Kamis, 30 Oktober 2014

"HARUSNYA DIA TAHU ... "


Dalam keseharian kita kerap mendengar kalimat itu. Ketika rakyat berbicara tentang pemimpinnya, atau ketika para pengamat bicara tentang pejabat publik.

Dalam ruang konsultasi, kalimat ini lebih sering muncul. Mereka yang menempatkan diri sebagai korban, mengira bahwa perubahan harus dilakukan oleh orang lain agar ia merasa nyaman, sehingga menuntut orang lain yang berubah dan bukan dirinya sendiri.

Anak bicara, "Harusnya mama tahu, aku gak suka main biola"

Ibu bicara, "Harusnya anak-anak tahu, kalau saya cape mengerjakan semua pekerjaan"

Ayah bicara, "Harusnya anak-anak tahu, kalau saya tidak bisa menemani mereka main karena sibuk bekerja"

Guru bicara, "Harusnya anak-anak tahu, kalau belajar itu penting"

Istri bicara, "Harusnya suami saya tahu, kalau dia tidak boleh menaruh handuk sembarangan"

Suami bicara, "Harusnya istri saya tahu, kalau saya tidak suka dia tanya-tanya urusan kantor"

Dan sekian banyak lagi kalimat yang diawali dengan "Harusnya dia tahu, kalau .... "

Menarik adalah bahwa orang-orang ini berasumsi bahwa apa yang dia tahu seharusnya diketahui juga oleh orang lain. Dia menafikan berbagai kemungkinan bahwa orang memiliki fokus perhatian yang berbeda, pengalaman yang berbeda dan berbagai macam hal lain yang berbeda.

Mencoba berpikir dengan cara pandang orang lain, memang bukan sesuatu yang mudah. Membutuhkan kelenturan berpikir. Seperti contoh klasik orang buta memegang gajah. Maka perlu usaha untuk membuka mata, bergeser ke posisi yang lain, mundur untuk membuat jarak, sehingga kita bisa melihat "gajah" secara keseluruhan.

Pada kenyataannya semua mekanisme ini adalah mekanisme abstrak yang terjadi dalam otak. Belum lagi ketika persepsi itu dipengaruhi pula oleh berbagai hal lainnya. Value, beliefs, pengalaman, emosi, kognitif, gender, dll.

Intinya adalah, suatu keniscayaan bila orang memiliki cara pandang yang berbeda terhadap suatu hal.

Bahkan sekalipun ketika kita memutuskan untuk hidup bersama dengan orang yang sudah memiliki value yang sama pun, pada prakteknya ada banyak hal yang berpeluang menimbulkan friksi/gesekan dalam perjalanannya.

Komunikasi adalah awal dari penyelesaian masalah. Seberapa mudah seseorang untuk bisa menyatakan apa yang dipikirkan dan dirasakan, ternyata juga membutuhkan latihan dan pembiasaan.

Ternyata bagi beberapa (atau bahkan banyak) orang, tak ada kultur yang terbentuk untuk berkomunikasi dengan baik. Pesan-pesan disampaikan satu arah. Suami kepada istri, ayah ibu kepada anak, guru kepada siswa, pemimpin kepada masyarakat. Dalam konteks keluarga, komunikasi yang kurang berjalan baik ini berkembang menjadi bibit-bibit pertengkaran.

Dibutuhkan kepekaan untuk memahami. Pembiasaan untuk berkomunikasi dan kemampuan untuk mencari titik temu penyelesaian yang win-win bagi semua pihak. Sehingga tak ada yang merasa menjadi korban atau dikorbankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"KESEMPATAN", KEBUTUHAN ANAK UNTUK BERKEMBANG DAN MANDIRI - yws

  Memberikan "Kesempatan" pada anak, bagi sebagian orang tua adalah mudah, tapi sebagian lainnya merasa berat memberikannya. Saya ...