Senin, 27 Januari 2020

KEMAMPUAN KOMUNIKASI BERPENGARUH PADA PERKEMBANGAN ANAK


CI LUK BA


"Object permanency" adalah kekhasan pada usia bayi menurut Piaget. Bayi mempersepsi bahwa bila obyek tidak terlihat itu berarti hilang. Sementara menurut Erik Erikson, pembentukan trust dan secure itu fondasinya dibentuk pada usia 0-1 tahun.

Jadi ketika bayi tidak melihat pengasuhnya dia merasa tidak nyaman. Ketika dia melihat pengasuhnya ia merasa nyaman. Terlalu lama tidak melihat pengasuh, maka timbul kecemasan.

Peek a boo (ci luk ba) menurut Schaefer, adalah salah satu bentuk desensitisasi awal untuk meningkatkan kemampuan/toleransi bayi menghadapi kecemasan terhadap perpisahan.

Itu penjelasan kompleks dari aktivitas sederhana ci luk ba :D

KATA-KATA MEMPENGARUHI EMOSI - yws


Dalam konteks konsultasi saya menemukan ada kata-kata khas yang berulang muncul pada mereka yang sedang mengalami stres, cemas, marah, takut dan sedih.
Kata-kata tersebut, antara lain:
- HARUS/SEHARUSNYA
Contoh: "SEHARUSNYA saya tidak melakukan hal itu" atau "Sebagai suami HARUSNYA dia tidak seperti itu"
- SEMUA
Contoh: "SEMUA orang benci pada saya"
- TIDAK ADA
Contoh: "TIDAK ADA orang yang peduli pada saya"
- NGGAK MUNGKIN
Contoh: "NGGAK MUNGKIN saya bisa berubah"
- PASTI
Contoh: "Dia PASTI akan merusak hidup saya"
Langkah awal mengubah emosi kita adalah dengan menghindari dan mengurangi kata-kata tersebut. Apakah masalah akan selesai? Nggak janji sih, tapi emosi yang lebih tenang akan membuat kita lebih bisa berpikir dan mencari jalan keluar menyelesaikan masalah kita.
Yuk buat langkah awal kebaikan untuk diri kita ...
*Karena masalah diselesaikan dengan berpikir, sementara berpikir menjadi sulit ketika diri dipengaruhi emosi negatif.
Yeti Widiati 220618

MEMBERI YANG DIBUTUHKAN PENERIMA - yws

Cerita 1
Pegel banget nih badan. Kemaren pulang dari Bali sama bapaknya. Ni rencana anak-anak. Mereka ceritanya bikin kejutan hadiah anniversary pernikahan perak bapak ibunya. Tau gak, Bu, kita dibeliin paket honey moon. Ada candle light dinner, sunset beach, nginep di hotel bintang. Aduh apa lah aneh-aneh. Pas candle light dinner ribet banget, makannya steak pakai pisau garpu. Encok aku kumat pula, jadi males banget jalan-jalan pas sunset itu. Ku bilang sama anak-anak, "Udah lah, ngapain pula kalian pake duit gaji itu buat bapak ibu ke Bali. Mending juga kalian kasih duitnya ke ibu buat ibu bikin kue jualan ..."
Cerita 2
"Aduh mbak (pembantu), kok bajunya dipake buat nyuci hari-hari ... Itu kan baju sutra dari Thailand. Mahal ... harusnya dipake buat kondangan ... "

Cerita 3
'Bapak, kok sepatu yang saya kasih bulan lalu nggak pernah dipake?'
'Oh sepatu itu, sudah Bapak kasih ke Mamang. Mamang senang tuh pakenya ...'
'Ya Bapak, kan saya kasih itu buat Bapak pake. Soalnya saya lihat Bapak pakai sandal terus ke mana-mana ...'
'Lha iya, Bapak kan sukanya pakai sandal. Kaki Bapak nggak enak kalau pakai sepatu ...'

Cerita 5
"Adek, kok mainannya dirusak ...? Itu mainan robot-robotannya mahal sekali. Ada batere dan remotenya. Kenapa jadi dicopot-copotin kepala sama kakinya?"

Cerita 6
"Orang-orang di desa ini kurang berpendidikan dan tidak tahu berterima kasih, Bu. Kami kan sudah membangunkan perpustakaan di desa ini. Kami juga melengkapinya dengan buku-buku yang bagus. Semuanya biayanya tidak sedikit. Sebulan kemudian kami kembali ke sini untuk mengecek. Ternyata Bu, saya sedih sekali. Buku-bukunya sudah hilang. Perpustakaan kotor tak terawat. Mau jadi apa anak-anak di sini kalau orang dewasanya tidak peduli dengan pendidikan?"

Cerita 7
Saya itu ngasih uang buat dipakai hal yang berguna. Beli susu atau buku buat anaknya, lah kok malah dipakai beli rokok dan barang-barang gak bener.
-------------------------------------

Pernahkah kita memberi sesuatu (barang, uang, pelayanan, nasihat, pengajaran, dll) yang ternyata oleh si penerima tidak dipergunakan seperti yang kita harapkan? Saya pernah.
Rasanya nyesek gitu. Sewaktu memberi merasa bahwa ini adalah pemberian terbaik dan bernilai. Berharap si penerima memanfaatkannya dengan baik. Dan ternyata harapan tidak sesuai dengan kenyataan ... hiks ...
Saya belajar banyak dari situ bahwa ketika memberi, ternyata ada hal-hal yang perlu saya ingat kembali agar saya nggak 'nyesek' lagi.
1. Jangan sok tahu
Seringkali kita mengira, bahwa apa yang kita inginkan/butuhkan juga diinginkan/dibutuhkan orang lain. Sehingga saat memberi yang kita pikirkan adalah "apa yang saya suka/perlu" bukan "apa yang ia suka/perlu".

Untuk menghindari hal ini, maka berpikirlah dengan cara ia berpikir. Merasalah dengan cara ia merasa. Atau cara yang paling gampang sebetulnya adalah bertanya langsung pada ybs, apa sih yang ia inginkan/butuhkan.
Btw, ini juga berlaku untuk memberi saran, nasihat atau pengajaran. Saya kerap mendengar keluhan orang yang merasa sudah memberi nasihat terbaik, tapi ternyata tidak didengar apalagi dilakukan oleh yang menerima nasihatnya.
2. Jangan disebut-sebut dan jangan diingat-ingat
QS 2: 264 mengatakan untuk tidak menyebut-nyebut pemberian, karena itu akan menyakiti orang yang diberi. Pas saya nyesek saya ingat ayat tersebut. Duh Gusti, kalau kita memberi dan punya harapan bahwa orang harus menggunakan sesuai dengan yang kita inginkan, berarti kurang ikhlas dong ...

3. Edukasi penerima
Ketika kita memberi buku pada seseorang/lembaga karena beranggapan bahwa buku itu baik dan penting, maka kita perlu mengedukasi penerima mengenai kebaikan dan kepentingan buku tsb. termasuk cara pemanfaatan dan pemeliharaannya.

Selama kita tidak melakukan edukasi itu, maka baiknya kita kembali ke no. 2. Tak perlu ungkit apa yang sudah diberi, tak perlu salahkan mereka yang menerima. Doakan saja.
4. Ilmu untuk memberi
Ternyata perlu ilmu untuk memberi agar bisa dimanfaatkan optimal. Pengalaman beberapa tahun bekerja di lembaga zakat, mengajarkan saya tentang hal ini.
- Lakukan analisis kebutuhan
- Beri sesuai kebutuhan (bukan keinginan)
- Beri tidak semua yang dibutuhkan (agar terbentuk mental berusaha bukan mental menadah)
- Lebih banyak memberikan soft skill daripada materi konkrit
- Ikhlas tak menyebut dan mengingat-ingat pemberian

Mungkin orang lain berbeda pendapat dengan saya. Nggak apa tentunya, karena ini adalah monolog saya dengan diri sendiri. Tapi mungkin saja berguna untuk yang akan bagi-bagi rezeki besok, hehe ... 
Yeti Widiati 140618

MENYIAPKAN ANAK ANGKAT UNTUK MENGETAHUI STATUSNYA

(Lanjutan, tulisan kedua dari 2 tulisan)
--------------------------------------------------
MENYIAPKAN ANAK ANGKAT UNTUK MENGETAHUI STATUSNYA - yws
Kasus 1
Sepasang suami istri setengah baya datang berkonsultasi pada saya. Sang bapak bertanya pada saya, "Ibu kami ini tidak punya anak, dan mengambil anak perempuan dari panti asuhan sejak usianya masih 2 hari. Anak kami sekarang usianya 13 tahun. Kami semua sangat mencintainya. Menurut ibu, kapan waktu yang tepat bagi saya untuk menyampaikan pada anak saya, bahwa ia bukan anak kandung kami? Kami nggak tega, Bu, kalau anak kami menjadi sedih."
Kasus 2
Bu, kami mengasuh seorang anak perempuan sekarang sudah 20 tahun usianya. Dia ditinggalkan orangtuanya di depan pintu rumah kami saat bayi. Entah berapa usianya, mungkin sekitar beberapa hari. Sebetulnya saat itu kami sudah punya 2 anak laki-laki, tapi karena kami kasihan pada anak itu, maka kami mengasuhnya.
Waktu usia 17 tahun, kami memberitahu kenyataan yang sebenarnya. Dan dia merasa terpukul. Sejak saat itu dia sering pergi. Minta berhenti kuliah dan ingin bekerja. Dia tidak mau menerima pemberian kami lagi. Kami kecewa sekali. Mengapa dia tidak berterima kasih padahal dia sudah diasuh oleh kami selama ini. Mau jadi apa coba kalau dia tidak kami asuh dan kami sekolahkan?"
Kasus 3
Seorang perempuan bertanya pada saya. "Mbak, saya menikah pada usia yang tidak muda lagi, dan menurut dokter kondisi rahim saya tidak memungkinkan untuk memiliki anak sendiri. Kami mempertimbangkan untuk mengambil anak dari panti asuhan. Apa saja yang perlu kami persiapkan untuk mengambil anak ya, Mbak?"
Kasus 4
"Bu, kami mengasuh anak di panti. Kebanyakan adalah anak-anak yatim atau piatu yang orangtuanya tidak mampu, tapi kami masih memiliki data orangtuanya. Suatu hari ada seorang perempuan meninggalkan bayi laki-lakinya yang baru berumur 3 hari di panti kami. Sekarang anak itu sudah berusia 7 tahun dan sudah sekolah. Dia sering bertanya, "Kenapa aku tinggal di panti? Kenapa aku nggak punya bapak ibu seperti anak lain? Bagaimana kami menjawabnya ya, Bu?
---------------------------
Kalau saya lanjutkan lagi cerita tentang kasus-kasus semacam ini, maka akan sangat banyak. Ada yang berakhir bahagia, ada yang biasa-biasa saja, dan tak jarang penuh sedih dan air mata.
Adalah wajar, ketika kita berbeda dari orang lain, maka kita merasa kurang nyaman. Apalagi kalau perbedaan itu dihayati sebagai lebih rendah atau lebih buruk. Cara berpikir inilah yang akan mempengaruhi emosi, konsep diri dan lebih jauh pada perilaku kita.
Dalam konteks anak angkat ini, sebelum lebih jauh, saya mengajak teman-teman yang muslim untuk menelaah kembali sejarah bagaimana Rasulullah pada masa kecil lebih sering diasuh dan dibesarkan bukan oleh orangtua kandungnya. Juga kisah Rasulullah Muhammad dengan Zaid bin Haritsah, anak angkatnya yang begitu dicintainya.
Belajar dari sejarah Rasul, maka "seharusnya" memberitahu anak tentang statusnya bisa berlangsung alamiah dan bukan menjadi hal rumit dan menguras emosi.
Namun pada kenyataannya di masyarakat kita, masalah ini menjadi rumit karena dirahasiakan dan ditunda-tunda.
Beberapa tahapan yang bisa dilakukan sebelum memberi tahu status anak.
1. Anak sudah mulai memiliki kesadaran akan lingkungan dan berpikir lebih kritis pada usia 3-4 tahun (bisa berbeda pada setiap anak).
Pada usia ini, ajaklah anak untuk mengamati lingkungannya terutama dari tumbuhan dan binatang tentang lahir, tumbuh, pengasuhan, sakit dan kematian. Cerita bebek yang telurnya dierami ayam hingga menetas boleh jadi adalah cerita alamiah yang menunjukkan bahwa yang melahirkan belum tentu sama dengan yang membesarkan. Dan itu sah-sah saja.
2. Usia SD, ceritakan anak mengenai cinta dan kasih sayang. Bahwa cinta dan kasih sayang itu tumbuh karena kedekatan, frekuensi dan intensitas hubungan. Kumpulkan kisah-kisah tentang ini dan juga orang-orang yang berhasil sekalipun tidak diasuh oleh orangtua kandungnya. Kalau tak ada, buatlah sendiri.
Kritisi pula cerita-cerita yang sudah populer tentang ibu tiri yang jahat pada anak tirinya (Cinderella, Snow White, Bawang Merah Bawang Putih, Kleting Kuning, dll) hanya karena anak tirinya tidak memiliki hubungan darah dengannya.
Boleh jadi, jauh lebih baik menceritakan sejarah Rasul setelah lahir disusui oleh Siti Halimah, sebentar tinggal bersama ibunya, lalu masa kanak-kanak diasuh kakeknya dan remaja diasuh pamannya. Atau ceritakan pula tentang kisah Zaid bin Haritsah anak angkat Rasulullah yang begitu dicintai.
3. Menjelang pubertas, jelaskan mengenai hukum (sesuai agamanya). Dalam Islam, status anak berkait dengan pernikahan dan waris. Jelaskan pula bahwa hukum itu tidak berkait dengan cinta.
Bila sampai usia dewasa (18 tahun) anak belum memahami konsep-konsep tersebut di atas, maka orangtua memiliki tanggung jawab untuk memahamkannya.
4. Hubungan dengan orangtua/keluarga kandung
- Bila sudah meninggal, ajak anak rutin mengunjungi kuburannya. Ini bisa dilakukan sejak anak bayi sekalipun. Panggil saja itu "ibu/bapak" sementara yang mengasuh anak dipanggil "bunda/ayah".
- Bila orangtua kandung masih ada, tetap menjalin silaturrahim adalah cara yang sangat baik. Anak dengan sepenuhnya sadar, bahwa di sana ada orangtua yang membuatnya hadir ke dunia sementara ia tinggal bersama orangtua yang mengasuhnya.
- Bila orangtua kandung tidak bisa ditelusuri lagi, mengajak ke panti asuhan bisa menjadi alterntif yang bisa dipertimbangkan.
5. Bila orangtua melihat bahwa anak sudah siap menerima kenyataan, dan orangtua pun sudah siap untuk menyampaikan, maka pilih waktu yang tepat untuk menyampaikan pada anak tentang statusnya.
- Carilah waktu libur. Jangan saat sekolah apalagi mendekati ujian.
- Cari tempat yang nyaman. Di rumah atau di kamarnya biasanya adalah tempat yang cukup nyaman
- Orangtua angkat (ayah/ibu) yang wajib memberi tahu. Ajak seorang dewasa yang netral yang bisa memfasilitasi bila terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.
- Sampaikan dengan jelas pada anak mengenai statusnya.
- Bila anak meminta alasan mengapa ia tidak diasuh oleh keluarga kandungnya, maka jelaskan sejauh yang diketahui. Tak perlu mengada-ada, berbohong, apalagi memburukkan keluarga kandungnya. Intinya, arahkan bahwa itu semua adalah ketentuan Allah, dan bahwa anak adalah anugrah dan titipan Allah untuk orangtua.
- Bila anak emosi, marah atau sedih. Beri kesempatan anak untuk mengungkapkannya dan terima emosi tersebut, karena ini adalah wajar. Orangtua tak perlu bersikap defensif, mencari-cari alasan atau membela diri.
- Beri waktu pada anak untuk mengolah dan mencerna semuanya.
- Bila anak sudah remaja, kadang dia ingin pergi dari rumah. Maka sebelum itu terjadi, tawarkan saja pada anak tempat yang bisa dikunjungi sehingga orangtua tahu dan bisa memonitor.
- Bila anak ingin bertemu dengan keluarga kandungnya, bantu dan temani. Tak perlu dilarang. Anak tidak akan "hilang", dia hanya perlu memuaskan rasa ingin tahunya.
6. Selalu ada kemungkinan anak tahu lebih dahulu tentang statusnya sebelum diberi tahu.
Entah ia menemukan sendiri atau pun ada orang lain yang memberi tahu. Bila hal itu terjadi, kembali ke poin 5 dan lakukan tahapan tsb.
Dalam tulisan pertama saya menjelaskan mengenai "insecure" (perasaan tidak aman) yang sangat mungkin muncul ketika anak mengetahui statusnya dan harus mengubah identitas dirinya. Reaksi emosi yang muncul, seringkali didasari oleh insecure tersebut. Oleh karena itu, tugas orangtua adalah memberikan assurance/jaminan bahwa anak tetap dicintai dan dilindungi, secara fisik, psikologis dan ekonomi.
Hal yang perlu dicatat adalah poin-poin di tulisan pertama perlu dilakukan dulu. Ini (biasanya) akan membuat fondasi yang cukup kuat bagi anak. Sekalipun ia sedih, ia relatif lebih cepat bangkit dan mengembangkan diri.
Wallahu'alam
Yeti Widiati 100618

ANAK ITU TITIPAN ALLAH, BAIK DIKANDUNG MAUPUN TIDAK

(Tulisan pertama dari 2 tulisan)
Tema ini akan cukup panjang saya bahas, sehingga saya membuatnya menjadi 2 tulisan. Tulisan pertama berkisar apa yang dibutuhkan anak asuh/angkat. Tulisan kedua mengenai tahapan menyampaikan status anak.
Notes: Bagi pengurus panti asuhan, semua kata "orangtua" bisa dibaca "pengasuh"
--------------------------------------------------
ANAK ITU TITIPAN ALLAH, BAIK DIKANDUNG MAUPUN TIDAK - yws
Sebagian besar anak diasuh dan dibesarkan oleh orangtua kandungnya. Namun ada sebagian kecil yang diasuh dan dibesarkan bukan oleh orangtua kandungnya. Mereka mungkin diasuh oleh kerabatnya, orang lain yang tak memiliki hubungan darah atau dalam sebuah lembaga seperti panti asuhan.
Ada ragam alasan, mengapa seorang anak tidak diasuh oleh keluarga kandungnya dan sebaliknya juga ada ragam alasan pula mengapa sebuah keluarga mengasuh anak yang bukan anak kandungnya.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa seorang anak diasuh bukan oleh keluarga kandungnya
1. Karena keluarga kandungnya memiliki keterbatasan untuk mengasuh anaknya, misalnya karena meninggal dunia, sakit parah, keterbatasan ekonomi, keterbatasan secara psikologis, dll.
2. Karena kesepakatan yang dilakukan antar orang dewasa dalam pengasuhan anak tersebut. Misalnya, anak diminta untuk menemani keluarga tersebut.
3. Karena alasan agama. Orangtua mengasuh dan membesarkan anak-anak yatim/piatu untuk mengamalkan agamanya.
4. Karena kebutuhan/keinginan orang dewasa untuk memiliki anak sendiri.
Setiap orang/pasangan yang mengasuh bukan anaknya sendiri, bisa memiliki 1, 2, 3 atau bahkan 4 alasan sekaligus. Apapun alasannya, menurut saya, ikatan yang paling kuat akan terbentuk dari cinta yang tumbuh kuat dan bertahan lama. Cinta yang didasari oleh penerimaan tulus, keinginan mengasihi tanpa pamrih, dan senang melihat kebahagiaan orang yang dicintainya. Dan cinta tak ada kaitannya dengan status anak. Sehingga, apakah itu anak kandung ataupun anak asuh/angkat bisa dicintai dengan kadar yang sama.
Lalu, apa yang membedakan anak kandung dengan anak angkat? Perbedaannya adalah pada konsekuensi hukum. Karena saya menganut agama Islam, maka saya mengacu pada aturan-aturan dan hukum yang berlaku dalam agama Islam.
Status anak memiliki konsekuensi hukum terutama dalam pernikahan dan juga waris. Oleh karena itu menjadi wajib bagi seorang anak untuk mengetahui status dirinya. Dari mana ia tahu kalau bukan dari orang dewasa di sekelilingnya? Yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah dari orangtua yang mengasuhnya.
Nah, sayangnya, di titik inilah biasanya muncul kendala. Orangtua yang mengasuh, karena ragam alasan (kasihan, tidak berani, tidak tahu) enggan atau menunda-nunda untuk memberi tahukan pada anak mengenai statusnya tersebut. Orangtua kadang lupa bahwa menjaga rahasia besar itu tidak mudah. Langsung atau tidak langsung akan tampil dalam perilaku, perkataan dan sikap dari orang di sekitarnya, dan itu sadar atau tidak sadar akan dirasakan anak.
Pertanyaan yang paling sering diajukan adalah,
- kapan waktu yang paling tepat?
- bagaimana cara menjelaskannya?
"Kapan" itu sebetulnya tidak selalu berkait dengan usia, tapi berkait dengan kesiapan anak. Untuk anak menjadi siap, bukan ditunggui, melainkan diusahakan dengan membuat fondasi yang cukup kuat untuk bisa memahami dan menerima informasi tersebut.
"Bagaimana" berkait dengan cara. Biasanya kekuatiran para orangtua adalah tidak tega bila anaknya sedih dan marah. Dan lebih kuatir lagi adalah bila anaknya meninggalkan mereka dan mencari keluarga kandungnya.
Pertanyaan tersebut, akan saya uraikan lebih detail pada tulisan ke-2. Sebelumnya, kita lakukan dulu hal-hal di bawah ini.
1. Cintai anak dengan tulus ikhlas.
Setiap orang membutuhkan figur untuk bergantung dan menjadi sandaran. Bagi anak (apapun statusnya), figur tersebut adalah orang yang paling intens mengasuhnya. Kehilangan figur ini akan mempengaruhinya secara psikologis dan membuat anak menjadi insecure (merasa tidak aman).
Oleh karena itu, bagaimana membuat anak merasa aman? Cintailah anak kita dengan tulus dan anak merasakannya. Terlepas dari bagaimana awal anak itu berada dalam pengasuhannya. Ini seperti hal yang mudah dan otomatis, tapi ternyata tidak juga.
Ada orangtua yang mudah mencintai saat anak masih bayi lucu dan menggemaskan. Berjalannya waktu, perubahan bisa terjadi, sehingga mencintai menjadi pekerjaan yang menuntut usaha besar.
Salah satu (dan ini yang paling umum) yang menjadi ganjalan mengapa orangtua enggan atau menunda menyampaikan yang sebenarnya, adalah terkait cinta ini. Orangtua khawatir anak sedih dan marah lalu berpaling dan meninggalkan orangtua yang sudah mengasuhnya selama ini dan mencari orangtua kandungnya.
Bagi para orangtua ini, saya perlu menyampaikan, bahwa
- mengetahui dan mencari orangtua kandung adalah hak anak. Setiap orang perlu/harus mengetahui 'akarnya'. Maka berikan kesempatan itu. Kalau perlu, bantulah.
- Cinta bukan dibentuk oleh hubungan darah, melainkan dibangun dari kedekatan, frekuensi dan intensitas hubungan. Anak yang dicintai akan kembali kepada orang yang mencintainya.
- Merasa takut kehilangan adalah wajar. Terima perasaan tersebut dan kembalikan niat awal mengasuh anak. Semua anak adalah titipan Allah, baik dikandung maupun tidak. Bukan milik kita.
- Anak shock, sedih, marah adalah wajar, tak perlu menjadi defensif. Terima emosi anak tersebut dan tetap tunjukkan cinta serta kasih sayang.
Bagi para anak angkat, saya juga perlu menyampaikan, bahwa
- mengetahui kenyataan status yang sesungguhnya, memang berpengaruh pada status hukum, tapi tidak mengubah cinta, perhatian, dukungan dan perlindungan yang sudah diberikan orangtua selama ini.
- Bersyukurlah karena memiliki 2 pasang orangtua. 1 pasang yang membuat hadir di bumi ini, dan 1 pasang lagi yang mengasuh dan membesarkan hingga anda menjadi orang luar biasa. Apakah itu aneh? Tidak, itu biasa saja. Jika Allah berkehendak, maka semua baik adanya.
- Orangtua menjadi defensif juga adalah wajar karena mereka kuatir kehilangan anak yang sudah diasuhnya. Kekuatiran ini juga bukti dari rasa cinta yang besar pada anaknya.
- Merasa sedih karena harapan tidak sesuai kenyataan, atau marah karena dibohongi adalah wajar. Terima perasaan itu, beri waktu pada diri sendiri untuk menerima semua emosi itu.
2. Kenalkan pada Allah
Orangtua adalah tempat bergantung dan bersandar seorang anak. Tapi bagaimanapun, orangtua adalah makhluk fana. Anak perlu bergantung dan bersandar pada yang Maha Kuat dan Abadi. Oleh karena itu kenalkan anak sejak dini pada Allah, sehingga saat orangtuanya tak ada, atau saat tak ada orang yang mendukungnya, ia tahu ke mana ia harus bergantung.
Anak-anak yatim piatu, terutama yang dibesarkan di panti asuhan sangat penting dalam poin ini.
3. Kemandirian
Latihkan kemandirian pada anak, sehingga ia mandiri dalam berpikir (mengambil keputusan), emosi (mengendalikan emosi), sosial (mampu bergaul) dan juga ekonomi (memiliki pendapatan dan memenuhi kebutuhan materinya). Poin terakhir ini cukup penting, karena ketiadaan support ekonomi kadang menjadi penyebab insecure-nya seorang anak angkat.
4. Ubah cara pandang yang merendahkan
Pandangan lingkungan terhadap anak asuh/angkat pun tidak selalu seragam. Ada yang menempatkannya dalam hirarki, sehingga seolah anak angkat kedudukannya lebih rendah daripada anak kandung. Dan lazimnya hirarki akan membuat tidak nyaman. Mereka yang merasa dirinya berada pada posisi rendah akan merasa rendah diri. Selama konsep ini masih dimiliki oleh orangtua yang mengasuh atau anak asuh/angkat, maka ini akan menjadi ganjalan bagi pertumbuhan dirinya.
5. Dukungan keluarga besar
Semakin banyak anggota keluarga besar memberikan dukungan penuh dan memiliki cara pandang yang obyektif, maka semakin besar pula peluang anak angkat untuk berkembang baik. Ia dipandang sebagai bagian dari keluarga besar dan dilibatkan dalam semua aktivitas secara wajar, baik saat orangtuanya masih ada maupun saat sudah meninggal.
Yeti Widiati 100618

Ulasan: MANA YANG PERLU DISAMPAIKAN PADA ANAK, DAN MANA YANG TIDAK? - yws

2 hari lalu saya membuat status dengan judul di atas. Saya berterima kasih atas semua respon yang diberikan. Komen-komen yang diberikan sungguh menarik, karena jawabannya cukup bervariasi, sekalipun masih dapat ditangkap 'benang merahnya'.
Saya akan mencob mengulasnya sekarang. Sebelumnya perlu saya garis bawahi. Bahwa ketika saya menyebut kata "anak" maka ini artinya adalah anak dalam pengertian psikologi bukan pengertian hubungan keluarga. Jadi anak adalah manusia berusia 0-12 tahun. Usia 13-17 tahun sudah termasuk remaja. Lebih dari usia 17 termasuk usia dewasa.
Prinsip pokok "mana yang perlu disampaikan dan tidak" adalah: Seberapa masalah tersebut mempengaruhi dan melibatkan hidup anak. Bila mempengaruhi maka sampaikanlah.
1. Perceraian atau perpisahan orangtua itu mempengaruhi hidup anak. Anak merasakan perbedaan, baik antara sebelum dan sesudah perceraian orangtua maupun antara dirinya dengan orang lain. Maka FAKTA itu perlu disampaikan pada anak.
2. Status anak perlu diketahui anak, karena berkait dengan hukum (agama dan hukum positif) juga mempengaruhi secara sosial. Sudah jelas kisah Rasulullah Muhammad dengan Zaid (anak angkatnya) tercantum dalam Al Qur'an tentang ini.
Btw, Insya Allah saya akan menuliskan tentang case ini lebih detail, termasuk tahapan-tahapan memberi tahunya.

3. Masalah detail relasi antar ayah dan ibu.
Tidak perlu disampaikan pada anak karena anak tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu menyelesaikan masalah orangtuanya. Dalam banyak hal, ayah/ibu menceritakan hal tersebut kepada anak untuk meminta anak berpihak pada dirinya. Yang terlupakan adalah bahwa bagi anak, baik ayah maupun ibu keduanya sebetulnya adalah sandaran. Maka ketika salah satu menghancurkan sandaran yang lain, anak kehilangan keduanya.

4. Kehadiran adik baru akan mempengaruhi seorang anak. Sama halnya seperti ketika kita harus menerima orang lain dalam hidup kita tentunya perlu proses adaptasi. Kehadiran orang baru akan membuat beberapa hak kita terambil (perhatian, ruang hidup, materi, dll). Itulah mengapa kita perlu menyiapkan anak-anak kita menghadapinya dengan cara menyampaikan sebelum adiknya hadir. Masalah iri, persaingan dan kemanjaan anak seringkali dipengaruhi karena ketidak-siapannya menghadapi perubahan hadirnya orang baru dalam hidupnya.
5. Masalah ekonomi orangtua.
Ada hal yang anak perlu terlibat ada yang tidak. Bagaimana menambah penghasilan keluarga adalah urusan orangtua, anak tidak bisa berkontribusi sehingga anak tidak perlu tahu. Tapi anak bisa terlibat dalam mengatur gaya hidupnya. Ia bisa menentukan mana kebutuhan dan keinginan, membuat prioritas, memelihara barang-barangnya, termasuk bagaimana supaya bisa berbahagia apa pun kondisi yang dihadapi.

6. Perubahan lingkungan (pindah rumah, pindah sekolah, dll).
Boleh jadi orangtua yang memutuskan pindah rumah karena berbagai pertimbangan. Akan tetapi, anak akan terimbas konsekuensinya karenanya. Oleh karena itu hal ini juga perlu dibicarakan dengan anak, supaya mereka bisa mengantisipasi perubahan-perubahan yang dalam beberapa hal mungkin tidak sesuai dengan harapan mereka.

Baiklah, setiap orangtua tentunya punya pertimbangan mengenai penting atau tidaknya hal-hal tersebut di atas disampaikan pada anak. Dan kapan waktu yang tepat untuk menyampaikannya. Apapun pilihannya, konsekuensinya sudah bisa kita prediksi. Kita sebagai orangtua selalu berada dalam posisi harus memilih mana yang konsekuensinya paling bisa kita tanggung.
Saya hanya mengajak kita bukan berfokus pada perasaan kita sendiri (nggak enak menyampaikannya, kalau anak sedih saya ikut sedih, dll), tapi berfokus pada konsekuensi obyektif yang perlu ditanggung anak bila kita menyampaikan/tidak menyampaikan. Konsekuensi obyektif itu bisa berupa konsekuensi hukum, konsekuensi sosial ataupun konsekuensi psikologis dan emosi. Dan jadikan semua dinamika hidup ini sebagai proses pembelajaran. Memberi tahu anak suatu masalah berpeluang membuat anak sedih, takut, marah dan emosi 'negatif' lainnya. Tak perlu dihindari, jadikan ini sebagai kesempatan anak untuk belajar menghadapi situasi lain yang boleh jadi lebih rumit di kemudian hari.
Boleh jadi kita merasa buruk, padahal sesungguhnya ada kebaikan di dalamnya. Bila Allah sudah berkehendak, maka pasti baik adanya. Insya Allah.
Yeti Widiati 090618

MANA YANG PERLU DISAMPAIKAN PADA ANAK, DAN MANA YANG TIDAK? - yws

Kasus 1
"Bu, tolong sampaikan pada anak-anak saya, bahwa kami akan bercerai ... "
Kasus 2
"Baiknya anak saya tidak pernah tahu, kalau dia sebetulnya bukan anak kandung. Kami mengambilnya dari panti asuhan saat ia baru berumur beberapa hari"
Kasus 3
"Bapakmu itu lho, mata keranjang, nggak bisa ngelihat cewek cantik. Bunda nggak tahan lagi hidup sama bapak kamu."
Kasus 4
"Si Abang ini kok jadi rewel bener sesudah punya adik. Adiknya kan masih bayi, belum bisa apa-apa dan perlu perhatian. Eh ini si Abang malah nggangguin adiknya terus."
Kasus 5
"Bapaknya sudah pensiun, Bu. Tapi biarlah, anak-anak nggak usah tahu. Biar mereka senang dan fokus belajar. Kalau anak tahu sekarang kami nggak punya uang cukup, nanti mereka jadi kepikiran dan malah nggak bisa belajar."
Kasus 6
"Sejak kami pindah rumah, anak saya nggak mau main ke luar rumah. Dia sering marah-marah menyalahkan kami, karena tidak betah di sekolahnya yang baru. Katanya teman-temannya nggak enak diajak main."
Ayo tebak-tebakan, mana yang sebetulnya orangtua HARUS memberi tahu kepada anak dan mana yang tidak perlu?
Kasus
1. Perceraian orangtua
2. Status anak
3. Masalah relasi orangtua
4. Rencana punya anak lagi
5. Kondisi ekonomi keluarga
6. Pindah rumah/sekolah
Yeti Widiati 070618

CINTA DULU TAKUT KEMUDIAN


Branches of Faith - Pt.14 - Loving Allah - Sh. Dr. Yasir Qadhi https://www.youtube.com/watch?v=l50iVM47doU&t=156s


ANAK DAN SHAUM





SEMENTARA MENYEMBUHKAN, TETAPLAH BELAJAR DAN BERLATIH SESUAI KEMAMPUAN - yws

Seorang anak laki-laki patah tangannya dan dibawa ke dokter untuk diobati. Setelah diobati dan dibebat, ia bertanya pada dokter, "Pak Dokter, apakah setelah tangan saya sembuh nanti, saya bisa bermain biola?"

Dokter menjawab, "Tentu saja bisa"
"Betul, bisa?" tanya anak laki-laki itu tak percaya.
"Ya betul, kalau tangan kamu sembuh, kamu bisa main biola." Pak dokter meyakinkan.
"Wah hebat betul ya. Padahal sebelum tangan saya patah, saya tidak pernah main biola ..."
--------------------------------

Cerita humor yang puluhan tahun lalu saya baca di majalah "Bobo" itu, tiba-tiba terlintas begitu saja di pikiran saya ketika menghayati ucapan kang Asep Haerul Gani saat memandu workshop Healing Inner Child Within 2 hari kemarin.

Kang Asep, demikian panggilan akrabnya mengatakan bahwa, menyelesaikan unfinished bussiness masa lalu, tidak serta merta membuat kita jadi trampil dalam mengasuh dan mendidik anak. Ini adalah dua hal yang berbeda. Satu berbicara tentang emosi satunya berbicara tentang pengetahuan dan ketrampilan.

Mengacu pada dinamika kerja otak, betul bahwa ketika emosi meningkat, maka kita menjadi sulit berpikir dan belajar. Tapi kan kita tidak selalu berada dalam keadaan emosi tingkat tinggi. Kita tetap bisa menambah wawasan dan meningkatkan ketrampilan dalam pengasuhan dan pendidikan. Sambil juga tetap menuntaskan unfinished bussiness yang dipandang mengganggu.

Sehingga ketika unfinished bussiness itu tuntas, maka kita tak perlu belajar pengasuhan dari nol.

*Belajar itu menyenangkan
*Belajar itu memberdayakan

Yeti Widiati 140518




JIKA SEKOLAH ADALAH KENDARAAN


THE POWER OF CHORES


Chores = Pekerjaan rumah tangga sehari-hari

Sumber gambar: Shutterstock

MEMBERI ITU MEMBERDAYAKAN

Ketika "MEMBERI" berakibat melestarikan mental menadah.
Apakah tercatat sebagai amal kebaikan?

*Bicara pada cermin ...


KITA SELALU BERHASIL MENEMUKAN 'KESALAHAN' - yws

Keluhan:
- "Bu, anak saya gak bisa diam. Apa aja dipegang, lari-lari, loncat-loncat. Pusing saya jadinya ..."
- "Bu, anak saya diam terus, ngga mau ngapa-ngapain. Kenapa ya, Bu, anak saya?"
- "Saya sedih, Bu, kemarin anak saya cerita kalau dia dibully temannya. Dia marah, dia pingin mukul temannya, Bu. Saya takut ..."
- "Saya bingung, Bu. Anak saya dieeeem aja ... nggak mau cerita apa-apa pada saya. Ditanya pun nggak mau jawab. Saya musti gimana?
- "Anak saya nggak mau makan, Bu ..."
- "Anak saya makan melulu, Bu ..."

Nggak akan ada habisnya bila kita mengeluhkan kekurangan. Mulailah untuk berfokus pada kelebihan.

Yeti Widiati 290418



MULTITASKING


PERKEMBANGAN SOSIAL











INNER CHILD





LABELLING PADA ANAK


MENGAJARKAN SELF TALK POSITIF PADA ANAK





5 TAHUN PERTAMA

Tak bisa dibiarkan anak tumbuh sendiri
Ia perlu dibimbing dan memperoleh banyak pengalaman berarti
Fondasi yang rapat yang membuatnya kuat berdiri
Semua aspek perkembangan, mulai dari fisik, kognitif, sosial hingga emosi
....




NILAI RAPORT ITU SEPERTI FOTO


Minggu, 26 Januari 2020

INNER CHILD YANG KECEWA

Berulang kali menyimak curhatan dan menelusuri masalah individu ternyata masalah seringkali bermuara pada masa lalu, terutama masa lima tahun pertama dalam kehidupan seorang individu.
Seorang ibu yang kesulitan untuk menghandle putranya yang berusia 5 tahun datang pada saya. Ia selalu emosi dan sulit untuk menahan diri untuk tidak memukul dan mencubit putranya terutama saat putranya tidak menurut apa yang diperintahkan atau mengganggu adiknya yang masih bayi.
Sampai pada suatu hari, ketika si putranya menyikat toilet setelah BAB (tanpa disiram) sikat, toilet, lantai juga badan si anak pun menjadi kotor. Sang ibu pun marah besar. Ia memukul dan mencubit anaknya. Sementara sang anak memandang dengan bingung, marah dan kesakitan. Apa yang salah dengan saya? Padahal saya bermaksud untuk menolong bunda membersihkan toilet?
Melihat tatapan mata anaknya, ibu ini tersentak kaget. Ia menyadari bahwa kemarahannya salah tempat. Pukulan dan cubitannya salah alamat. Ia kuatir, anaknya akan menyimpan dendam dan kebencian padanya sebagai seorang ibu.
Saat ditelusuri ke belakang ke masa lalunya. Nyatalah bahwa ternyata ada "anak kecil" yang marah dan kecewa di dalam jiwa si ibu. Kemarahan dan kekecewaan yang belum tuntas dan terbawa hingga dewasa. Yang secara tidak sadar menyebabkan si ibu mengulangi kejadian yang sama persis seperti saat ia dimarahi orangtuanya dulu, padahal ia bermaksud baik untuk membantu.
Unfinished bussiness ini yang perlu diselesaikan, karena bila tidak, maka akan menjadi "lingkaran setan tak berujung" dan terus diturunkan dan berlanjut kepada anaknya.
Yeti Widiati S 250915

YANG KUAT ADALAH YANG DIBERI MAKAN PALING BANYAK


KECEPATAN PERKEMBANGAN



Cukup 1 (satu) aspek perkembangan terlambat untuk mengurangi kecepatan kematangan individu
3 kelompok besar Aspek Perkembangan Manusia, yaitu
- Fisik,
- Kognitif dan
- Psikososial.

CEMAS


'Cemas' adalah rasa takut pada sesuatu yang belum terjadi, namun dipersepsi sebagai ancaman.

Jadi bagaimana menghadapi cemas?
- Terima perasaan cemas tersebut
- Munculkan semua pertanyaan
- Jawab/cari solusi dari pertanyaan tersebut
- Ambil keputusan
- Serahkan pada Allah dan ikhlaskan apa yang terjadi.

MENJELASKAN KONSEP PENDOSA UNTUK ANAK


JIKA REMAJA ITU BURUNG




"Empty Nest", adalah istilah yang digunakan dalam Psikologi Perkembangan (Hurlock) untuk menggambarkan keadaan saat anak-anak sudah dewasa dan pergi dari rumah untuk membangun sendiri rumah tangganya. Orangtua biasanya berada pada masa dewasa akhir/tua, sudah pensiun dan kerap merasa kesepian karena tak ada lagi anak-anak yang biasanya diurus.

TAK ADA YANG SUKA DISERANG DAN DIPOJOKKAN


TENTANG EMOSI





KALIMAT BERESIKO DALAM PERNIKAHAN






"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...