Rabu, 28 Januari 2015

HANDWRITING
(Konteks Perkembangan Anak)

"Belajar menulis huruf sambung ....? Apa pentingnya sih? 
Jaman sudah modern, bisa mengetik pakai komputer atau iPad, buat sms tinggal pijit, ngapain juga mesti belajar nulis huruf sambung?"

Dari sudut pandang Sensory Integration, handwriting atau menulis dengan tangan menggunakan pensil atau bolpen adalah kegiatan kompleks yang melibatkan integrasi sensori. Visual, tactile (sentuhan), proprioseptif (motorik halus) bahkan vestibular (keseimbangan tubuh). Menulis dengan tangan mengkoordinasikan sensori-sensori di atas. Kesulitan atau bahkan kegagalan dalam melakukan integrasi sensori pada anak usia SD akan berpengaruh pada kemampuan berkonsentrasi, kendali emosi dan gangguan kecemasan.

Dari sudut pandang Grafologi (ilmu menginterpretasi tulisan tangan), handwriting adalah ekspresi dari gambaran diri, antara lain kemampuan mengendalikan emosi dan dorongan. Pengalaman saya, anak-anak usia SD bahkan hingga dewasa yang mengalami gangguan emosi, problem kepercayaan diri atau sosial dapat tergambar dari tulisan tangannya.

Ketika seseorang menulis, maka ia melakukan dorongan sekaligus juga kendali terhadap goresan-goresan yang dibuatnya. Untuk tulisan huruf sambung, gerakan itu bahkan menjadi semakin rumit daripada huruf cetak yang terpatah-patah. Oleh karena itu menulis dengan huruf sambung sebetulnya juga melibatkan kendali emosi di dalamnya.

Pada usia anak, menjelang usia 6 tahun. Maka kelenturan otot tangan dan jari adalah penting, karena setelah ia masuk sekolah dasar, kegiatan menulis dan kegiatan lainnya yang menuntut kemampuan visual motorik seperti menggambar, membuat prakarya, mengancingkan baju, menyimpul tali sepatu, dll. frekuensinya menjadi lebih sering. Maka anak-anak yang belum terampil dari sisi motorik halus ini akan mengalami kendala signifikan bila tak pernah dibimbing untuk aktivitas-aktivitas tersebut.

Sayangnya, banyak orangtua dan guru TK melakukan drilling aktivitas menulis yang kurang tepat. Misalnya dengan "memaksa" anak menulis berlembar-lembar. Untuk anak yang memang belum cukup siap, hal ini menjadi kontraproduktif. Pengalaman menulis malah menjadi pengalaman buruk baginya.

Prinsip mengembangkan kemampuan menulis, bukan hanya melalui kegiatan menulis saja dan juga bukan hanya jari-jarinya saja yang dilatih.

Meningkatkan ketrampilan motorik halus adalah dengan menguatkan motorik kasarnya dan juga keseimbangan tubuhnya terlebih dahulu. Badan anak dikuatkan dengan aktivitas, berlari, loncat, menggantung, memanjat atau bahkan berenang. Anak-anak yang kuat fisiknya secara keseluruhan akan mampu menopang tubuhnya sehingga memiliki daya tahan yang lebih baik, tidak mudah lelah, bosan saat menulis. Anak yang menulis telungkup, tangannya memegang pensil terlalu lemah atau terlalu kuat adalah indikasi dari fisik yang kurang siap.

Sementara untuk meningkatkan ketrampilan motorik halusnya sendiri, lakukan kegiatan, misalnya, menggambar, mewarnai, meronce, bermain plastisin, menggunting, memotong, membuat istana pasir, bermain foam/busa, bermain lem, menjahit, menempel manik-manik, memungut kacang dengan sumpit, memasak, dll. Tak usah dipaksakan, jadikan permainan yang menarik dan menyenangkan sehingga anak tidak memandang kegiatan ini sebagai beban.

*Kalau ada cara belajar yang menyenangkan, mengapa pakai cara yang merepotkan dan menimbulkan emosi? 

Selasa, 27 Januari 2015


START FROM THE BEGINNING
(Konteks Parenting)

"Kamu MULAI berani melawan sama bapak, ya..."
"MULAI bandel kamu sekarang ya ..."
"MULAI macem-macem kamu sekarang ya ...?"


Pernah lihat balapan mobil?
Saat start ada seseorang yang memegang bendera start dan mengibaskannya sebagai tanda balapan di mulai. Si pembalap tahu, bahwa segera setelah bendera start dikibaskan maka ia bisa memacu mobilnya secepat-cepatnya.

Dalam komunikasi maka otak merespon hal yang sama terhadap kata "MULAI." Bahwa kata "mulai" artinya bahwa sesuatu berawal yang sebelumnya belum terjadi.

Jadi, kesan apa yang kita peroleh ketika anak mendengar kalimat seperti di atas yang diucapkan orangtua atau gurunya?

*Gunakan kata "MULAI" untuk membentuk perilaku baik yang kita harapkan.

IMPROVISASI HUKUMAN
(Konteks Parenting)

- Puspa seorang anak perempuan kelas 5 SD dijanjikan orangtuanya berlibur ke Bali saat liburan kenaikan kelas. Puspa senang, membayangkan dan merencanakan apa saja yang akan dilakukannya di Bali bersama ayah ibu dan adik laki-lakinya. Ternyata saat pembagian raport nilai Matematika-nya 5. Meskipun nilai mata pelajaran lain 8, ayah kecewa dan membatalkan perjalanan ke Bali. Ayah berkata bahwa karena Puspa memperoleh nilai buruk, maka ia harus memperoleh hukuman.


- Nanda seorang bocah 4 tahun yang lasak dan lincah. Satu saat mamanya membawanya ke sebuah toko barang pecah belah. Gerakan Nanda kian kemari membuat pemilik toko gelisah. Sambil memilih cangkir-cangkir, mamanya berteriak, "Jangan lari-lari ..." tapi Nanda tak menghiraukannya. Tiba-tiba saat berlari ia menabrak sebuah rak, dan pecahlah sebuah vas berharga mahal. Mamanya kaget, spontan memukul Nanda dan berkata, "kamu nakal ...!" Dalam perjalanan pulang Mama berkata, "Kamu gak boleh makan permen yang tadi dibeli, karena kamu nakal."

- Bunga, seorang anak 5 tahun kesal karena bundanya tak membelikan boneka seperti yang diinginkannya. Ia marah dan berteriak, "Bunda jahat, bunda gak sayang sama Bunga ...!" Bundanya kesal, kemudian bunda membalas, "Kalau kamu bilang bunda jahat, bunda kembalikan baju yang kemarin di beli ke toko."

Hukuman yang muncul karena marah dan kecewa. Hukuman yang tidak pernah dibicarakan dan diperingatkan terlebih dahulu. Hukuman yang datang tiba-tiba karena ide sesaat. Hukuman yang tidak memberi kesempatan orang untuk mempersiapkan diri. Semuanya adalah hukuman yang tidak adil.

Kita para orang tua sadar atau pun tidak, kerap menjatuhkan hukuman hasil improvisasi setelah kejadian buruk terjadi. Di sini kita mengajarkan anak untuk bersikap reaktif dan bertindak atas dasar emosi. Kita juga mengajarkan anak untuk menjadi cemas karena tidak pernah bisa mengantisipasi apa yang akan terjadi kalau ia melakukan kesalahan. Kita mengajarkan anak mendendam dan menuntut balas.

*Bahkan Tuhan saja memperingatkan manusia terlebih dahulu, sebelum menjatuhkan hukuman.

*Kasus-kasus adalah nyata dengan modifikasi pada identitas dan penyesuaian, tapi tidak mengubah garis besar peristiwa.

POLA RESPON

Setting 1:
Orangtua melihat balitanya sedang berlari-lari di atas lantai licin
Orangtua berkata, "Dek, jangan lari-lari nanti jatuh." Si Adek tetap saja berlari, dan akhirnya kejadian, Adek tergilincir, jatuh dan menangis ...


Kalau anda jadi orangtuanya, apa yang akan anda ucapkan dan lakukan?
- Tuh kan, bunda juga bilang apa, jatuh kan jadinya ...
- Rasain ... kamu memang bodoh dan bandel lagi. Biarin aja kepeleset biar nyadar ...
- Terserah deh mau ngapain, dibilang apa juga kamu gak nurut. Bunda gak urusan lagi sama kamu ...
- Sudah kamu gak usah lari-lari lagi, bunda gendong saja ...
- Cep .. cep ... cep ... nakal ya lantainya. Sini bunda tepok lantainya (sambil menepuk lantai) "Kamu nakal, sudah bikin adek jatuh ...
- Ayo adek yang semangat ... bangun ... bangun ... kamu pasti bisa ... !!
- Sakit ya ... sini bunda peluk. Nanti lagi kalau jalan di tempat licin pelan-pelan atau kamu pegangan ...
- Adek ... mama sedih sekali kamu jatuh. Mau jadi apa kamu nanti kamu besar kalau kamu kepeleset begini ...
- Mama doakan kamu tambah kuat, sehat, sehingga kamu bisa jalan dan bahkan berlari dengan baik. Kalaupun jatuh kamu bisa segera bangun dan berjalan lagi ...

Setting 2:
Ganti si balita jadi pemimpin-pemimpin kita, baik yang kita suka/cinta maupun tidak. Jalan licin adalah negara ini dengan berbagai masalahnya. Dan kita orangtua adalah rakyatnya. Ketika pemimpin kita tergelincir, ketika antar mereka saling berselisih. Apa yang akan kita ucapkan dan lakukan?

* Pola respon di atas, saya angkat dari observasi realita dan juga berbagai status atau komen di media sosial.
* Status ini mengajak kita (termasuk diri saya sendiri) untuk memperhatikan respon diri sendiri terhadap suatu situasi. Mana respon yang melumpuhkan dan mana respon yang memberdayakan. Kita punya freedom to choose, kebebasan untuk memilih respon.

Sabtu, 24 Januari 2015

TES KEMATANGAN SISWA (TKS)

Beberapa bulan terakhir ini adalah "peak season" untuk seleksi masuk sekolah, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Tes Kematangan Siswa atau sekarang sering disebut dengan nama Tes Kesiapan Sekolah adalah tes yang kerap digunakan untuk memperoleh gambaran kesiapan seorang anak (usia 5-6 tahun) untuk masuk sekolah dasar. Beberapa sekolah TK melakukan tes ini 6 bulan sebelum siswa masuk SD, dengan maksud untuk memperoleh profile/gambaran kemampuan siswa. Pada aspek atau area mana siswa perlu dikembangkan agar ia dapat melalui proses belajar di sekolah dasar dengan lancar. Ada juga beberapa SD yang menggunakan tes ini dalam proses seleksi sekaligus untuk memperoleh gambaran di area mana anak masih perlu disupport apabila ia diterima di SD tersebut.

Saya tentu saja tidak akan membahas mengenai TKS sebagai tools. Saya ingin menyampaikan mengenai analisis saya secara umum mengenai gambaran hasil yang diperoleh selama belasan tahun melakukan proses tes ini.

Saya perlu luruskan beberapa hal terlebih dahulu, yaitu:
1. Kematangan siswa tidak paralel dengan kecerdasan.
Artinya, bisa saja seorang anak sangat cerdas atau ber-IQ tinggi tapi dia tidak matang. Karena kematangan anak bukan berbicara mengenai kecerdasan, melainkan berbicara mengenai seberapa siap anak mengikuti proses belajar di sekolah dasar yang menuntut kemampuan konsentrasi, belajar mandiri (kendali emosi, disiplin, ketekunan), belajar dalam kelompok (interaksi sosial), penguasaan konsep-konsep dasar dan koordinasi visual motorik. Anak ber IQ tinggi memang mudah memahami dan mempelajari hal-hal baru yang terkait dengan kognitif, tapi belum tentu dia sudah memiliki kemandirian atau kelenturan motorik halusnya, misalnya.
2. TKS menjaring hasil dari proses pola asuh dan pendidikan.
Karena menjaring hasil dari proses, maka TKS tidak bisa dikarbit, didrill atau dipaksakan. Tidak ada bimbel atau les untuk TKS. Tidak bisa juga orangtua melimpahkan tanggung jawab kepada play-group atau kelompok bermainnya untuk menyiapkan anak agar "lulus" tes ini.
Tidak ada yang instan, orangtua perlu menyiapkan anak untuk bisa mandiri, disiplin, tekun, mampu bergaul, dll. dan itu perlu waktu.

10 tahun terakhir saya melihat gap atau perbedaan yang signifikan dalam aspek-aspek kematangan yang dijaring. Antara komponen kognitif dan motorik dengan komponen sikap atau afektif. Anak bisa saja punya ketrampilan yang baik untuk memahami hitungan, memegang pensil atau memahami situasi. Akan tetapi ia tidak selalu bisa berespon dengan tepat dalam suatu situasi sosial. Misalnya;
- Apa yang perlu dilakukan bila ada orang yang sedang berbicara?
- Apa yang perlu dilakukan ketika ada teman yang berisik atau mondar mandir?
- Bagaimana mengungkapkan keinginan dengan cara yang sopan, tidak berebutan, mencari perhatian atau bahkan diam saja?
- Bagaimana mendorong diri sendiri agar tekun, tidak mudah patah semangat dan meminta bantuan orang dewasa?

Kelihatannya hal ini memang menjadi PR dan tantangan bagi para orangtua muda. Karena kesulitan-kesulitan di atas adalah hal-hal yang mendasar, terkait sikap dan karakter. Jauh lebih membutuhkan fokus dan keseriusan menanganinya daripada mengajarkan matematika, sains atau pengetahuan kognitif lainnya.

Kamis, 15 Januari 2015

MENYIKAPI KORBAN PERUNDUNGAN (BULLYING) - yws

Mungkin istilah perundungan masih belum umum sehingga masih terasa "kagok" saat disebut. Tapi segala sesuatu selalu ada awalnya sebelum jadi biasa. Sehingga saya memutuskan untuk ikut memperkenalkan dan men-sosialisasikan istilah ini.

Perundungan/bullying adalah perilaku agresif baik secara lisan maupun fisik yang dilakukan orang atau sekelompok orang kepada orang/kelompok lain dengan maksud mengganggu atau membuat tidak nyaman pihak lain. Orang yang mengalami perundungan biasanya orang yang lebih lemah dan tidak bisa melawan. Situasi ini berpeluang menimbulkan masalah di kemudian hari, baik bagi si pelaku terlebih bagi korbannya.


Kita sebagai orangtua tidak selalu bisa melindungi anak kita dari perundungan ini. Namun kita bisa mengurangi peluang terjadinya perundungan pada anak kita. "Rahasianya" adalah, pelaku butuh kekuatan dan mereka mencari reaksi takut, cemas atau terganggu dari korbannya. Jadi jika anak kita merasa terganggu atau kurang nyaman dengan perundungan tersebut, maka pelaku menang dan dia akan melakukannya lagi dan lagi ... Karenanya, bantulah anak untuk tetap bersikap tenang dan tidak terganggu dengan situasi ini dan tahu bagaimana bertindak secara asertif.

Bagaimana mendeteksi apakah seorang anak menjadi korban perundungan?
1. Tidak dapat menjelaskan tanda-tanda kekerasan fisik (luka, memar), baju yang sobek.
2. Tidak dapat menjelaskan kehilangan barang, mainan, alat sekolah, bekal atau uang.
3. Takut ditinggal sendirian, enggan sekolah, naik mobil jemputan, minta dijemput, tiba-tiba menjadi lengket dan tidak mau berpisah dari orangtua.
4. Tiba-tiba cemberut, pendiam, suka mengelak, bilang kesepian.
5. Perubahan dalam perilaku, kebiasaan dan karakter.
6. Mengalami keluhan fisik, sakit kepala, sakit perut, sering ke UKS.
7. Mengalami gangguan tidur, sulit tidur, mimpi buruk, mengigau, menangis, mengompol.
8. Mulai melakukan kasar pada adik, pembantu atau orang lain yang lebih lemah.
9. Menunda ke kamar mandi hingga sampai di rumah (Bila perundungan dilakukan di toilet/kamar kecil)
10. Makan dengan rakus ketika tiba di rumah. (Bisa karena bekal atau uangnya dirampas)
11. Mengalami penurunan prestasi akademik secara tiba-tiba dan signifikan, sulit konsentrasi dan belajar.

Berikutnya: Solusi ...

*Sumber: Michele Borba. The Big Book of Parenting Solutions

Senin, 12 Januari 2015

ABSTRAK versus KONKRIT
(Konteks berbicara dengan anak)

Setting: sekelompok anak (usia TK) berebutan ingin memperoleh pembagian kue dari gurunya.
Perintah abstrak : "Ayo yang sabar, yang tidak sabar tidak dapat kue ...!"
Perintah konkrit : "Ayo berbaris satu persatu sampai ke belakang. Kue tidak akan dibagikan sampai kalian berbaris rapi. Semua akan kebagian"


Setting: anak di rumah akan belajar
Perintah abstrak : "Ayo belajarnya yang benar ...!"
Perintah konkrit : "Ayo bukunya dibaca halaman 10, kemudian kerjakan latihannya ..."

Setting: anak di rumah sedang dinasihati ketika akan bertamu
Perintah abstrak : "Kamu harus jadi anak yang baik, tidak boleh nakal ..."
Perintah konkrit : "Kamu harus bersikap sopan, memberi salam waktu bertemu, tersenyum dan berbicara perlahan. Hanya minum dan mengambil makanan setelah dipersilakan ... "

---------------

Orangtua kadang terjebak untuk berbicara dengan menggunakan kata-kata abstrak atau multitafsir yang membuat anak bingung atau pada akhirnya memutuskan sendiri definisi kata tersebut yang belum tentu sesuai dengan apa yang dimaksud orangtua.

Oleh karena itu menyampaikan pesan pada anak dengan jelas sesuai, akan sangat membantu anak untuk memahami perilaku apa yang sebetulnya diharapkan orangtua.

Bila orangtua tetap akan menggunakan kata-kata yang abstrak, pastikan bahwa anak memahami maksud kita.

ANAK SAYA GAK MAU NGOMONG SAMA SAYA

Siapa yang kita ajak bicara ketika kita sedang gundah?

Kita akan cari teman yang bersedia mendengarkan, peduli, empati, dapat memberi rasa nyaman dan tahu kapan waktu yang tepat untuk memberi nasihat.


Kita enggan berbicara pada teman yang berkata;
- "Ah, masa gitu aja dipikirin ..."
- "Sabar aja deh, nanti juga hilang masalahnya ...."
- "Saya dong lebih berat masalahnya dari kamu ...."
- "Menurutku, kamu yang salah, harusnya .... "
- "Gini deh, kamu lakuin aja ..."

Atau teman yang saat kita bicara;
- matanya melihat ke mana-mana.
- bolak-balik membuka handphone atau sambil menatap layar komputer.
- gelisah atau badannya bergerak-gerak terus karena tak sabar.
- memotong pembicaraan sebelum kita tuntas bicara.
- menjadi sangat emosional dan ekspresif menampilkan kesedihan atau kemarahan sehingga kita merasa bersalah membuatnya emosi.

Kalau kita menghindari orang-orang semacam itu ketika curhat, maka itulah juga yang dilakukan anak dan terutama remaja kita ketika mereka mencari orang yang bisa dijadikan tempat curhat.

Apakah anak/remaja kita menjadikan kita, orang tuanya, pilihan pertama untuk tempat curhat?

Minggu, 11 Januari 2015

BERUBAH ... ?

Untuk berubah maka kita membutuhkan:

1. Kesadaran adanya hal yang tidak benar (tidak adil, tidak nyaman, dll)
Adanya kesadaran pada tahap ini adalah hal yang paling mendasar untuk terjadinya perubahan. Hal ini kerap tidak terjadi pada;
- Anak/remaja yang dibawa orangtuanya untuk berkonsultasi.
- Siswa yang diperintahkan ke ruang BK.
- Suami/istri yang disuruh pasangannya untuk berkonsultasi
- Karyawan yang diperintahkan atasannya untuk berkonsultasi
- Orang yang berada dalam kondisi depresi, cemas, atau emosi luar biasa

Mereka semua kerap tidak menyadari bahwa ada hal yang salah dan perlu diubah. Sehingga waktu konsultasi akan lebih banyak berfokus pada membuat ia menyadari bahwa ada yang perlu diperbaiki.

Bila seseorang masih belum menyadari bahwa dirinya perlu berubah, maka usaha-usaha perubahan biasanya hanya berlangsung superficial (permukaan saja), tidak bersifat permanen dan kerapkali kambuh kembali ke perilaku sebelumnya.

2. Keinginan untuk adanya perubahan
Pada satu titik akhirnya setelah orang sampai pada kesadaran bahwa ada sesuatu yang "salah" dalam hidupnya maka orang ingin adanya perubahan. Orang mulai mencari-cari di mana letak kesalahannya. Bersikap egosentris adalah hal yang paling umum, sehingga banyak kita temui orang lebih mudah menuding kesalahan pihak lain dari pada dirinya sendiri.

Mengeluh, mengeluh dan mengeluh adalah khas pada tahap ini. Terutama keluhan yang berisi tudingan pada pihak lain dan tuntutan agar pihak lain melakukan perubahan. Sayangnya, kalau pun keinginannya dipenuhi oleh pihak lain, masih saja orang-orang ini tidak puas dan selalu berhasil menemukan celah kesalahan pihak lain.

3. Keputusan untuk melakukan perubahan
Ketika seseorang menyadari bahwa dirinya juga berada dalam jejaring masalah, maka ia mulai melakukan kalkulasi dan pemilahan. Ia menemukan bahwa terlalu berat untuk bisa menyelesaikan segala hal. Dan lebih masuk akal bila melakukan perubahan dari diri sendiri terlebih dahulu.

Pada titik ini orang akan memutuskan untuk melakukan perubahan. Ketidak-efektifan atau bahkan kegagalan berpeluang terjadi saat seseorang:
- membuat persyaratan, misalnya, "Oke saya lakukan ini tapi kamu harus lakukan itu," "Ayah akan sayang sama kamu asal kamu prestasinya bagus."Saya tidak akan selingkuh lagi asal kamu tidak cerewat dan curiga," dll.
- tidak percaya bahwa perubahan yang dilakukan pada dirinya akan membawa pada hal yang diinginkan.

Ketika seseorang masih berpusat pada kepentingan dirinya sendiri, dan menjadikan dirinya sebagai akibat dari pihak atau lingkungan lain, maka perubahan menjadi kurang efektif.

4. Kesediaan berusaha
Saat orang memutuskan perubahan, biasanya ia lebih banyak mendasarkan pada respon flight atau respon untuk menghindari ketidak-nyamanan. Seperti orang yang berlari menghindar dari ancaman binatang buas atau seperti orang yang menghindar dari mobil kencang yang hampir menabraknya, maka ada energi luar biasa yang akan mendorongnya. Namun energi itu biasanya tidak berlangsung lama. Setelah ancaman hilang maka energi pun berkurang.

Untuk memelihara energi, maka orang perlu berpindah dari flight respon menjadi fight respon. Fight respon membutuhkan tujuan yang jelas. Beberapa orang menjadi lelah sebelum berjuang karena membayangkan kesulitan-kesulitan yang menghadangnya. Sehingga banyak target-target menantang yang perlu ditetapkan untuk menguatkan motivasinya.

5. Daya tahan untuk tetap persisten
Pencapaian tujuan seringkali menuntut perilaku berulang. Seperti orang yang menggerakkan gergaji dari atas ke bawah terus-menerus hingga papan terbelah. Seperti roda mobil yang berputar memungkinkan mobil berpindah. Seperti bumi yang berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari. Jika gerakan berulang itu terhenti, maka kita tidak mencapai tujuan. Kadang bahkan kita tidak tahu di mana ujung atau akhir perjalanan, karena yang diminta hanya terus bergerak dan bergerak. Kesabaran adalah persistensi untuk tetap bergerak.

Oleh karena itu tak cukup hanya;
- Menyatakan "cinta" satu kali bila ingin orang yakin bahwa kita mencintai
- Mengerjakan satu kali tapi berharap perubahan yang menetap
- Membuat perubahan satu kali, tapi tidak memeliharanya sehingga menjadi suatu karakter, dll

6. Strategi untuk efisiensi dan efektivitas
Seperti mobil yang berputar-putar mencapai tujuan, sehingga menghabiskan bensin, maka peta yang jelas, kemampuan menyetir yang baik dan mobil yang terpelihara, semua adalah bagian dari strategi dan kapabiltas yang dibutuhkan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan.

Belajar dan meningkatkan ketrampilan adalah point-nya. Ini penting, tapi bukan yang paling penting. Karenanya saat tidak dimilikinya sarana penunjang, ini tidak perlu menjadi hambatan/penghalang untuk bergerak. Mereka yang masih berkata, "Kalau tidak ada sarana dan alat maka kami tidak bisa berubah" atau "Saya bukan bakatnya di situ, maka saya tidak bisa melakukannya" mereka adalah orang-orang yang meributkan hal-hal yang bukan substansi. Mereka masih mencari celah dan alasan untuk excuse terhadap ketidak-efektifan dan kegagalan.

7. Fleksibilitas mental menghadapi variasi situasi (kegagalan atau keberhasilan)
Pengetahuan membuat kita mengerti secara kognitif. Ketrampilan membuat kita piawai secara psikomotorik. Sementara mengelola emosi yang diperoleh dari kemampuan menghadapi variasi situasi, adalah pembelajaran untuk mental.
- Apakah kita menjadi terpuruk setelah mengalami kegagalan?
- Apakah kita berusaha bangkit dengan membuat evaluasi terlebih dahulu?
- Apakah kita menjadi sombong setelah pencapaian keberhasilan?

Semuanya adalah pembelajaran mental untuk menghadapi beragam situasi yang tak terduga. Termasuk kesempatan untuk membuat "meaning" atau pemaknaan terhadap situasi yang dihadapi.

8. Harapan, keyakinan dan doa
Apapun yang kita alami, kesedihan, kesenangan, kegagalan, keberhasilan, bahkan kebosanan, semuanya memiliki arti.

Sesudah semua tahap dilalui, ada kesadaran yang sampai bahwa kita memiliki "kemampuan" untuk membuat perubahan dan itu menimbulkan rasa senang. Namun tetap saja ada hal-hal yang di luar batas kemampuan dan pemikiran manusia. Sesuatu yang sakral, beyond, dan Maha Kuasa.

Sehingga penghambaan dan pengagungan berupa perasaan harap cemas, keyakinan akan kasih sayang-Nya, doa permohonan serta penerimaan terhadap ketentuan, menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan usaha perubahan.

-------

*Disarikan dari pengamatan dan pengalaman
*Ditulis oleh dia yang masih terus berjuang

Sabtu, 10 Januari 2015


EMPAT FASE PEMAAFAN (Tulisan kedua)

1. Uncovering Phase
Pada fase ini, seseorang memperoleh insight/kesadaran bahwa ia mengalami ketidakadilan dalam hidup ini. Langkah dasar sebelum memaafkan adalah melakukan klarifikasi dan menguraikan apa yang terjadi pada dirinya, Ia harus menentukan apa yang bisa ia terima dan apa yang tidak bisa diterima. Ada orang yang menghadapi objek yang dikenal (pasangan, orang tua, guru, teman, atasan, rekan kerja, dll), ada orang yang menghadapi objek yang tidak dikenal (pencurian, perampokan, perkosaan oleh orang tidak dikenal). Untuk objek yang tidak dikenal ini, maka yang dimaafkan adalah emosi rasa sakitnya, tertekan atau rasa kehilangannya.


2. Decision Phase
Seseorang memperoleh pemahaman yang jelas mengenai peristiwa yang dialaminya dan membuat keputusan untuk memaafkan (berdasar pemahaman tersebut). Meskipun agama ataupun norma sosial memerintahkan untuk memberi maaf, namun keputusan untuk memaafkan adalah "pilihan bebas." Karena ada orang yang "terperangkap tidak mau memaafkan" dan menjadi menderita, sehingga keinginan yang kuat dari dalam diri sendiri akan memberikan energi dan dorongan besar untuk kesembuhan.

3. Work Phase
Dalam fase ini ybs. memperoleh pemahaman kognitif terkait pelaku kesalahan dan mulai memandang pelaku dalam cara pandang yang berbeda, sehingga menghasilkan perubahan positif juga pada diri sendiri, relasi, dan bahkan juga bisa terhadap pelaku. Reframing (perubahan cara pandang) ini membuat seseorang berpikir kembali terhadap situasi si pelaku atau memandang pelaku dalam perspektif yang berbeda, sebagai "seorang manusia" dan bukan "perwujudan setan."
Kasus-kasus klinis menunjukkan bahwa perasaan orang terhadap pelaku menjadi berbeda setelah cara berpikirnya berubah. Hal lain yang terjadi dalam fase ini juga meliputi empati, rasa iba terhadap pelaku. Keberanian dan sikap asertif terhadap penderitaan dan akhirnya memberikan si pelaku "morl gift" atau hadiah moral berupa pemaafan. Secara psikologis, proses ini membutuhkan waktu dan tidak bisa dipaksakan. Beberapa yang mengalami tindakan kekerasan perlu usaha besar untuk sampai pada kesadaran bahwa berkurangnya kebencian terhadap pelaku akan mendekatkan dia pada pencapaian goal kesembuhannya.

4. Deepening Phase
Akhirnya, pada fase ini seseorang menemukan "makna dari penderitaannya", merasa lebih terhubung (connected) dengan orang lain, mengalami penurunan pengaruh negatif dan dalam waktu yang sama memperbaharui tujuan hidupnya. Ia melepaskan diri dari "penjara emosi" keengganan memaafkan, kepahitan, kebencian dan kemarahan, termasuk keberanian untuk meminta maaf kepada orang lain bahkan terhadap si pelaku.

*Terjemahan bebas dari "The Enright Process Model of Psychological Forgiveness, by Phillip Sutton, Ph.D.
PSIKOLOGI PEMAAFAN (PSYCHOLOGICAL FORGIVENESS) (tulisan pertama)

Robert Enright Model
Pembahasan proses pemaafan meliputi, bagaimana seseorang yang terluka karena tindakan seseorang mau memaafkan orang tersebut. Bagaimana proses rekonsiliasi ketika dua atau lebih orang secara "dewasa" memberi dan meminta maaf, sehingga menumbuhkan trust.

Apakah "Forgiveness" itu?
Menurut Enright, forgiveness atau pemaafan, adalah hilangnya kebencian atau rasa dendam terhadap orang yang melakukan kesalahan kepada kita, dan alih-alih membalas dendam, kita memberikan pengampunan, menunjukkan kebaikan, kemurah-hatian dan cinta. Semakin dalam dan menyakitkan penderitaan yang diakibatkan seseorang, pemaafan mungkin membutuhkan proses yang panjang, sulit dan menyakitkan.

Enright menemukan, bahwa kerap terjadi kesalah-pahaman tentang pemaafan ini yang membuat orang enggan untuk memaafkan. Orang kerap kali mengira bahwa untuk bisa memaafkan mereka harus melakukan hal yang mustahil, misal, memaafkan berarti mengizinkan orang melakukan kesalahan atau melupakan kesalahan orang lain.

Pemaafan bukan berarti melupakan, mengizinkan, tidak menghukum atau menekan kemarahan akan perbuatan orang lain yang salah terhadap diri kita. Pemaafan tidak harus menunggu permintaan maaf, pengakuan orang berbuat salah, janji perubahan perilaku, atau menjalani hukuman terlebih dahulu, meskipun biasanya akan lebih mudah melakukan pemaafan bila orang yang bersalah melakukan hal-hal tersebut di atas.

Kadang, seseorang tidak mau atau tidak mampu untuk memaafkan karena berbagai alasan. Misalnya, karena ybs, mengalami "keuntungan sekunder" yaitu memperoleh perhatian besar karena berperan sebagai korban. Atau ketika penderitaan yang dirasakan terlalu berat atau ketika ada terlalu banyak pihak yang perlu dimaafkan.

Oleh karena itu, pemaafan yang sesungguhnya, tidak membutuhkan bahkan tidak harus diakhiri dengan rekonsiliasi.

Berikutnya: Empat Fase Pemaafan ...

*Terjemahan bebas dari "The Enright Process Model of Psychological Forgiveness, by Phillip Sutton, Ph.D.

Jumat, 09 Januari 2015


MEMPERTAHANKAN PENDERITAAN ...

Kisah metafora ini bukan saya yang menulis. Saya memperolehnya dari berbagai sesi training yang saya ikuti dan tak jelas sumber aslinya. Detail cerita mungkin berbeda di sana sini namun saya berusaha untuk menggambarkan garis besarnya. Saya tuangkan di sini karena saya merasa kisah metafora ini baik sekali menjelaskan tentang pemaafan.

..............


Seorang ksatria menunggang kuda di tengah padang rumput. Ketika ia memacu kudanya, tiba-tiba sebuah panah melesat dan melukai pahanya. Ia berteriak kesakitan dan terjatuh dari kudanya. Sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, ia mencari siapa yang memanah dirinya. Tapi ia tak menemukan seorang pun.

Dengan jalan tertatih ia berjalan menuju kudanya yang segera terhenti ketika sang empunya terjatuh. Ia naik kudanya dengan susah payah, dan masih berkeliling mencari si pemanah sambil berteriak menantang dan mengancam. Tapi ia tetap tak menemukan seorang pun.

Dengan gusar dan kesal, ia pun memacu kudanya pulang kembali ke desanya. Sepanjang perjalanan ia menggerutu dan mengutuki si pemanah siluman. Darah masih mengalir dari lukanya. Ia tak mau mencabut panahnya, ia tak mau membebat lukanya. Ia ingin si pemanah siluman itu melihat apa akibat perbuatannya terhadap dirinya.

Pucat pasi ia sampai di rumahnya. Banyak darah yang habis, bibirnya kering karena tak lepas ia mengeluh dan mengutuk, dan hatinya pun terasa sakit karena tak berhasil menemukan si penyebab penderitaannya. Bantuan istrinya untuk mengobati lukanya ia tolak. "Tidak, jangan diobati, aku ingin si pemanah itu menyaksikan bagaimana akibat perbuatannya terhadap diriku."

Hari berjalan, ia bertambah lemah. Lukanya bernanah, badannya demam. Ia tak berselera makan. Ia tak bisa bekerja. Betul ia menderita tapi ia juga membuat istri serta keluarganya menderita, karena ia hanya mengeluh, berteriak kesakitan, menuntut dilayani, namun menolak untuk diobati oleh tabib-tabib terkenal di kotanya. Ia tetap berkata, "Biarkan luka itu, aku ingin si pemanah itu tahu dan melihat betapa dia telah membuat aku menderita seperti ini."

.....

Banyak kejadian yang sama di sekitar kita. Mereka yang pernah mengalami kepahitan di masa lalunya, seolah enggan untuk melepaskannya dan memelihara rasa sakit dan penderitaannya. Membuat aktivitasnya terganggu, kesulitan menampilkan performa terbaik, merasa tidak aman dan merusak hubungan dengan orang di sekitarnya karena rasa curiga dan dendam. Orang-orang lelah mendengar keluhan, gerutuan dan protes-protesnya. Ia menyalahkan orang lain dan ingin menunjukkan betapa ia menderita karena akibat perbuatan orang lain.

Ia tak mau mengubah posisi dirinya dari "akibat" (korban) menjadii "sebab" kesembuhan dirinya. Ia enggan untuk mengambil alih tanggung jawab atas perubahan dirinya. Ia tak mau melepaskan belenggu masa lalunya. Ia tak mau memaafkan.

Rabu, 07 Januari 2015

SHADOW - BAYANGAN DARI MASA LALU

Orang-orang yang kita temui saat ini, kerapkali memiliki kemiripan dan mengingatkan kita dengan seseorang dari masa lalu. Entah itu wajahnya, suaranya, aroma tubuhnya, cara berbicara, cara memandang, sentuhannya, dan apapun terkait keberadaannya.

Di dalam konsep Virginia Satir, seorang Family Therapist, maka orang-orang ini di sebut dengan istilah "Shadow" atau "Bayangan."

Menariknya adalah bahwa respon kita terhadap shadow ini kerapkali dipengaruhi oleh pengalaman kita dengan orang yang mirip dengannya tersebut. Jika kita mengalami pengalaman yang baik, maka kita cenderung berespon baik terhadap shadow itu. Sebaliknya bila kita mempunyai pengalaman buruk dengan seseorang, maka kita cenderung berespon buruk terhadap shadownya di masa depan.

Mungkin lebih mudah dipahami dengan gambaran kasus.

Seorang anak merasa tertekan dengan ayahnya yang keras. Ayahnya yang selalu berpakaian rapi menuntut anaknya untuk selalu sempurna. Setiap ayahnya mengajari dan ia kesulitan  memahami pelajaran, ayahnya akan membentak dan melotot. Dalam kondisi seperti itu, ia menjadi sama sekali tidak bisa berpikir, yang malah membuat ayahnya menjadi bertambah marah dan menjewernya.

Perjalanan hidupnya kemudian seolah baik-baik saja, ia berprestasi dan nampak tidak mengalami masalah. Hingga pada suatu hari ia bekerja pada suatu perusahaan. Atasannya, seorang lelaki bertubuh tinggi besar, selalu berpakaian rapi dan tidak sabar menghadapi karyawan yang lambat dan sulit mengerti. Bila marah, ia membentak dan melotot. Anak ini yang sekarang sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa seolah bertemu dengan "bayangan" ayahnya. Ia blocking (tidak bisa berpikir), dan pekerjaannya menjadi kacau. Rupanya ia belum berhasil melepaskan diri dari bayangan ayahnya.

Tentu saja pengaruh shadow juga bisa dalam artian positif. Seorang perempuan mungkin memutuskan menerima pinangan seorang laki-laki, karena ia menemukan "bayangan" ayahnya yang baik dalam diri laki-laki tersebut atau sebaliknya.

Sekalipun secara sadar shadow bukanlah realitas yang sebenarnya, namun bagi beberapa orang pengaruh itu begitu kuat, sehingga terbawa dan menjadi beban yang membuatnya pincang dan limbung di masa depan. Ia perlu "melepaskan bayangannya."

Selasa, 06 Januari 2015

MAU TUNGGU SAMPAI BAGAIMANA?

Masalah seks adalah masalah yang paling sering tidak tersampaikan oleh orangtua pada anak. Ada yang karena luput tidak sengaja, tidak tahu, mengira anak masih kecil, menunda-nunda dan alasan yang paling sering adalah karena orangtua jengah dan canggung. Orangtua berharap anak tahu sendiri. Dan ketika anak memperoleh pengetahuan tentang seks yang salah bahkan melakukannya tanpa batasan, barulah orangtua panik.

Mengapa masalah seks paling baik di sampaikan oleh orangtua dan bukan oleh pihak lain (teman, film, internet)?


1. Budaya yang diperkenalkan media, (sinetron, film, infotainment, majalah, MTV), memperlihatkan paparan muatan seksual berulang yang meningkatkan kecenderungan remaja belia menjadi aktif secara seksual pada usia dini.

2. Muatan seks terlalu mudah diakses secara online oleh anak melalui situs X tanpa persetujuan dan pengawasan orangtua.

3. Para idola (selebritis, penyanyi, anggota grup band, dll) memamerkan tidak hanya pakaian yang "mengundang," tapi juga orientasi seksual dan gaya hidup bebas (termasuk kehamilan di luar nikah) sebagai hal yang "biasa-biasa saja."

4. Kegiatan seksual dimulai pada usia lebih dini dari generasi sebelumnya. Termasuk aktivitas seksual yang luar biasa.

5. Peningkatan kasus penyakit AIDS.

6. Peningkatan kasus kehamilan di luar nikah.

7. Peningkatan kasus pelecehan dan kekerasan seksual karena rendahnya pengetahuan, kemampuan mempertahankan diri dan paparan media.

Jadi, ayo persiapkan anak kita dengan informasi yang benar tentang seks dan kemampuan menjaga diri.

*Tambahan sumber dari Parenting Solutions, Borba.

Senin, 05 Januari 2015


PENGGUNAAN PONSEL UNTUK ANAK

Perkembangan teknologi menuntut orang menyesuaikan diri. Dulu orangtua membekali anak dengan uang recehan untuk berjaga-jaga apabila anak perlu menelpon lewat telpon umum. Tapi sekarang anak dibekali dengan ponsel, bahkan anak TK sekalipun. Namun, apakah orangtua mempertimbangkan risikonya?

Pertimbangkan beberapa hal di bawah ini sebelum membelikan ponsel untuk anak:
1. Bedakan antara KEBUTUHAN dan KEINGINAN.
Untuk bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan, maka cek hal-hal berikut di bawah ini
- KEAMANAN. Apakah anak anda aman dan terawasi oleh anda atau orang dewasa lainnya yang bisa dipercaya?
- JADWAL. Apakah anak anda memiliki jadwal sekolah, kegiatan ekskul, les dll. yang sibuk, saling tumpang tindih dan mudah berubah?
- KETERJANGKAUAN. Apakah pembelian ponsel terjangkau oleh keluarga?
- TANGGUNG JAWAB. Apakah anak anda dapat dipercaya dan sanggup menjaga barang miliknya tanpa diingatkan?

2. Pahami dan ajarkan KAPASITAS ponsel
Fitur ponsel yang beragam berpotensi membahayakan anak, antara lain;
- VIDEO VOYEURISM, anak mengambil foto atau video teman atau orang lain dalam posisi tak pantas kemudian menyebarkannya secara online.
- CYBERBULLYING, anak mengirimkan sms, email, twit, status, dll yang berisi pernyataan cabul atau agresi.
- ELECTRONIC CHEATING, anak mengunduh jawaban/contekan PR atau ulangan melalui MP3 atau sms untuk digunakan saat tes atau ujian.
- PORNOGRAFI, GAMES, anak dapat dengan mudah mengunduh konten porno, membuka situs dewasa atau mengunduh games dengan ponsel teknologi terbaru.

3. Beli ponsel dengan mempertimbangkan KEAMANAN
- Tanpa kamera
- Memiliki fitur keamanan untuk memblokir akses ke situs dewasa
- Membatasi telpon masuk hanya untuk orang-orang yang dikenali/terpilih. Note: Kasus kekerasan seksual diawali melalui hubungan via ponsel.
- Beri tahu dan ajarkan anak untuk melapor bila ada orang tak dikenal menelpon/sms, mengajak berkenalan atau bertemu.

4. Batasi WAKTU bicara dan penggunaan sms
- Beli ponsel yang tidak mahal dan menarik perhatian
- Cari yang memiliki layanan pembatasan sms dan waktu bicara
- Batasi jumlah biaya yang boleh digunakan anak dalam waktu satu bulan

5. Buat ATURAN pemakaian ponsel yang jelas
Beberapa aturan yang bisa diterapkan (Sesuaikan dengan aturan dalam masing-masing keluarga)
- Tidak meminjamkan ponsel pada teman, kecuali membayar.
- Belajar dulu, kerjakan tugas dulu, baru memakai ponsel.
- Patuhi batasan waktu bicara, jika berlebih, anak yang bayar dengan memotong uang jajan atau tabungannya.
- Gunakan etika memakai ponsel. Tidak memakai ponsel saat bercakap-cakap dengan orang lain, di pertemuan/kelas, meja makan. Bicara perlahan, dll
- Patuhi aturan penggunaan ponsel di sekolah
- Ponsel di matikan atau dipegang orangtua saat malam hari, sehingga anak bisa istirahat dengan cukup

6. Libatkan anak dalam PERHITUNGAN BIAYA pemakaian ponsel
Cara ini juga untuk mengajarkan tanggung jawab finansial pada anak.
- Tetapkan bersama biaya penggunaan ponsel dalam waktu 1 bulan.
- Buat menjadi negosiasi untuk pencapaian perilaku atau prestasi tertentu (terkait tambahan biaya).
- Paksa anak untuk membayar kelebihan biaya dari tabungannya sendiri.

7. Ajarkan cara MENGIRIM dan MENERIMA telpon dan sms
Dalam beberapa kondisi, sms/ponsel dapat meningkatkan hubungan anak dan orangtua. Namun untuk itu perlu ada pengaturan terutama untuk anak usia remaja.
- Ajarkan anak untuk menerima telpon dan menyusun kalimat sms yang sopan.
- Beritahu anak, kapan harus mengirim atau membalas sms orangtua. Biasanya orangtua ingin tahu di mana anak berada dan apa yang dilakukannya.

Anak mudah mempelajari dan mengakses teknologi. Bagaimanapun orangtua harus juga mempelajari dan mengikuti perkembangan apabila memang ingin mendampingi anak dengan baik.

*Disadur dengan penyesuaian dari "The Big Book of Parenting Solutions," Michele Borba

Minggu, 04 Januari 2015


PARADOKS adalah ...
(Konteks Parenting)

- Saat anak masih bayi, susah payah kita mengajarinya berbicara. Sesudah usia 5 tahun dan ia banyak bertanya, kita menyuruhnya diam.


- Saat kita terganggu dengan anak yang berloncatan, memanjat, lari kian kemari dan membongkar barang-barang, kita nyalakan TV atau membelikannya games hingga dia duduk dengan "tenang." Kita pun mengeluh, kita bilang anak kita games addiction.

- Kita bilang kita ingin anak yang kritis, tapi ketika anak mempertanyakan aturan-aturan, kita bilang anak tidak patuh.

- Kita ingin anak mandiri, tekun, tegar dan mau berusaha tapi kita menghindarkannya dari kesulitan dan memperkenalkan jalan short cut dengan menyelesaikan masalah yang dihadapinya,

- Kita ingin anak kita mendengar apa yang kita sampaikan, tapi saat mereka berbicara kepada kita, mata kita melirik kepada gadget dan membaca WA, BBM, FB, twitter, dlsb.

- Kita bilang bahwa kita sayang anak, tapi kita lebih fokus pada hal lain. Kita serahkan pengasuhan anak kita pada pihak lain.

- Kita ingin anak kita aktif tapi kita melayaninya, tidak melibatkan dan tidak memberinya tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

- Kita ingin anak kita jujur, taat ibadah dan senang dengan kebaikan, tapi kita tidak mencontohkannya.

*Ouch ... ternyata banyak benar hal paradoks yang kita lakukan ...
KECERDASAN EMOSI DAN GENERASI Y
Tataplah wajah teman kita dan kemudian tersenyumlah.
Jika ia membalas dengan tersenyum juga, maka hati kita akan merasa senang.
Jika ia tak mengacuhkan, maka hati kita merasa kesal.
Jika ia membalas dengan cibiran, maka kita menjadi marah.
Sekarang tataplah sebuah gambar orang di komputer, hp atau apapun gadget yang kita punya. Kemudian sama seperti di atas, tersenyumlah.
Apakah gambar itu akan berespon?
Ah ... pertanyaan bodoh ya, tentu saja gambar itu tidak akan berespon. Dia dalam gambar itu tak peduli kita tersenyum, tertawa, marah, sedih, ataupun tak dilihat sama sekali.
Beberapa aspek kecerdasan emosi adalah:
1. Ketika kita mampu memahami emosi kita sendiri,
2. Mampu memahami emosi orang lain,
3. Tahu caranya mengekspresikan emosi dengan tepat
4. Dan tahu caranya berespon terhadap ekspresi emosi orang lain
Semakin sering kita berlatih maka kita akan semakin trampil.
Maka, bagaimana anak-anak kita, dan bahkan diri kita sendiri dapat mengembangkan kecerdasan emosi dengan optimal, bila interaksi kita lebih banyak dihabiskan dengan gadget daripada berinteraksi secara langsung, dengan saling bertatapan?
*Generasi Y adalah generasi yang lahir antara tahun 1983-2003 yang tumbuh dalam perkembangan teknologi digital yang pesat, sehingga mempengaruhi perilakunya. Cara mengekspresikan emosi yang berbeda berpeluang menimbulkan miskomunikasi dengan orangtuanya.


RENUNGAN AKHIR TAHUN

Dalam tahun 2014, kasus-kasus anak dan pernikahan yang datang pada saya, pada umumnya adalah terkait:

1. Acceptance atau Penerimaan
Tema ini mungkin menjadi peringkat pertama dari kasus-kasus yang saya terima. Paling umum adalah beratnya orang tua untuk menerima anak apa adanya. Bukan karena anaknya cacat misalnya, tapi bahkan perbedaan yang tidak mendasar, seperti perbedaan minat, cara pandang, gaya belajar, prestasi, harapan, itu bisa menjadi masalah serius yang mengancam hubungan anak dan orangtua.

Orangtua kerap memiliki harapan atau standar tertentu terhadap anak, sehingga ia menuntut anak mencapai standar tersebut, dan kecewa ketika anak tidak bisa mencapainya.

Masalah acceptance ini juga terjadi pada pasangan suami istri. Baik suami yang sulit menerima kondisi istri apa adanya atau sebaliknya istri yang sulit menerima kondisi suami.

Menariknya adalah dalam kondisi seperti ini, masing-masing pihak (orangtua, anak, suami, istri) menuntut orang lain yang harus berubah, dan tidak terpikir bahwa ia yang perlu mengubah dirinya sendiri.

2. Komunikasi
Masalah komunikasi juga cukup umum dalam kasus-kasus keluarga. Sebetulnya masalah ini juga imbas dari masalah acceptance. Ketika satu pihak tidak bisa menerima kondisi pihak lain, kemudian ia ingin memaksakan kehendaknya, maka bentuk komunikasi yang ditampilkan pun akan terwarnai oleh kecenderungan memaksa ini.

Ayah yang tidak suka anak perempuannya yang dianggap kurang cerdas. Memaksa anaknya untuk belajar, memberikan label-label negatif dan membandingkan anak dengan saudaranya yang lebih cerdas.

Ibu yang tidak suka karena anak laki-lakinya pendiam, terus-menerus mencereweti dan bertanya pada anaknya yang malah menjadi semakin diam dan enggan bicara.

Suami yang tidak menerima kondisi istrinya, alih-alih membicarakan dengan baik dan mencari penyelesaian yang win-win solution, malah memilih jalan menikah kembali tanpa memberi tahu istrinya.

Istri yang kehilangan trust pada suaminya, memilih memonitor suaminya dengan menelpon terus-menerus yang malah membuat suaminya menjadi kesal.

3. Pengetahuan tentang Psikologi Perkembangan dan Ketrampilan Parenting.
Kerap terjadi, orangtua lebih berfokus pada memberi makan anak, membelikan pakaian dan mainan serta menyekolahkan anak. Orangtua kurang menyadari bahwa aspek emosi, sosial, moral, kognitif, religius, perlu dikembangkan juga dengan perencanaan yang sistematis, Bukan sambil lalu, hanya menasihati atau menyerahkan pada pihak lain (pembantu dan sekolah).

Sehingga tidak jarang, orangtua terheran-heran ketika melihat anak menampilkan perilaku yang tidak diharapkan, yang tidak bisa hilang begitu saja setelah diberi tahu/nasihat. Orangtua lupa, bahwa perilaku terbentuk dalam proses dan waktu yang lama, sehingga memperbaiknya pun perlu proses dan waktu juga.

-----------

Keluarga sebagai kelompok sosial terkecil dalam masyarakat, merepresentasikan dengan baik bagaimana perilaku anggota masyarakatnya. Kekurangmampuan untuk acceptance atau menerima juga tergambar dengan baik di masyarakat, sehingga kecenderungan untuk memaksakan tampil dalam konteks sosial, politik dan kehidupan beragama.

Karenanya, bila kita kecewa dengan perilaku masyarakat, alih-alih mengeluh, mencela, menuntut orang lain berubah, maka menata keluarga dan diri sendiri, adalah yang paling masuk akal dan paling mungkin dilakukan.

Bismillah ...

Kick Andy - Ghina, (Crouzon Syndrome) Pantang Mati Sebelum Ajal


http://www.kickandy.com/theshow/1/1/1537/read/PANTANG-MATI-SEBELUM-AJAL

Jumat, 24 April 2009 21:30 WIB
PANTANG MATI SEBELUM AJAL
PANTANG MATI SEBELUM AJAL Christian Simanjuntak, harus rela kehilangan delapan jari tangannya akibat digerogoti penyakit langka bernama Buerger’s Disease, sebuah penyakit akibat penyempitan pembuluh darah yang menyerang para perokok. Ia sempat ingin mengakhiri hidupnya, tapi akhirnya memutuskan untuk bertahan hingga sekarang.
Sementara Ibu Siti Fatimah harus kehilangan tiga putranya akibat penyakit Hemophilia sebuah penyakit kelaian pembekuan darah. Hanya Ninis, satu- satunya anak perempuan yang selamat dari penyakit itu. Namun Ninis, kini harus mengalami hal yang serupa dengan sang ibu. Putra semata wayangnya, Malik, kini harus menanggung warisan keluarga sebagai penderitaHemophilia. “Saya berharap anak saya bisa hidup hingga dewasa,” kata Ninis.
Untuk mewujudkan harapannya, Ninis terpaksa harus menjaga Malik dengan ekstra ketat. Ia membatasi aktivitas Malik untuk menjaganya dari benturan dan luka. Andai Malik terbentur saja, maka murid sekolah dasar itu harus menjalani transfusi darah. “PenyakitHemophilia itu mengejamkan,” ujar Malik polos.
Dalam kesempatan ini juga Hematolog Prof. Karmel L. Tambunan, memberikan beberapa informasi seputar penyakit Hemophilia dan penyakit langka lainnta, yakni ITP (idiopathic thrombocytopenic purpura), yang dialami oleh Rebecca Marthina.
Rebecca mengalami serangan penyakit ini pada akhir tahun 2008. Secara medis, ITP diartikan suatu kelainan pada sel pembekuan darah, yakni trombosit yang jumlahnya menurun sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan terjadi umumnya pada kulit.
Di episode ini juga Kick Andy akan mengajak ada mengenal sejumlah kisah dari para mantan penyandang penyakit langka. Misalnya, Nicholas, remaja yang pernah terserang penyakit Guillain Barree Syndro, sebuah penyakit auto-immune, dimana sistem kekebalan tubuh tidak membunuh virus yang masuk tetapi justru menyerang sistem kekebalan tubuh didalam diri sendiri. Guillain Barree Syndrome menyerang saraf akibatnya saraf yang berada didalam otot tidak dapat digerakkan sehingga tubuh menjadi lumpuh.
Ada juga penyakit Myasthenia Gravis yang diderita Dewina Sugianto. Pada tahun 2002 tiba-tiba Wina mulai susah mengucapkan kata-kata. Dia mulai cadel dan susah membuang ludah. Pada akhir tahun 2003 keadaan semakin parah. “Saluran pernafasan penuh lendir dan gaya peristaltik di kerongkongan gak berfungsi. Alhasil aku gak bisa menelan makanan dan minuman, otomatis berat badan aku turun drastis jd 30 kilo-an,” tutur Dewina.
Penyakit langka juga menyerang mantan presenter kuis Pepeng. Penyakit Multiple Schlerosis, menggerogoti syaraf pusat Pepeng, mirip dengan penyakit lupus yang menyerang auto-immnune. Dokter ahli syaraf Yusak Mangara Siahaan, mengatakan bahwa penyakit Multiple Schlerosis hingga saat ini belum ditemukan obatnya. “Penyakit yang belum ada obatnya, digabung dengan rasa nyeri yang tidak pernah berhenti adalah kombinasi yang cantik untuk menjai depresi,” ujar Pepeng yang sejak 2,5 tahun ini hanya bisa beraktivitas di kamarnya saja ini.
Nara sumber Ghina akan membukakan wawasan kita, betapa banyak penyakit langka yang ada di sekitar kita. Ghina menderitaCrouzon Syndrome, yakni suatu kelainan bawaan yang ditandai dengan terlalu cepat menutupnya ubun-ubun pada saat bayi. “Sebagai upaya pengobatan Ghina harus melakukan rekonstruksi tulang tengkorak lebih dari satu kali,” ujar Yetti sang Ibu.
Ghina mengalami operasi sejak usia 2 tahun, untuk member ruang otaknya supaya bisa berkembang baik dan agar matanya tidak tertekan terlalu keras. Umur 8 tahun, setelah insiden bola matanya yang nyaris lepas, Ghina kemudian mengalami operasi rekontruksi tulang tengkorak kembali. “Tulang muka Ghina harus ditarik dengan sebuah alat bernama distracter sebanyak 2,5 cm dan itu harus dilakukan bertahap, 1 hari sebanyak 1 mm sehingga memakan waktu 2,5 bulan,” ujar ibunya. Dan kini Ghina menunggu operasi ketiganya di usia 16 tahun nanti.
Meski demikian berat, Ghina mengaku tetap merasa bahagia. Semua perjalanan hidupnya ia telah tulis dalam sebuah diary yang kemudian diterbitkan sebagai sebuah buku.
Ghina, Pepeng, Christian, dan nara sumber lainnya adalah mereka yang telah terpilih untuk menjalani ujian hidup yang demikian berat. Tapi mereka memilih ikhlas untuk menikmati ujian ini dengan tetap bertahan dan berpantang mati sebelum ajal benar-benar menjemput.
Inilah episode tentang dunia kesehatan yang dibalut dengan kisah-kisah inspiratif para nara sumber. Selamat menyaksikan.

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...