Minggu, 10 Januari 2021

APA YANG KITA LAKUKAN JIKA "ALARM EMOSI MARAH" KITA OVERSENSITIF? - yws

 Seri Pengelolaan Emosi


Masih ingat kan ya, analogi saya tentang emosi sebagai alarm? Bagaimana kalau kita sangat mudah marah. Segala macam hal dapat memicu kemarahan kita. Anak yang berantem dan berisik, pekerjaan yang tidak beres, kemacetan di jalan, pembantu bekerja tidak maksimal, suami menaruh handuk mandi sembarangan, orang posting makanan enak di medsos, teringat waktu dibully orang lain di masa lalu, koruptor yang ditangkap tapi senyum-senyum, diskriminasi di dunia ini, dst ... dst ... Segala macam hal bisa memicu kemarahan. Seolah tidak ada ukurannya, hal kecil, menengah hingga besar semuanya memicu kemarahan. Merusak diri, hubungan dengan orang lain, dan bahkan tak jarang merusak barang-barang di sekitar.
Apa yang perlu kita lakukan? Jika alarm terlalu sensitif sehingga sering berbunyi, apakah lalu kita harus menghilangkan alarmnya?
Mari kembali dulu, kepada fungsi emosi sebagai pemberi isyarat. Artinya terpicunya emosi pada situasi tertentu adalah isyarat bahwa ada hal yang perlu kita tangani pada situasi atau area tertentu dalam hidup kita.
Kita sepakati dulu bahwa emosi marah itu sendiri sebetulnya adalah emosi yang wajar, natural dan normal. Sebagai usaha seseorang untuk mempertahankan dirinya dari ancaman fisik maupun psikologis. Bila kita tidak memiliki emosi marah, maka kita bisa hancur. Namun menjadi tidak wajar, ketika semua hal di dunia ini kita pandang sebagai ancaman, sehingga kita selalu bereaksi siaga terhadap segala hal. Menjadi selalu tegang dan reaktif melampaui dari situasi yang memicunya.
Berikut beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk melakukan pengelolaan emosi marah. Semakin banyak yang kita lakukan, hasilnya akan lebih baik.

1. KENALI SITUASI PEMICU
Perhatikan dan catat, situasi apa saja yang bisa membuat emosi kita terpicu. Apakah saat terlalu lelah, saat banyak pekerjaan, saat sakit gigi, saat anak ribut, saat dikritik, dll. Situasi adalah sesuatu yang di luar kendali kita. Kebanyakan tidak bisa ditahan dan dihindari. Oleh karena itu kebanyakan juga tidak bisa kita ubah. Yang lebih mungkin adalah kita yang mengubah diri kita sendiri sehingga memiliki pilihan tindakan yang lebih tepat dan lebih baik.
Bila perlu buat penilaian dari 0-10, mana situasi yang layak membuat kita marah, dan mana situasi yang perlu kita abaikan saja.

2. KENALI EARLY WARNING SIGN
Apa yang dirasakan oleh tubuh kita atau pikiran kita sebelum kita mulai marah? Apakah badan terasa hangat? Atau sebaliknya menjadi dingin dan kaku? Kenali tanda-tanda yang ada di tubuh kita, sehingga kita bisa berlatih mengcounternya. Dalam hadits Rasulullah, pendekatan fisik yang diajarkan beberapa di antaranya adalah, berwudhu dan mengubah posisi. Kita juga dapat melakukan eksplorasi dan eksperimen, cara mana yang paling tepat untuk kita. Kalau dirasa kurang berhasil dengan satu cara, bereksperimenlah dengan cara lain. Begitu seterusnya sampai menemukan yang paling cocok.

3. UJI 'PIKIRAN MARAH'
Emosi seringkali didahului atau disertai dengan pikiran otomatis yang terlintas di benak kita. Misalnya, seseorang mengkritik kita, lalu terlintas dalam pikiran kita "Emang aku jelek ya?" atau "Enak aja, siapa kamu berani-beraninya mengkritik?" atau "Aduh, salah lagi deh, aduh gimana nanti kalau aku dipecat."
Pikiran otomatis itu bersifat spontan, muncul begitu saja tanpa bisa dikendalikan. Bersifat subyektif, karenanya bisa mengandung kesalahan dan kebenaran. Hal yang lebih sering memunculkan marah atau emosi negatif lainnya, seringkali adalah karena kita hanya/lebih berfokus pada hal yang salah (false beliefs).
Oleh karena itu penting bagi kita untuk menguji pikiran otomatis yang memunculkan marah. Bagaimana caranya? Gunakan pertanyaan 5W + 1H. Dan jawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ada banyak teknik untuk melakukan ini. Bisa dengan percakapan lisan ataupun dengan teknik menulis.

4. GUNAKAN IMAGERY UNTUK BERLATIH
Bila kita sudah mengetahui situasi yang memicu kemarahan kita. Untuk berlatih dan mempersiapkan diri, kita dapat menggunakan imagery atau membayangkan situasi tersebut dan kemudian melatih diri kita menghadapinya. Misalnya, kita sering marah melihat anak yang tidak patuh pada kita. Ambil waktu untuk membayangkan situasi tersebut kemudian kita berlatih berbicara kepada anak tanpa marah, atau dengan pilihan cara yang lebih baik. Latihkan berulang secara kongkrit seolah itu benar terjadi. Kemudian lakukan saat situasi itu benar-benar terjadi.

5. TIME OUT
Sikap reaktif, memiliki porsi merusak yang signifikan. Karena orang lain di sekitar kita langsung merasakannya dan juga bisa ikut terpicu oleh apa yang kita lakukan. Kerusakan hubungan yang terjadi karena sikap reaktif bisa berpengaruh jangka pendek, dan juga jangka panjang.
Sikap reaktif khasnya adalah ditandai dengan tidak peduli terhadap apapun akibat yang akan terjadi. "Bodo amat, gimana nanti," adalah kalimat yang kerap terlintas ketika orang bersikap reaktif.
Time out artinya kita membuat jeda, mengurangi tindakan reaktif. Untuk itu, kita perlu aware terlebih dahulu dengan situasi dan sensasi tubuh kita. Misalnya ketika kita merasa rasa panas sudah mulai menyebar di tubuh kita, segera kita mimun, membalikkan badan, mengubah gerakan, pergi dari tempat itu, atau apapun tindakan lainnya yang membuat kita memiliki jeda, sehingga tidak segera berespon. Time Out atau jeda ini bukanlah untuk menghindari masalah, namun memberi kesempatan pada otak korteks kita agar dapat mengambil alih sehingga kata dan tindakan kita menjadi lebih terkendali.
Time Out ini juga berlaku untuk yang terbiasa berbicara panjang lebar ketika marah, mengkritik, mengeluarkan sumpah serapah, dll, yang lebih banyak merusak, menyakiti hati, merendahkan diri sendiri, daripada menyelesaikan masalah. Lakukan itu pada waktu, tempat dan cara yang tepat.

6. KOMUNIKASI ASERTIF
Saat marah, orang sering menggunakan pernyataan "Kamu ..." yang berfokus pada orang lain, menyalahkan dan membuat orang lain menjadi defensif, bahkan menjadi ikut marah juga. Misalnya, "Kamu itu berisik banget", "Kamu nggak pernah bener ngerjainnya." Dll.
Sekarang, ubah kata-kata itu dengan menggunakan pernyataan "Saya", misalnya "Saya ingin kamu mendengar saya ..." Dengan 'I statement', maka peluang orang lain tahu dan paham apa yang kita harapkan darinya menjadi lebih besar. Apakah orang lain akan memenuhinya atau tidak, itu hal yang berbeda. Targetnya bukan untuk orang lain. Targetnya adalah kita membiasakan diri, membuat skema perilaku yang lebih asertif. Selalu ada kemungkinan bahwa perilaku ini akan membuat kita memperoleh apa yang diinginkan, karena orang lebih paham apa yang kita mau.

7. FORGIVENESS
Bagaimanapun tidak ada orang yang sempurna. Orang bisa melakukan kesalahan karena belum mampu atau karena belum tahu. Maafkanlah. Anak-anak seringkali melakukan kesalahan karena sebab-sebab di atas. Oleh karena itu marah, tidaklah selalu menyelesaikan masalah ketika konteksnya adalah pengasuhan dan mendidik anak.
Memaafkan di sini bukan berarti kita mengizinkan perbuatan buruk orang lain. Melainkan membuat diri kita tidak terganggu oleh emosi marah yang merusak diri, orang lain dan mungkin barang-barang di sekitar kita.
Oh ya, memaafkan yang juga sangat penting adalah memaafkan diri kita sendiri yang mungkin masih belum bisa mencapai standar-standar subyektif yang kita tetapkan sendiri.
Apa yang dipaparkan di atas semua itu adalah pendekatan untuk orang dewasa. Untuk pengelolaan emosi anak, maka pendekatannya sedikit berbeda, karena anak memiliki karakteristik yang berbeda dari orang dewasa dan mereka membutuhkan bimbingan orang dewasa.
Note: Jika emosi marah masih sangat mengganggu dan datang tidak jelas situasinya. Hubungi profesional kesehatan mental terdekat (psikolog atau psikiater).
Yeti Widiati - 100121
Sumber: Mind Over Mood

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...