PERTENGKARAN DALAM DIRI - yws
(Konteks bahasan Ego State, Innerchild, dan fungsinya dalam penyelesaian masalah)
"Kamu nggak boleh gitu, itu dosa lho ...!"
"Tapi nggak bisa, masa aku seenaknya aja diejek dan dibikin malu di depan orang banyak ..."
"Iya sih, tapi kamu juga yang salah, kan. Kamu yang bikin dia jadi marah ..."
"Habisnya dia nyebelin sih ..."
"Udah ... udah ah ... aku pusing ... aku nggak mau lagi dengar kata-kata ini ... aku mau tiduran aja ..."
"Eh, tapi kalau tiduran, masalahnya nggak selesai lho ... "
"Biariiiiin ....."
Percayakah kita bahwa "dialog" di atas itu dilakukan oleh diri kita sendiri? Di dalam kepala kita sendiri? Mereka yang menyadari, menghayati dan bahkan sering mengalami hal ini, tentunya bisa segera merasakannya.
Sesungguhnya setiap hari kita melakukan percakapan semacam ini dalam pikiran kita. Saat kita sedih, saat kita marah, takut, dan bahkan saat kita sedang memecahkan masalah dan ingin mengambil keputusan. Seolah kita berada di situasi rapat/pertemuan yang riuh dan semuanya ingin didengarkan pendapatnya.
Dalam bahasan Teori Ego State, maka setiap "suara" tersebut mewakili sebuah state. Setiap state memiliki masa 'kelahiran', biasanya terkait dengan suatu peristiwa tertentu. Untuk mempermudah saya akan memberi nama state tersebut dengan nama sifat. Misalnya, state marah muncul saat kita pertama kali merasa marah.
Biasanya pengalaman pertama itu terjadi di masa kita kecil. Saat mainan kita direbut saudara kita, lalu kita mulai melawan, maka pada saat itu ada state marah dan juga state melawan yang terbentuk. Di kesempatan lain, kita kesal kepada ibu kita yang menyuruh belajar padahal kita masih ingin main. Maka juga terbentuk state kesal pertama kali. Ketika kita (saat kanak-kanak) kasihan melihat kucing kedinginan karena tersiram air, lalu kita mengeringkannya dengan handuk dan menyelimutinya dengan selimut, maka terbentuk pula state kasihan dan state menyayangi.
Demikianlah kita memiliki banyak state yang terbentuk dari pengalaman hidup kita. Ada state yang tersembunyi, karena jarang digunakan. Namun ada juga state yang sering muncul karena terus-menerus terpicu oleh stimulus di lingkungannya.
Ego state-ego state ini ada yang bersifat netral, ada yang mengganggu namun juga ada yang mendukung diri kita. Semuanya bergantung pada seberapa dominan state tersebut menguasai diri kita.
Masalah terjadi ketika seseorang memunculkan state yang kurang tepat pada suatu situasi. Misalnya, ketika seorang ibu melihat anaknya menjatuhkan vas kesayangannya. State yang muncul adalah state si ibu ketika dulu kecil melihat mainannya dirusak temannya. Dulu ketika si ibu masih anak-anak dan mainannya dirusak teman, ia pun marah dan mengamuk. Tanpa disadari state marah dan mengamuk ini yang muncul kembali, terpicu ketika anaknya menjatuhkan vas kesayangannya. Padahal perilaku anak menjatuhkan vas sangat berbeda dengan perilaku teman merusak mainannya.
Kadang kita perlu membentuk state baru yang tidak kita miliki. Caranya salah satunya adalah dengan mengajari diri kita mencontoh orang lain yang sudah memiliki state ini. Kita juga bisa memperkuat state yang sudah ada yang rupanya selama ini tidak termanfaatkan dengan baik. Misalnya, seorang remaja yang kesulitan untuk peduli pada orang lain, karena selama ini di keluarga dan lingkungannya, ia selalu dibully. Sehingga ia "tidak" memiliki state kepedulian selain merendahkan orang yang memiliki kekurangan.
Ego state yang muncul di masa kecil saat kita kanak-kanak, sekarang dipopulerkan dengan istilah "innerchild". Dengan membaca ulasan di atas, kita jadi bisa memahami bahwa innerchild tidak selalu berkait dengan kelemahan, penderitaan atau hal-hal negatif. Innerchild juga bisa berupa state yang fun, kreatif, curious, senang belajar, aktif dan ragam khas sifat alamiah anak lainnya. Semuanya bisa kita manfaatkan dengan efektif.
Mereka yang pernah menonton film "Inside Out" mungkin bisa lebih mudah memahami mengenai state ini. Dalam film tsb, 5 karakter kartun itu mewakili state yang dikaitkan dengan emosi. Dalam kenyataannya, tentunya tidak sesederhana itu. State marah tidak hanya satu namun bisa sangat beragam. Sangat marah, kesal, ngambek, agresi, dll. adalah beberapa bentuk state berkait emosi marah.
Ah sudahlah, kita tidak perlu memperumit diri dengan itu ya. Biar para ahli psikologi saja yang mengulik dan mengutak-atik hal tersebut. Yang lebih kita butuhkan adalah bagaimana kita lebih memahami diri dan kemudian memanfaatkan pengetahuan ini untuk membuat diri kita lebih baik.
Jadi, intinya ada banyak state dalam diri yang perlu kita dengarkan dan kita damaikan. Tak jauh berbeda dengan bagaimana kita hidup berinteraksi sosial. Mereka yang terlatih menghadapi ragam orang dengan segala macam sifatnya seringkali pengelolaan dirinya terinspirasi dari hal itu.
Anak-anak adalah contoh terbaik bagaimana mereka mendamaikan state-nya sendiri melalui cara konkrit yaitu bermain "pura-pura". Ketika mereka bercakap-cakap dan menjejerkan mainannya. Menghibur bonekanya yang "sakit", menasihati kucing yang tidak mau menurut, dsb.
Mekanisme penyelesaian masalah alamiah ini biasanya menurun dengan bertambahnya usianya. Seringkali karena lingkungan kurang mendukung hal tersebut, dengan mengomentari negatif, menertawakan atau menganggap permainan tersebut terlalu childish (kekanak-kanakan).
Remaja (dulu) menggunakan diary-nya sebagai ganti permainan pura-pura. Dia bercerita tentang ragam perasaan dan pikirannya di dalam diary tersebut. Mereka marah kalau sampai ada orang lain yang membaca diary-nya. Karena ini merupakan rahasia besar dirinya.
Orang dewasa menggunakan cara curhat. Baik kepada teman, kepada diri sendiri maupun yang lebih religius kepada Tuhan, dalam doa-doa kesendiriannya. Cara curhat sebetulnya adalah cara yang baik, bila dimaksudkan untuk mencari penyelesaian masalah. Namun cara ini kontraproduktif bila dilakukan terbuka kepada banyak orang (melalui medsos) sehingga hanya menjadi ajang "pamer masalah", dan tidak menjadi insight dan inspirasi dalam penyelesaian masalah.
Dalam ruang-ruang terapi, maka terapis mengajak klien untuk mengenali ragam ego state yang berkait dengan masalahnya. Mengidentifikasi, mendengarkan keinginan, mempertemukan kebutuhan dan bila tidak memungkinkan memenuhi kebutuhannya, maka accept dan forgive adalah cara yang lebih ditawarkan. Tidak selalu mudah untuk mengakui dan menerima kehadiran state-state ini. Terutama yang dinilai negatif oleh diri kita. Apalagi ketika state ngeles dan defensif juga ikut meramaikan.
Sangat beruntung bila state senang belajar dan berusaha tetap dominan dan terpelihara, sehingga semua proses ini, se-menantang apa pun akan dilihat sebagai cara untuk meningkatkan kualitas diri.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS 2:286)
Yeti Widiati 76-051017
Kamis, 05 Oktober 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws
Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...
-
Ketika Beban seperti Sebongkah Batu Ada orang yang memandang beban dalam hidup seperti bongkahan batu besar yang harus dibaw...
-
HANDWRITING (Konteks Perkembangan Anak) "Belajar menulis huruf sambung ....? Apa pentingnya sih? Jaman sudah modern, bisa mengetik p...
-
LINGKARAN PENGARUH Bayangkan kita berada di pusat satu lingkaran dan kemudian di luar diri kita ada beberapa lapis lingkaran. Lingkaran ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar