setelah ada internet, tak lama kemudian orang bisa membuat olshop, dan kemudian juga berkembang transportasi berbasis aplikasi.

FB, Instagram pun termanfaatkan dengan baik untuk menjual produk secara visual. Bahkan gosip, berita buruk, fitnah pun ternyata bisa dibisniskan.

Kemudian muncullah Youtube. Mulailah orang menonton video. Entah itu musik, iklan, film. Orang pun terdorong untuk membuat video sendiri sehingga muncul profesi baru yaitu Youtubers dengan vlog-nya. Ada yang membuat vlog kehidupan sehari-harinya, ada juga tema-tema vlog lainnya.

Curiosity terhadap hidup orang lain, terutama para seleb membuat vlog yang dibuat para seleb menjadi menarik untuk ditonton. Mereka yang bukan seleb perlu "bekerja" lebih keras untuk membuat vlog yang unik dan menarik, dan bahkan dalam banyak kondisi menjadi agak 'lebay'. Itu pilihan ketika orang berharap videonya ditonton dan berimbas pada pemasukan yang ia peroleh. Kita mungkin pernah mendengar vlogers yang mengumbar sumpah serapah, melakukan tindakan di luar batas kesopanan, atau tindakan lain yang extraordinary, semuanya dimaksudkan untuk mengumpulkan view dan like. Pastinya ada juga vlog yang baik. Misalnya, vlog tentang cara belajar di luar negeri, vlog tentang latihan musik, memasak, perkembangan anak, dll.

Belakangan (oke boleh jadi saya juga termasuk yang telat), beberapa tahun terakhir, muncul lagi aktivitas unik para youtubers. Mereka bukan hanya merekam dan menyajikan video ativitas keseharian mereka, tapi mereka juga menyajikan video saat mereka sedang menonton dan bereaksi terhadap video orang lain.

Awalnya saya merasa aneh dengan aktivitas ini. Timbul pertanyaan, "Kok ada ya orang yang mau menonton video yang isinya adalah orang sedang menonton video lain." Ini disebut video reaction. Bahkan ada juga reaction terhadap video reaction. Nah lho menonton pangkat 3 jadinya. Jadi isinya adalah orang yang sedang menonton orang yang sedang menonton video orang lain. Bingung kan. Yang bingungin juga adalah, kok saya ikut-ikutan menonton video reaction ini pula. Berarti saya termasuk orang yang menonton orang yang sedang menonton video .... mbulet ....

Banyak ragam style video reaction ini. Ada yang reaksinya berjingkrak-jingkrak, ada yang melalui melalui mimik wajah, ada yang sambil terus berbicara. Ada yang sendiri, berdua atau beramai-ramai. Ada yang membahas sepanjang video, ada yang baru membuat review dan berdiskusi setelah video selesai. Ada yang kita bisa memperoleh ilmu dari video reaction ini, tapi ada pula yang kita hanya memperoleh kehebohan dan kekonyolan.

Kita memang sudah masuk ke era visual pangkat 2 bahkan 3.

Yeti Widiati 71-040917

Sabtu, 02 September 2017

"MANA YANG LEBIH SERING KITA BERI MAKAN?" - yws

Guncangan ritmis KA Argo Parahyangan itu membuat trance. Sambil melihat sawah berganti kebun berganti rumah, berganti jalan berulang-ulang, pikiran saya pun melayang kembali ke hari ke-3 workshop SFT kemarin. Teringat sebuah kisah metafora Indian yang disampaikan Fredrike (trainer).

Ada dua ekor anjing. Yang satu galak dan satunya baik. Mereka tiap hari berkelahi. Anjing manakah yang akan menang? Tetua Indian yang ditanya, merenung sejenak sebelum menjawab, "Anjing yang menang adalah yang kamu beri makan paling banyak ..."


Kata-kata memiliki pengaruh luar biasa terhadap pikiran dan perasaan orang. Kata2 tajam membuat tak nyaman. Umpatan, serapah, label buruk, membuat orang kehilangan harga diri dan memicu emosi marah, takut, sedih, kecewa, dsb.

Sebaliknya kata2 dukungan dan pujian menumbuhkan perasaan berharga, semangat, bangga, terdukung, kepercayaan diri, dll yang membuat orang mau bergerak dan berusaha dengan semangat dan rasa senang.

Dalam keseharian kita akan mendengar ragam kata dari kedua kelompok yang berseberangan tersebut. Kelompok kata mana yang akan paling berpengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku kita?

Saya mengikuti jawaban seperti jawaban Tetua Indian tadi, sehingga yang paling berpengaruh adalah kelompok kata yang PALING SERING kita dengar, kita ucapkan, kita akses, kita share (atau copas). Sengaja ataupun tidak.

Dalam pendekatan SFT, maka hal awal untuk suatu perubahan yang lebih baik, salah satunya adalah dengan mengubah pilihan kata menjadi kata-kata positif.

Rasanya MUDAH bukan? Kita sudah punya kok perbendaharaan kata2 positif. Tinggal meng-amplify-nya saja. Memperbanyak dan mempersering mendengar serta mengucapkannya. Setelah itu kita menunggu keajaibannya dari hati kita yang lebih senang, perilaku anak yang lebih manis, atau bahkan orang2 yang lebih ramah.

Insya Allah ...

Yeti Widiati 67-240817

*SFT : Solution Focused Therapy

Jumat, 01 September 2017

MENGAJAK BAYI/BALITA SAAT SHOLAT IED - yws

Dalam beberapa riwayat, diceritakan bagaimana Rasulullah mempercepat sholat ketika ada bayi yang menangis. Riwayat yang lain juga menceritakan bagaimana sholat sambil menggendong bayi/balita. Karena riwayat-riwayat itu cukup jelas, maka pada awalnya tak terlintas dalam pikiran saya untuk membahas mengenai hal ini. Saya rasa para orangtua bisa merujuk pada riwayat-riwayat tersebut mengenai bagaimana teknis sholat bersama bayi/balita.

Namun, saya merasa hal ini menjadi penting untuk dibahas (better late than never), ketika saya melihat banyak sekali para ibu muda kebingungan menghadapi bayi dan balitanya yang menangis saat sholat jamaah. Terutama sholat Ied di lapangan. Dan hebohnya adalah karena tangisan bayi itu "menular". Seorang balita yang anteng duduk di samping ibunya, sontak bisa ikut menangis ketika mendengar suara balita sebayanya menangis. Tak pelak konser tangisan membuat para ibu bingung, dan para bapak hilang fokus.

Sama seperti menghadapi situasi baru apa pun, maka kita sebagai orangtua perlu melakukan persiapan. Tidak "ujug-ujug" membawa atau mengenalkan pada situasi baru tanpa persiapan terlebih dahulu. Siapa pun termasuk kita yang dewasa (apalagi bayi dan balita), biasanya akan sedikit tegang dan cemas bila menghadapi situasi yang sama sekali baru.

Apa yang perlu kita persiapkan?
- Mengenalkan situasi secara bertahap
- Antisipasi masalah
- Mengatasi situasi tak terduga
- Penguatan
- Pembiasaan

Saya uraikan semuanya sekaligus. Teknik ini juga bisa digunakan dalam situasi lain yang baru pertama kali dimasuki, misalnya, berbelanja di pasar, masuk sekolah, datang ke acara resmi/undangan, ke dokter, dan situasi baru lainnya, terutama yang memiliki aturan agak ketat.

Bayi dan balita itu berbeda pendekatannya. Bayi sampai usia 1 atau 2 tahun sepenuhnya bergantung pada orang dewasa. Maka kita yang mengikuti keinginan anak. Sementara balita mulai usia 2 tahun, sudah bisa diajak berbicara dan dijelaskan secara sederhana apa situasi yang akan dihadapi, dan perilaku apa yang diharapkan darinya.

Saat anak saya bayi, sebelum shalat saya biasanya akan bicara pada bayi saya, terlepas dari dia paham atau tidak, "Dek, Mama mau shalat dulu. Adek bobo/duduk di sini dulu ya."

Saya letakkan bayi saya di samping sajadah (dengan alas tentunya) ketika saya sholat. Diletakkan sedemikian rupa sehingga bayi bisa melihat saya yang sedang shalat. Bila sudah bisa berguling atau merangkak, maka lingkungan sekitar harus dijaga sedemikian rupa, sehingga tetap aman bagi bayi.

Bila menangis, maka saya akan menggendongnya sambil tetap shalat. Saya tidak akan membatalkan shalat saya saat bayi menangis. Bila saya membatalkannya, maka anak kita tahu, bahwa ia bisa mengganggu orangtuanya dengan tangisan dan akan menggunakan "senjata" tersebut di lain kesempatan.

Bila kita akan mengajak anak shalat berjamaah di masjid, maka lakukan pembiasaan berjamaah di rumah terlebih dahulu.

Sebelum membawa anak shalat berjamaah di masjid atau di lapangan. Maka biasanya saya akan berkata, "Dek, kita mau sholat di lapangan. Nanti banyak orang di sana, dan Mama shalat sama-sama orang lain. Adek boleh ikut shalat boleh juga duduk dekat Mama. Mama nggak akan ngomong sama adek sampai Mama selesai sholat, bilang Assalamu'alaikum ke kiri dan kanan. Kalau nanti pas Mama sholat, ada anak lain yang nangis, adek nggak usah ikut nangis. Adek tunggu saja dekat-dekat Mama ya.
*)catatan: anak yang sudah terbiasa diajak sholat di rumah, akan bisa mengantisipasi dan tahu berapa lama dia harus menunggu dibanding anak yang tidak terbiasa diajak sholat.

Untuk mengantisipasi, biasanya saya juga akan membawa mainan, susu dan makanan yang bisa dimanfaatkan saat anak menunggu saya selesai sholat.

Lakukan pembiasaan dengan tahapan, diawali
- shalat sunnah 2 rakaat,
- shalat wajib di rumah,
- shalat berjamaah di rumah,
- shalat berjamaah di masjid terutama shalat-shalat pendek, Shubuh dan Maghrib.
- Sehingga saat shalat di lapangan, situasinya relatif bisa tetap terkendali.

Dan selalu ingat dengan penguatan berupa pujian atas usaha anak bertahan menunggu kita shalat dari awal hingga akhir. Menangis atau pun tidak, tetap perlu kita beri pujian atas usahanya. Yang perlu diingat adalah, sedapat mungkin TIDAK membatalkan shalat saat anak menangis. Lakukan seperti yang diriwayatkan dalam beberapa hadits, gendong anak, tanpa berbicara.

Beberapa tahun terakhir, saya melihat situasi anak rewel saat shalat Ied dimanfaatkan dengan baik oleh tukang balon dan mainan anak. Daripada membelikan balon sebelum shalat Ied dan berpeluang terbang atau pecah yang membuat anak menjadi rewel, lebih baik menjadikan balon sebagai reward. Saya lebih suka anak memperoleh balon atau mainan bila shalat sudah selesai.

Baiklah, sekalipun shalat Ied sudah berakhir tadi pagi, tapi semoga cara ini bisa dimanfaatkan untuk shalat di rumah, di masjid dan shalat Ied di tahun-tahun yang akan datang.

*Jadikan pengalaman beribadah sebagai pengalaman yang menyenangkan bagi anak.

Yeti Widiati 010917

Jumat, 25 Agustus 2017

KEPATUHAN - yws

Pertanyaan yang paling banyak diajukan orangtua dalam mendidik anak adalah, "Bagaimana caranya agar anak mau mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya?" Diperkirakan ketidakpatuhan meliputi sepertiga masalah tingkah laku anak.


Kepatuhan didefinisikan sebagai melakukan sesuatu sesuai perintah orangtua.

Sesungguhnya, kebanyakan anak patuh pada pengarahan orangtua. Namun demikian, belajar melakukan sesuatu yang harus dikerjakan, baik suka ataupun tidak suka, tetap merupakan hal sulit.

Anak memang kadang tidak patuh pada aturan orangtua. Tingkah laku tidak patuh ini memuncak pada usia 2 tahun kemudian berkurang sedikit demi sedikit dan kembali menonjol pada usia remaja.

Sejumlah ketidakpatuhan yang wajar perlu dilihat sebagai ekspresi sehat dari perkembangan ego untuk mencari kemandirian dan kemampuan mengarahkan diri (self-direction). Jangan memandang penolakan anak sebagai tanda bahwa orangtua tidak kompeten atau bahwa anak dengan sengaja membuat marah dan mempermalukan orangtua. Memang ada anak, yang secara konsisten tidak patuh dan otomatis menolak permintaan atau perintah. Ketidakpatuhan disebut abnormal bila terjadi sangat sering, sangat kuat, atau 3 kali melewati periode waktu normal.


3 BENTUK UTAMA KETIDAKPATUHAN:
1. Tipe Passive Resistant,
Bentuk ini saat anak menunda melakukan hal yang diminta. Biasanya mereka mencibir, merengut, diam, menarik diri, mengeluh dan tidak bersemangat ketika menjalankan perintah/aturan.

2. Tipe Openly Defiant,
Anak melakukan penolakan secara terbuka dengan mengatakan "Saya tidak mau melakukannya". Anak tipe ini cenderung secara verbal menyakiti atau mengamuk (temper tantrum) untuk bertahan.

3. Tipe Spiteful
Terjadi bila anak melakukan hal sebaliknya dari yang diperintahkan. Contohnya, anak diminta diam tetapi malah berteriak dengan keras.

Jika ketidakpatuhan menjadi “cara hidup” anak, ia akan mengembangkan kebiasaan negativistik yaitu ia akan (sering) berseberangan dengan pendapat dan prinsip orang lain. Dia tidak sepakat dengan orang lain dalam segala hal tanpa dasar rasional atas ketidak setujuannya.


PENYEBAB KETIDAKPATUHAN

Beberapa alasan penyebab ketidakpatuhan adalah:
a. Disiplin Longgar
Orangtua permisif yang tak berani dan berusaha tidak mengatakan "tidak" pada anak.

b. Terlalu keras atau disiplin yang kaku
Orangtua secara berlebihan mengkritik, perfeksionistik, mengomel atau mendominasi.

c. Disiplin tidak konsisten
Orangtua yang kadang memaksakan aturan, namun di lain waktu mengabaikannya.

d. Orangtua berada dalam keadaan stress atau konflik
Salah satu atau kedua orangtua mengabaikan peran sebagai orangtua karena tuntutan pekerjaan, tidak berminat, masalah pribadi, perceraian, atau konflik perkawinan.

e. Anak kreatif
Anak kreatif atau yang berpendirian kuat cenderung tidak patuh dan bertingkah laku sesuai keinginannya sendiri.

f. Anak yang Marah dan kecewa
Anak yang marah atau kecewa pada salah satu anggota keluarga akan membuat masalah dengan bertindak tidak kooperatif.

g. Sikap Orangtua yang Berseberangan terhadap Otoritas
Sikap orangtua terhadap kekuasaan akan mempengaruhi kepatuhan anak. Jika orangtua sering mengkritik atau kurang menghargai hukum atau penegak hukum, maka anak akan meniru skema (pola perilaku) tersebut dan menjadi kurang hormat kepada orang dewasa.

h. Anak kurang cerdas
Semakin cerdas seorang anak semakin mungkin anak mematuhi aturan. Anak cerdas dapat mengantisipasi konsekuensi tindakan mereka, dan dapat menunda kepuasan segera untuk tujuan jangka panjang.

i. Anak dalam keadaan emosional
Anak cenderung kurang mau patuh ketika mereka lelah, sakit, lapar atau kesal.


MENCEGAH ANAK TIDAK PATUH
Kuncinya adalah membangkitkan sikap kerja sama pada anak dengan menghindari pola asuh otoriter dan permisif yang ekstrim. Lebih baik, berada di tengah-tengah (antara otoriter dan permisif). Ditunjukkan dengan sikap orangtua yang tidak ragu dalam menyusun aturan dan melakukannya dengan kombinasi cinta dan penalaran. Cara ini disebut Authoritative Parental Control. Tuntutan yang dibuat untuk anak diseimbangkan dengan kehangatan, alasan, penghargaan dan kepekaan/respon terhadap kebutuhan anak.

Ketika anak merasakan aturan namun dengan penuh cinta, maka kecenderungan mereka untuk memberontak akan berkurang. Perlu digaris bawahi, ketegasan tidak sama dengan dominasi (penguasaan). Target kepatuhan lebih pada ketegasan daripada dominasi.

a. Bangunlah Hubungan yang Erat
Jika orangtua dan anak saling menyukai dan akrab satu sama lain, maka anak akan semakin mudah menerima pengarahan orangtua. Sebab anak akan berusaha menyenangkan orangtuanya. Oleh karena itu luangkanlah waktu setiap hari untuk memberikan perhatian penuh dan kasih sayang pada anak.

b. Bersikap Responsif
Jika orangtua memenuhi permintaan anak, maka anak cenderung patuh pada permintaan orangtua. Ini adalah hukum resiprokal (timbal-balik), seperti, "Jika kamu menggaruk punggung saya maka saya akan menggaruk punggungmu."

Penelitian menunjukkan bahwa sikap patuh berkembang pesat pada masa bayi jika orangtua berespon cepat pada tangisan atau kebutuhan bayi. Orangtua yang tidak peka, lebih peduli pada keinginannya sendiri, mudah terpengaruh suasana hati dan sibuk, cenderung memiliki anak yang kurang patuh. Oleh karena itu semakin orangtua kooperatif dan sensitif terhadap kebutuhan dan tanda-tanda stress anak, semakin orangtua mengembangkan kepatuhan anak.


c. Hindari menjadi Diktator
Jangan memberi perintah jika dapat meminta. Hindari berperan sebagai diktator atau boss bagi anak. Cobalah meminta dan menyarankan daripada memberikan pengarahan langsung, anak akan lebih patuh dengan cara ini. Jika anak tidak punya pilihan selain patuh, berikan pengarahan dengan jelas dan langsung. Hindari membuat anak bingung.

Jika mungkin, berikanlah kesempatan pada anak untuk menyusun aturannya sendiri. Anak biasanya lebih suka patuh dengan cara ini. Tak perlu mengharapkan anak patuh setiap saat. Lebih baik orangtua memberikan anak “peringatan” atau waktu sebelum anak melaksanakan perintah, misalnya; "5 menit lagi waktu tidur". Biasanya dengan cara ini, anak akan lebih siap untuk patuh. Karena anak memiliki kesempatan untuk mempersiapkan dirinya. Oleh karena itu berikanlah waktu ekstra dan kesempatan beberapa menit untuk menyelesaikan permainan mereka sebelum waktu berakhir.

Juga, izinkanlah anak sedikit menggerutu ketika melaksanakan perintah yang tidak menyenangkan. Ini memberikan kesempatan anak melepaskan perasaan kesal dan ketegangan. Orangtua dapat membicarakan pentingnya peraturan tersebut setelah anak tidak kesal lagi.

Izinkan pernyatan perasaan seperti:
· "Saya benci mencuci piring"
· "Saya tidak suka membersihkan kamar"

Ini bukan pernyataan "Saya tidak akan." Ini adalah pernyataan perasaan anak. Anak berhak tidak menyukai sesuatu. Hormati perasaan anak dan bantulah anak mengekspresikannya secara tepat. Kita boleh berharap anak melakukan apa yang kita minta, tanpa perlu memaksa menyenanginya. Biasanya anak tetap akan menyelesaikan kewajibannya, meskipun sambil cemberut.

d. Memberikan Contoh
Jika orangtua memiliki sikap positif terhadap otoritas dan hukum, anak cenderung akan menghargai dan menghormati kekuasaan dan figur otoritas. Jika orangtua tidak mengikuti rambu lalu lintas, atau meremehkan polisi, anak juga cenderung mencontoh hal tersebut.

e. Menyusun Aturan
Setiap tuntutan merupakan aturan bagi anak. Anak tidak memiliki pilihan selain mematuhinya. Berapa pedoman dalam menyusun aturan adalah sebagai berikut:


·        Lihat Anak sebagai Individu (Sesuai usia, karakter dan keunikannya)
Orangtua selayaknya merupakan orang yang paling tepat untuk menyusun aturan yang dibutuhkan anak. Mereka dapat menyusun aturan yang sesuai dengan kepribadian, tingkat kematangan dan kondisi khusus anak. Meski aturan berlaku individual, namun demikian orangtua tetap harus memperhatikan aturan yang berlaku secara umum untuk anak seusianya.

·        Susun Aturan Secara Spesifik
Dalam menentukan aturan, yakinlah bahwa anak mengetahui secara tepat apa dan kapan hal itu harus dilakukan (batas waktunya). Hindari mengatakan, "Bersihkan kamarmu." Lebih baik mengatakan, "Gantung pakaian di kamarmu, bereskan tempat tidur dan taruh mainan di tempatnya." Anak juga harus mengetahui apakah ia melaksanakan aturan dengan benar. Contohnya, jika orangtua mengatakan,
"Kamu harus membuang sampah setiap sore sebelum makan malam." Ini berarti mengosongkan tempat sampah di dapur dan di kamar mandi.

·        Mengemukakan Alasan
Penelitian menunjukkan jika orangtua menerangkan alasan dari suatu aturan, maka anak akan lebih siap mematuhinya. Jangan meminta kepatuhan buta karena hal ini menghambat perkembangan penalaran moral anak. Jika alasan dari suatu tuntutan semakin jelas, termasuk kebutuhan atau hak orang lain, maka anak dan terutama remaja akan semakin patuh.
Anak juga akan lebih siap patuh pada aturan jika mereka memperoleh keuntungan dari aturan tersebut. Jika hanya orangtua atau orang dewasa lain yang memperoleh keuntungan dari aturan tersebut, anak menjadi kurang berminat untuk patuh.

·        Percayalah Bahwa Anak Kita adalah Anak yang Patuh
Ketika orangtua meminta anak melakukan sesuatu, bersungguh-sungguhlah dan percayalah bahwa anak akan patuh. Jangan bersikap skeptis dengan meragukan dan berprasangka buruk pada anak. Penelitian menunjukkan bahwa anak lebih sering patuh daripada tidak patuh pada orangtuanya, bahkan pada usia 2 tahun. Anak yang keras kepala pun sesungguhnya juga adalah anak baik yang ingin menyenangkan orangtuanya.

·        Membuat beberapa Tuntutan
Buatlah tuntutan sesuai dengan kebutuhan. Lebih baik memberikan 5 aturan yang dapat diingat dan dipatuhi 100 % daripada membuat 10 aturan yang hanya dapat dipatuhi 50%. Kebanyakan orangtua menyusun terlalu banyak aturan dan tidak mengusahakannya secara konsisten. Penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak aturan yang dibuat, semakin anak melawan orangtuanya.

·        Mendasarkan Peraturan pada Tingkah Laku dan bukan Person-nya
Lebih baik mengatakan: "Bola bukan untuk dilempar di dalam rumah" daripada, mengatakan, "Bunda tidak suka kamu melempar bola di dalam rumah." Pernyataan kedua seolah hanya untuk memenuhi keinginan pribadi orangtua.
Buatlah pernyataan langsung, "Sekarang waktunya tidur," daripada membujuk anak dengan mengatakan, "Saya suka kalau kamu pergi tidur sekarang."

·        Nyatakan dalam Cara Positif
Nyatakanlah aturan dalam cara positif. Ceritakan pada anak apa yang perlu dilakukan (pendekatan prescriptive) daripada apa yang tidak boleh dilakukan (proscriptive). Contohnya, katakan, "Bicaralah dengan suara pelan," lebih baik daripada "Jangan berteriak." Mengatakan, "Gunakanlah sendok dan garpu," daripada "Jangan makan dengan tangan."

·        Perhatikan Sopan Santun
Dalam menyatakan aturan, perhatikan nada suara, pendekatan dan penggunaan kata. Hindari cara yang membuat anak bersikap oposisional. Pendekatan memohon atau membujuk akan menyakiti perasaan anak, "Teganya kamu melakukan hal ini pada saya," pendekatan kemarahan, kebencian (menyoroti kesalahan) dan pernyataan kritik, "Jangan malas, ayo bersihkan mainan yang berantakan ini," membuat anak merasa buruk dan memicu tingkah laku oposisional.

Bersikap tenang, terus terang dan santai ketika memberikan perintah menunjukkan sikap positif orangtua pada anak dan percaya bahwa anak akan mengikuti pengarahan orangtua.

·        Memberikan Pilihan
Dalam menyampaikan tuntutan, berilah anak kebebasan untuk memilih. Orangtua dapat mengatakan,
- "Kalau kamu tidak dapat bermain dengan tenang, pergilah bermain di luar,"
- "Apakah kamu mau tidur setelah acara TV, atau tidur sekarang? Kalau tidur sekarang, saya akan membacakan cerita"
- "Duduklah di kursi ini sampai kamu mau mencuci piring."
- "Kamu mau mandi di kamar mandi atas atau bawah?."

Memberikan pilihan cenderung meningkatkan kemandirian dan kemampuan pengambilan keputusan pada anak.

·        Bersikap Fleksibel
Batasan harus dibuat secara bertahap sesuai dengan kematangan anak, sehingga semakin memberikan kebebasan dan tanggung jawab.

f. Pelaksanaan Aturan
·        Bersikap Konsisten
Aturan apa pun yang disusun, seharusnya dilaksanakan secara konsisten. Jangan lunak pada satu hari dan ketat pada hari lain. Jika anak merasa aturan berubah-ubah, mereka akan menguji aturan tersebut dalam setiap kesempatan. Anak boleh tidak melaksanakan satu aturan hanya pada keadaan yang sangat jarang dan sangat mendesak. Jika kondisi itu terjadi, mintalah anak untuk melaporkannya pada orangtua. Jangan menerima alasan yang tidak logis atau mengizinkan anak mengubah aturan. Anak harus tahu bahwa aturan itu tegas. Jika anak tidak melaksanakan aturan, orangtua harus memberikan hukuman pada anak. Berikan hukuman dengan tenang dan abaikan ledakan emosi anak.

·        Gunakan Hukuman yang Masuk Akal
Buatlah hukuman yang tepat atas kesalahan anak. Kehilangan kebebasan untuk beberapa waktu adalah hukuman yang masuk akal bila anak tidak patuh. Tidak bermain dengan mainan tertentu selama 2 hari jika meninggalkannya di sembarang tempat, berlari di jalan raya berarti ia harus bermain di dalam rumah, memukul adik berarti tinggal di kamar sendirian selama beberapa menit.

Hindari hukuman keras berlebihan, memukul pantat, mencambuk, menampar atau berteriak pada anak. Metode hukuman ini dapat memicu dendam pada anak dan merendahkan standar nilai moral orangtua. Hukuman berat menimbulkan kekesalan yang dalam (perasaan takut dan marah), dan hal ini berpengaruh dalam cara belajar dan berpikir. (Kelak anak pun akan memilih cara kekerasan untuk mengatasi masalah, terutama bila menghadapi orang yang lebih lemah.

Yeti Widiati 69-250817

Sumber: How to Help Children with Common Problems, Charles E. Schaefer & Howard L. Millman

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...